Minggu, 29 Maret 2020

Apa itu Logika?

A. Logika ( ilm al mantiq )  
Perkataan "logika", secara itimologi berasal dari bahasa Yunani "logos" yang berarti 'kata' atau  'pikiran yang benar' (Hasbullah Bakry : 1981, 15). Ada yang mengatakan, 'logika' berasal dari bahasa Latin yakni kata "logos" yang berarti perkataan atau sabda (K. Prent C.M., J. Adisubrata , dan W.J.S. Poerwadarminta  : 1969, hlm. 501). Menurut Poedjawijatna, logika adalah 'filsafat berpikir'. Yang berpikir itu manusia dan berpikir merupakan  tindakan manusia. Tindakan ini mempunyai tujuan, yaitu untuk tahu (Poedjawijatna, 1992: 9). Dalam bahasa Arab, logika disebut  "Ilmu Al-Mantiq" dari kata dasar ‘nataqa’ yang berarti berbicara atau berucap (Ahmad Warson Munawir, al-Munawir:1984, hlm.1531, Al-Maluf,1986, hlm.816)). 
Akan tetapi logika secara istilah berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Maka untuk memahami apakah logika itu, orang harus mempunyai  pengertian yang jelas tentang penalaran (Soekadidjo, 1994:3). Menurut K.Berten dalam Surajiya mengatakan bahwa logika adalah ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita (Surajiya, 2005: 23).  Dalam buku  Logic and Language of Education, Logika disebut  sebagai  penyelidikan  tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir (George F.Kneller:1966,hlm.13). Sependapat dengan itu, Ibn Khaldun mengatakan bahwa ilmu al-Mantiq (logika) adalah undang-undang yang dapat dipergunakan untuk mengetahui pernyataan yang benar dari pernyataan yang salah (Ibn Khaldun: 2000, 474). Sedangkan dalam kitab Kamus 'Al Munjid' ilmu mantiq disebut sebagai hukum yang meneliti  hati nurani  dari kesalahan dalam berpikir (Louis Ma'luf : 1973, hlm. 816). Thaib Thahir A.Mu'in mendefinisikan ilmu mantiq  sebagai ilmu  yang dipergunakan untuk menggerakkan  pikiran  kepada  jalan yang lurus dalam memperoleh  suatu kebenaran (Thaib Thahir A. Mu'in : 1966, hlm. 16). Tidak ketinggalan Irving M. Copi juga mendefinisikan bahwa logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran  yang betul  dari penalaran yang  salah (Irving M. Copi : 1978, hlm. 3).
Dari kesekian banyak definisi logika tersebut di atas, berbeda-beda  pernyataannya, tetapi intinya sama  yakni bahwa:
1. Logika  adalah ilmu pengetahuan yang mengatur penelitian hukum-hukum akal manusia sehingga menyebabkan  pikirannya dapat  mencapai  kebenaran; 
2. Logika  ialah  ilmu pengetahuan yang mempelajari aturan-aturan dan cara-cara  berpikir yang dapat menyampaikan  manusia kepada  kebenaran.
3. Logika ialah  ilmu pengetahuan yang mempelajari pekerjaan akal dipandang  dari jurusan benar atau salah.


B. Pembagian Logika (Aqsam  Al-Mantiq )
Logika dapat disistematikan menjadi beberapa golongan, tergantung  dari mana melihatnya.Menurut The Liang Gie (1980) dalam Surajiyo menyatakan bahwa logika dapat digolongkan menjadi lima macam, yaitu 1) Logika makna luas dan makna sempit, 2) Logika deduktif dan logika induktif, 3) Logika formal dan logika material, 4) Logika murni dan logika terapan, 5) Logika filsafati dan logika matematik (Surajiyo, 2005 : 24-25).

1.Logika Dilihat Dari  Segi Obyeknya
Obyek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek yang dibedakan menjadi dua, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material, yaaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, yang diselidiki, dipandaang, atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Sedangkan obyek formal, yaitu sudut pandang yang ditujkan  pada bahan dari penelitian atau pementukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana obyek material itu disorot (Surajiyo, 2005: 11).
Dilihat dari segi obyeknya, sasaran logika juga ada dua yaitu oyek materia dan obyek forma. Oleh karena yang berpikir itu manusia, maka yang menjadi obyek atau lapangan  penyelidikan logika secara material (sebagai sasaran umum) ialah 'manusia' itu sendiri. Tetapi manusia ini disoroti dari sudut  tertentu (secara khusus) sebagai obyek forma, ialah  'budinya' (Poedjawijatna,1992: 14).  
Secara garis besarnya, obyek bahasan-bahasan logika (mabahis ilm al-mantiq), dapat dikelompokkan menjdai tiga aspek, yaitu bahasan 'kata-kata' (al-Alfadh), bahasan proposisi (al-Qadliyah), dan bahasan pemikiran atau penalaran (al-Istidlal). Tujuan yang paling utama dari pelajaran ilmu mantiq (logika) adalah tentang al-Istidlal (reasoning = penalaran), tetapi sesungguhnya  penalaran itu tersusun dari sejumlah putusan, begitu pula putusan itu tersusun dari beberapa kata. Maka pertama-tama yang harus dipelajari adalah bahasan  kata-kata, kermudian  bahasan proposisi, dan  diakhiri bahasan  penalaran. Hal ini, karena tidak mungkin seseorang dapat mengerti sebuah proposisi kalau belum mengerti bahasan kata; begitu pula tidak mungkin ia dapat mengerti  penalaran sebelum mengerti  kata dan  proposisi (Muhammad Nur Ibrahimi, tt:12). 
Ada yang memandang aspek pertama adalah tentang pengertian (konsep). Maka untuk memahami apakah logika itu, orang harus  mempunyai pengertian yang jelas tentang penalaran. Penalaran adalah  suatu bentuk pemikiran. Adapun bentuk-bentuk  pemikiran yang lain, mulai  dari yang sederhana ialah : pengertian atau konsep (conceptus; concept), proposisi atau  pernyataan (proposition; statement), dan penalaran (ratiocinium; reasoning). Tidak  ada sebuah proposisi tanpa pengertian, dan tidak  ada penalaran tanpa proposisi. Maka untuk  memahami sebuah penalaran, ketiga  bentuk  pemikiran tersebut harus  dipahami bersama-sama (Soekadidjo,1994 :3).

2. Logika Dilihat Dari Segi Jenisnya
Dilihat dari segi jenisnya, logika ada dua macam, yaitu logika  formal dan logika material.
1) Logika Formal ( al  mantiq as-shuwari) yaitu logika yang mempelajari azas-azas, aturan-aturan atau hukum-hukum berpikir yang harus ditaati agar orang  dapat berpikir dengan  benar dan mencapai kebenaran 
2) Logika Material ( al-mantiq al-maddi) yaitu logika yang mempelajari langsung pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan  kenyataan-kenyataan praktis yang sesungguhnya. Apakah hasil-hasil logika formal  itu sungguh sesuai dengan isi (materi) kenyataan yang sebenarnya? (Hasbullah Bakry, 1970 :17).



3. Logika Dilihat Dari Segi Metodenya
Pada dasarnya, pola berpikir ilmiah itu ada dua macam  yaitu, pola pikir logika  tradisional dan pola pikir logika  modern. 
1) Logika  Tradisional (al-mantiq al-qadim)  adalah logika  Aristoteles yang bersifat deduktif, artinya  berpikir dari keputusan yang bersifat umum untuk mendapatkan  kesimpulan yang bersifat khusus;
2) Logika  Modern (al-matiq al-hadits) adalah logika  yang bersifat  induksi, artinya berpikir berangkat dari  peristiwa yang bersifat khusus untuk mendapatklan kesimpulan yang bertsifat umum (Robert L. Crooks, 1991 : 282-283).
Menurut Yuyun S. Suriasumantri, logika  Induksi merupakan  cara  berpikir di mana  ditarik suatu kesimpulan  yang bersifat  umum dari berbagai kasus yang bersifat individual; Sedangkan  logika deduktif adalah  cara berpikir di mana  dari pernyataan  yang bersifat  umum  ditarik  kesimpulan  yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan  secara  deduktif biasanya mempergunakan pola  berpikir yang  dinamakan silogismus (Yuyun S. Suriasumantri,1996: 46-49).
Perbedaan antara deduktif dan induktif adalah sebagai berikut: Deduktif adalah argumentasi yang berawal dengan penempatan dua proposisi atau lebih, yang disebut premis, yang memprasyaratkan kebenaran (premis) yang bersangkiutan. Lalu suatu simpulan ditarik yang disyaratkan menuruti premis-premis itu dengan niscaya. Itulah pola dasar deduksi dengan tiga langkah, yang disebut Silogisme. Yang paling umum di antara semua itu adalah silogisme kategoris. Contoh-baku tipe silogisme itu adalah yang dipakai Sokrates untuk menyakinkan kawan-kawannya yang tidak mengkihawatirkan kematiannya yang menjelang, karena   kematian tak terelakkan. Silogisme tersebut kelihatannya seperti berikut ini:
       Semua manusia adalah fana.
       Sokrates adalah manusia.
       Sokrates adalah fana.
       (Stephen Palmquis,Terj.,2002:131).
Sedangkan metode induksi, menghajatkan  kita untuk berawal dengan memanfaatkan berbagai fakta material yang dengan  diambil bersamaan, menunjuk  pada kesimpulan yang diinginkan. Denagn kata lain, berlawanan dengan kebutuhan pengaturan deduksi yang sahih, induksi selalu  melibatkan dugaan. Artinya, dengan meminjam peristilahan Kant, kita dapat menyatakan bahwa deduksi masih sepenuhnya berada di dalam dunia konsep, sedangkan induksi perlu juga memenfaatkan intusisi. Barangkali sebuah contoh aklan turut menerangi perbedaan itu. 
Misalnya kita ingin membuktiian bahwa proposisi matahari selalu terbit dari timur adalah benar. Untuk mereduksi kebenaran pernyataan itu, kita perlu mendapatkan sekurang-kurangnya dua asumsi yang benar, yang dengan diambil  bersamaan, mengharuskan  penyimpulan semacam itu. Untuk contoh itu, kita bias memilih yang berikut ini :
Semua planet berputar mengelilingi suatu bintang dengan cara sedemikiana rupa sehingga bintang itu pada penampakannya selalu terbit di cakrawala  timur planet yang bersangkutan. Bumi adalah planet dan matahari adalah bintang.
Matahari selalu terbit di timur.
Di sisi lain, agar sampai pada simpulan yang sama dengan itu dengan induksi, kita perlu berargumen dengan cara seperti berikut ini:
Ayahku berkata  bahwa di hari pertama ia lihat matahari terbit, terbitnya di timur. Ibuku berkata bahwa matahari terbit di timur pada hari kelahiranku. Pada hari pertama aku lihat matahari terbit seingatku, terbitnya di timur. Pekan lalu, aku bangun awal dan melihat matahari terbit di timur.
Kemarin aku mengalami hal yang sama. Aku belum pernah mendengar orang berkata bahwa ia pernah melihat matahari terbit di utara, selatan, ataupun barat. Jadi, matahari selalu terbit di timur (Stephen Palmquis, Terj.,2002: 133-134).

4. Logika Dilihat Dari Segi Kualitasnya
Bila dilihat dari aspek kualitas kemampuan orang berpikir, maka logika itu dapat dikelompokkan menjadi dua tingkatan, yaitu  ada logika  naturalis dan logika  ilmiah.
1) Logika Naturalis (Al-Mantiq al-fitri) adalah logika yang berdasarkan kemampuan  akal pikiran bawaan manusia sejak lahir. Akal manusia yang normal dapat bekerja  secara sepontan  sesuai dengan hukum-hukum  logika dasar. Bagaimanapun  rendahnya  intelegensi  seseorang, ia pasti dapat membedakan sesuatu itu adalah berbeda  dengan sesuatu yang lain, dan  bahwa dua kenyataan yang bertentangan  tidaklah  sama.
2) Logika Ilmiah (al-Mantiq Al-Shuri)  adalah logika yang bertugas membantu al-Mantiq al-fitri . Logika ini  memperluas, mempertajam serta  menunjukkan jalan  pemikiran agar  akal  dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah, dan aman. Logika inilah yang menjadi pembahasan  logika sekarang (Mundiri,1996: 13-14).

C. Manfaat Logika
Logika  yang kita pelajari ini  bermanfaat  bagi kita. Yakni bahwa  keseluruhan  informasi keilmuan merupakan suatu system yang  bersifat logis; karena itu science tidak mungkin melepaskan kepentingan  dari logika.
1. Logika membantu  manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan  teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari  kekeliruan.
2. Logika  menyampaikan kepada  berpikir benar, lepas dari  pelbagai prasangka, emosi, dan keyakinan seseorang; oleh karena itu   mendidik  manusia bersikap obyektif, tegas, dan  berani; suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat.
3. Melatih kekuatan akal pikiran dan perkembangannya dengan latihan dan selalu  membahas dengan  metode-metode berpikir.
4. Dapat meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya dan melaksanakan  pekerjaan  tepat pada waktunya ( Mundiri, 1999: 15 : Lihat Muhammad Nur Ibrahimi, tt : 6).
Di sana ada beberapa  faidah lain yang dipergunakan oleh berbagai suku bangsa, karena manusia mempunyai pemikiran dalam  bebagai bidang ilmu kemanusiaan dan kealaman, sementara ilmu mantiq mempunyai aturan-aturan terutama yang bersangkut-paut dengan masalah rumah tangga, pendidikan anak, dan politik pemerintahan. Maka  ilmu mantiq akan memberi pandangan yang tajam, dan dalilnya  dapat memberi petunjuk, serta sinar-sinarnya yang  jelas. Dan oleh karena itu,  ilmu ini dapat disebut sebagai "al-qisthas al-mustaqim" (timbangan yang lurus), atau "ilmu al-ulum" ( ilmu segala ilmu) ,dan  "ilmu al-mizan" (ilmu timbangan), serta "mi'yar al-ulum" (ukuran segala ilmu). Dan dari sini, seseorang dapat menangkap  kepentingan ilmu mantiq, dan akan dapat tenang kepada apa yang diriwayatkan dari  Imam Al-Ghazali yang mengatakan  "bahwa orang yang  tidak mengerti ilmu mantiq, maka ilmunya tidak kuat" (Muhammad Nur Ibrahimi,tt: 7). 

D. Hukum Mempelajari Logika
Ulama' berselisih pendapat tentang hukum mempelajari logika dalam tiga pendapat, yaitu:

1. Melarang (haram) mempelajari logika. Yang mengatakan demikian adalah Imam an-Nawawi dan Imam  Ibn Al-Shalah.
2. Memperbolehkan (jawaz) mempelajari logika. Ada sekelompok ulama' yang bependapat demikian, diantaranya Imam Al-Ghazali sambil mengatakan  bahwa orang yang  tidak mengerti logika, maka  ilmunya kurang kuat terutama ketika  dibutuhkan, karena tidak adanya  kaidah-kaidak yang memperkuatkannya.
3. Pendapat yang masyhur dan shahih adalah merinci (tafshil), artinya  bila  orang yang  menyibukkan diri mempelajari logika adalah  pandai dan cerdas, serta  mengerti  Kitab Al-Qur'an  dan al-Sunnah, maka  bagi dia diperbolehkan, tetapi bila tidak demikian,  maka dia tidak boleh (Al-Ahdlari, tt: 3). 
            Perlu diketahui, bahwa  perselisihan pendapat  tersebut di atas, bila mempelajari logika (ilmu mantiq) yang sudah tercemar dengan  pendapat para filosuf, begitu  disebutkan dalam  kitab Al-Baidlawi. Sedangkan  logika (ilmu mantiq) yang murni, seperti  disebutkan oleh Imam Al-Sanusi dalam Al-Mukhtashar, dan termasuk dalam  buku ini, maka tidak ada perselihan tentang bolehnya mempelajari logika, bahkan tidak jauh dari kebenaran, lagi pula mempelajari logika itu termasuk  fardlu kifayah, artinya bila  dalam  satu daerah sudah ada seorang yang belajar, maka  hukumnya mereka  telah gugur kewajibannya, tetapi bila tidak ada seorang pun yang mengerti logika, maka seluruh penduduk di daerah itu dosa semua  (Ahmad Damanhuri, tt : 5).    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH (Kajian Fiqih seri 55)

_#seri55_ *KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH* Kasus kelima ini adalah kasus pertama dari tiga jenis mutahayirah yang sudah dise...