A. Logika ( ilm al mantiq )
Perkataan "logika", secara itimologi berasal dari bahasa Yunani "logos" yang berarti 'kata' atau 'pikiran yang benar' (Hasbullah Bakry : 1981, 15). Ada yang mengatakan, 'logika' berasal dari bahasa Latin yakni kata "logos" yang berarti perkataan atau sabda (K. Prent C.M., J. Adisubrata , dan W.J.S. Poerwadarminta : 1969, hlm. 501). Menurut Poedjawijatna, logika adalah 'filsafat berpikir'. Yang berpikir itu manusia dan berpikir merupakan tindakan manusia. Tindakan ini mempunyai tujuan, yaitu untuk tahu (Poedjawijatna, 1992: 9). Dalam bahasa Arab, logika disebut "Ilmu Al-Mantiq" dari kata dasar ‘nataqa’ yang berarti berbicara atau berucap (Ahmad Warson Munawir, al-Munawir:1984, hlm.1531, Al-Maluf,1986, hlm.816)).
Akan tetapi logika secara istilah berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Maka untuk memahami apakah logika itu, orang harus mempunyai pengertian yang jelas tentang penalaran (Soekadidjo, 1994:3). Menurut K.Berten dalam Surajiya mengatakan bahwa logika adalah ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita (Surajiya, 2005: 23). Dalam buku Logic and Language of Education, Logika disebut sebagai penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir (George F.Kneller:1966,hlm.13). Sependapat dengan itu, Ibn Khaldun mengatakan bahwa ilmu al-Mantiq (logika) adalah undang-undang yang dapat dipergunakan untuk mengetahui pernyataan yang benar dari pernyataan yang salah (Ibn Khaldun: 2000, 474). Sedangkan dalam kitab Kamus 'Al Munjid' ilmu mantiq disebut sebagai hukum yang meneliti hati nurani dari kesalahan dalam berpikir (Louis Ma'luf : 1973, hlm. 816). Thaib Thahir A.Mu'in mendefinisikan ilmu mantiq sebagai ilmu yang dipergunakan untuk menggerakkan pikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran (Thaib Thahir A. Mu'in : 1966, hlm. 16). Tidak ketinggalan Irving M. Copi juga mendefinisikan bahwa logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah (Irving M. Copi : 1978, hlm. 3).
Dari kesekian banyak definisi logika tersebut di atas, berbeda-beda pernyataannya, tetapi intinya sama yakni bahwa:
1. Logika adalah ilmu pengetahuan yang mengatur penelitian hukum-hukum akal manusia sehingga menyebabkan pikirannya dapat mencapai kebenaran;
2. Logika ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari aturan-aturan dan cara-cara berpikir yang dapat menyampaikan manusia kepada kebenaran.
3. Logika ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari pekerjaan akal dipandang dari jurusan benar atau salah.
B. Pembagian Logika (Aqsam Al-Mantiq )
Logika dapat disistematikan menjadi beberapa golongan, tergantung dari mana melihatnya.Menurut The Liang Gie (1980) dalam Surajiyo menyatakan bahwa logika dapat digolongkan menjadi lima macam, yaitu 1) Logika makna luas dan makna sempit, 2) Logika deduktif dan logika induktif, 3) Logika formal dan logika material, 4) Logika murni dan logika terapan, 5) Logika filsafati dan logika matematik (Surajiyo, 2005 : 24-25).
1.Logika Dilihat Dari Segi Obyeknya
Obyek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek yang dibedakan menjadi dua, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material, yaaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, yang diselidiki, dipandaang, atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Sedangkan obyek formal, yaitu sudut pandang yang ditujkan pada bahan dari penelitian atau pementukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana obyek material itu disorot (Surajiyo, 2005: 11).
Dilihat dari segi obyeknya, sasaran logika juga ada dua yaitu oyek materia dan obyek forma. Oleh karena yang berpikir itu manusia, maka yang menjadi obyek atau lapangan penyelidikan logika secara material (sebagai sasaran umum) ialah 'manusia' itu sendiri. Tetapi manusia ini disoroti dari sudut tertentu (secara khusus) sebagai obyek forma, ialah 'budinya' (Poedjawijatna,1992: 14).
Secara garis besarnya, obyek bahasan-bahasan logika (mabahis ilm al-mantiq), dapat dikelompokkan menjdai tiga aspek, yaitu bahasan 'kata-kata' (al-Alfadh), bahasan proposisi (al-Qadliyah), dan bahasan pemikiran atau penalaran (al-Istidlal). Tujuan yang paling utama dari pelajaran ilmu mantiq (logika) adalah tentang al-Istidlal (reasoning = penalaran), tetapi sesungguhnya penalaran itu tersusun dari sejumlah putusan, begitu pula putusan itu tersusun dari beberapa kata. Maka pertama-tama yang harus dipelajari adalah bahasan kata-kata, kermudian bahasan proposisi, dan diakhiri bahasan penalaran. Hal ini, karena tidak mungkin seseorang dapat mengerti sebuah proposisi kalau belum mengerti bahasan kata; begitu pula tidak mungkin ia dapat mengerti penalaran sebelum mengerti kata dan proposisi (Muhammad Nur Ibrahimi, tt:12).
Ada yang memandang aspek pertama adalah tentang pengertian (konsep). Maka untuk memahami apakah logika itu, orang harus mempunyai pengertian yang jelas tentang penalaran. Penalaran adalah suatu bentuk pemikiran. Adapun bentuk-bentuk pemikiran yang lain, mulai dari yang sederhana ialah : pengertian atau konsep (conceptus; concept), proposisi atau pernyataan (proposition; statement), dan penalaran (ratiocinium; reasoning). Tidak ada sebuah proposisi tanpa pengertian, dan tidak ada penalaran tanpa proposisi. Maka untuk memahami sebuah penalaran, ketiga bentuk pemikiran tersebut harus dipahami bersama-sama (Soekadidjo,1994 :3).
2. Logika Dilihat Dari Segi Jenisnya
Dilihat dari segi jenisnya, logika ada dua macam, yaitu logika formal dan logika material.
1) Logika Formal ( al mantiq as-shuwari) yaitu logika yang mempelajari azas-azas, aturan-aturan atau hukum-hukum berpikir yang harus ditaati agar orang dapat berpikir dengan benar dan mencapai kebenaran
2) Logika Material ( al-mantiq al-maddi) yaitu logika yang mempelajari langsung pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan-kenyataan praktis yang sesungguhnya. Apakah hasil-hasil logika formal itu sungguh sesuai dengan isi (materi) kenyataan yang sebenarnya? (Hasbullah Bakry, 1970 :17).
3. Logika Dilihat Dari Segi Metodenya
Pada dasarnya, pola berpikir ilmiah itu ada dua macam yaitu, pola pikir logika tradisional dan pola pikir logika modern.
1) Logika Tradisional (al-mantiq al-qadim) adalah logika Aristoteles yang bersifat deduktif, artinya berpikir dari keputusan yang bersifat umum untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus;
2) Logika Modern (al-matiq al-hadits) adalah logika yang bersifat induksi, artinya berpikir berangkat dari peristiwa yang bersifat khusus untuk mendapatklan kesimpulan yang bertsifat umum (Robert L. Crooks, 1991 : 282-283).
Menurut Yuyun S. Suriasumantri, logika Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual; Sedangkan logika deduktif adalah cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus (Yuyun S. Suriasumantri,1996: 46-49).
Perbedaan antara deduktif dan induktif adalah sebagai berikut: Deduktif adalah argumentasi yang berawal dengan penempatan dua proposisi atau lebih, yang disebut premis, yang memprasyaratkan kebenaran (premis) yang bersangkiutan. Lalu suatu simpulan ditarik yang disyaratkan menuruti premis-premis itu dengan niscaya. Itulah pola dasar deduksi dengan tiga langkah, yang disebut Silogisme. Yang paling umum di antara semua itu adalah silogisme kategoris. Contoh-baku tipe silogisme itu adalah yang dipakai Sokrates untuk menyakinkan kawan-kawannya yang tidak mengkihawatirkan kematiannya yang menjelang, karena kematian tak terelakkan. Silogisme tersebut kelihatannya seperti berikut ini:
Semua manusia adalah fana.
Sokrates adalah manusia.
Sokrates adalah fana.
(Stephen Palmquis,Terj.,2002:131).
Sedangkan metode induksi, menghajatkan kita untuk berawal dengan memanfaatkan berbagai fakta material yang dengan diambil bersamaan, menunjuk pada kesimpulan yang diinginkan. Denagn kata lain, berlawanan dengan kebutuhan pengaturan deduksi yang sahih, induksi selalu melibatkan dugaan. Artinya, dengan meminjam peristilahan Kant, kita dapat menyatakan bahwa deduksi masih sepenuhnya berada di dalam dunia konsep, sedangkan induksi perlu juga memenfaatkan intusisi. Barangkali sebuah contoh aklan turut menerangi perbedaan itu.
Misalnya kita ingin membuktiian bahwa proposisi matahari selalu terbit dari timur adalah benar. Untuk mereduksi kebenaran pernyataan itu, kita perlu mendapatkan sekurang-kurangnya dua asumsi yang benar, yang dengan diambil bersamaan, mengharuskan penyimpulan semacam itu. Untuk contoh itu, kita bias memilih yang berikut ini :
Semua planet berputar mengelilingi suatu bintang dengan cara sedemikiana rupa sehingga bintang itu pada penampakannya selalu terbit di cakrawala timur planet yang bersangkutan. Bumi adalah planet dan matahari adalah bintang.
Matahari selalu terbit di timur.
Di sisi lain, agar sampai pada simpulan yang sama dengan itu dengan induksi, kita perlu berargumen dengan cara seperti berikut ini:
Ayahku berkata bahwa di hari pertama ia lihat matahari terbit, terbitnya di timur. Ibuku berkata bahwa matahari terbit di timur pada hari kelahiranku. Pada hari pertama aku lihat matahari terbit seingatku, terbitnya di timur. Pekan lalu, aku bangun awal dan melihat matahari terbit di timur.
Kemarin aku mengalami hal yang sama. Aku belum pernah mendengar orang berkata bahwa ia pernah melihat matahari terbit di utara, selatan, ataupun barat. Jadi, matahari selalu terbit di timur (Stephen Palmquis, Terj.,2002: 133-134).
4. Logika Dilihat Dari Segi Kualitasnya
Bila dilihat dari aspek kualitas kemampuan orang berpikir, maka logika itu dapat dikelompokkan menjadi dua tingkatan, yaitu ada logika naturalis dan logika ilmiah.
1) Logika Naturalis (Al-Mantiq al-fitri) adalah logika yang berdasarkan kemampuan akal pikiran bawaan manusia sejak lahir. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara sepontan sesuai dengan hukum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang, ia pasti dapat membedakan sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang bertentangan tidaklah sama.
2) Logika Ilmiah (al-Mantiq Al-Shuri) adalah logika yang bertugas membantu al-Mantiq al-fitri . Logika ini memperluas, mempertajam serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah, dan aman. Logika inilah yang menjadi pembahasan logika sekarang (Mundiri,1996: 13-14).
C. Manfaat Logika
Logika yang kita pelajari ini bermanfaat bagi kita. Yakni bahwa keseluruhan informasi keilmuan merupakan suatu system yang bersifat logis; karena itu science tidak mungkin melepaskan kepentingan dari logika.
1. Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan.
2. Logika menyampaikan kepada berpikir benar, lepas dari pelbagai prasangka, emosi, dan keyakinan seseorang; oleh karena itu mendidik manusia bersikap obyektif, tegas, dan berani; suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat.
3. Melatih kekuatan akal pikiran dan perkembangannya dengan latihan dan selalu membahas dengan metode-metode berpikir.
4. Dapat meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya dan melaksanakan pekerjaan tepat pada waktunya ( Mundiri, 1999: 15 : Lihat Muhammad Nur Ibrahimi, tt : 6).
Di sana ada beberapa faidah lain yang dipergunakan oleh berbagai suku bangsa, karena manusia mempunyai pemikiran dalam bebagai bidang ilmu kemanusiaan dan kealaman, sementara ilmu mantiq mempunyai aturan-aturan terutama yang bersangkut-paut dengan masalah rumah tangga, pendidikan anak, dan politik pemerintahan. Maka ilmu mantiq akan memberi pandangan yang tajam, dan dalilnya dapat memberi petunjuk, serta sinar-sinarnya yang jelas. Dan oleh karena itu, ilmu ini dapat disebut sebagai "al-qisthas al-mustaqim" (timbangan yang lurus), atau "ilmu al-ulum" ( ilmu segala ilmu) ,dan "ilmu al-mizan" (ilmu timbangan), serta "mi'yar al-ulum" (ukuran segala ilmu). Dan dari sini, seseorang dapat menangkap kepentingan ilmu mantiq, dan akan dapat tenang kepada apa yang diriwayatkan dari Imam Al-Ghazali yang mengatakan "bahwa orang yang tidak mengerti ilmu mantiq, maka ilmunya tidak kuat" (Muhammad Nur Ibrahimi,tt: 7).
D. Hukum Mempelajari Logika
Ulama' berselisih pendapat tentang hukum mempelajari logika dalam tiga pendapat, yaitu:
1. Melarang (haram) mempelajari logika. Yang mengatakan demikian adalah Imam an-Nawawi dan Imam Ibn Al-Shalah.
2. Memperbolehkan (jawaz) mempelajari logika. Ada sekelompok ulama' yang bependapat demikian, diantaranya Imam Al-Ghazali sambil mengatakan bahwa orang yang tidak mengerti logika, maka ilmunya kurang kuat terutama ketika dibutuhkan, karena tidak adanya kaidah-kaidak yang memperkuatkannya.
3. Pendapat yang masyhur dan shahih adalah merinci (tafshil), artinya bila orang yang menyibukkan diri mempelajari logika adalah pandai dan cerdas, serta mengerti Kitab Al-Qur'an dan al-Sunnah, maka bagi dia diperbolehkan, tetapi bila tidak demikian, maka dia tidak boleh (Al-Ahdlari, tt: 3).
Perlu diketahui, bahwa perselisihan pendapat tersebut di atas, bila mempelajari logika (ilmu mantiq) yang sudah tercemar dengan pendapat para filosuf, begitu disebutkan dalam kitab Al-Baidlawi. Sedangkan logika (ilmu mantiq) yang murni, seperti disebutkan oleh Imam Al-Sanusi dalam Al-Mukhtashar, dan termasuk dalam buku ini, maka tidak ada perselihan tentang bolehnya mempelajari logika, bahkan tidak jauh dari kebenaran, lagi pula mempelajari logika itu termasuk fardlu kifayah, artinya bila dalam satu daerah sudah ada seorang yang belajar, maka hukumnya mereka telah gugur kewajibannya, tetapi bila tidak ada seorang pun yang mengerti logika, maka seluruh penduduk di daerah itu dosa semua (Ahmad Damanhuri, tt : 5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar