PENGERTIAN ( THE CONCEPTS, AL-TASHAWWUR)
A. Pengertian (konsep)
Pengertian dalam bahasa Arab disebut al-tashawwur atau konsept (Inggris), menurut asal katanya beratri tangkapan. Mengerti suatu barang berarti 'menangkap' 'apa barang itu' atau 'macam apa barang itu'. Dengan mengerti sesuatu, akal budi membentuk suatu gambaran tentang barang yang dimengertinya itu. Tanggapan atau gambaran yang dibentuk oleh akal-budi tentang kenyataan yang dimengertinya itu disebut "pengertian" atau "konsep" (Poespoprodjo,1999: 50). Pengertian merupakan satu atau lebih kata yang memiliki arti tertentu. Arti tertentu maksudnya, kata atau istilah itu tidak ada pengertian lain yang telah ditentukan.
Biasanya, suatu pengertian dinyatakan dalam suatu istilah yang terdiri atas satu atau dua kata, bahkan lebih yang kemudian disebut sebagai kata majemuk, seperti meja makan atau meja kursi. Meja makan atau meja kursi menunjukkan sejumlah ciri, diantaranya berupa ciri-ciri yang hakiki, ciri dasar dari pengertian itu sendiri (Sutardjo, 2006:83).
Jadi, pengertian di sini yang kita maksud ialah gambarannya dari barang dan gerakan barang yang dapat dilihat oleh akal kita. Penglihatan dari akal kita itu adalah hasil dari pengamatan indera kita. Misalnya kita melihat sesuatu, meraba sesuatu atau mendengar suatu bunyi atau perkataan, hasil pengamatan panca indera itu dikirim kapada akal kita lalu akal kita mengesankan sesuatu pengertian (konsepsi)(Hasbullah Bakry:1981: 19).
Biasanya ilmuwan memulai aktifitasnya berpikir dengan pengalaman indera atau observasi, misalnya mata melihat anjing, melihat warna hitam, telinga mendengar suara menggonggong. Bersamaan dengan aktifitas indera itu terjadilah aktifitas pikiran, yaitu pembentukan pengertian. Dalam hal ini, yangterbentuk ialah pengertian "anjing", "hitam", dan "menggonggong". Tepat tidaknya pengertian itu tergantung dari tepat tidaknya cara melakukan observasi dan ini adalah maslah fisik, bukan masalah pikiran. Sekali indera mengobservasi, terbentuklah pengertian yang bagi pikiran, merupakan data dalam proses berpikir lebih lanjut. Karena berasal dari pengalaman empirik, pengertian itu juga disebut data empirik. Juga disebut data psikologik, karena terbentuk melalui proses psikologik, yaitu pengamatan indera (Soekadidjo, 1994: 3).
Akal kita yakni bagian terpenting dari jiwa kita menangkap apa-apa yang terjadi lalu menggambarkan suatu pengertian tentang tangkapan itu (Hasbullah Bakry , 1981 : 19). Pengertian (konsep) itu tidak boleh disamakan dengan khayalan atau fantasi. Jika kita melihat sesuatu benda misalnya kerbau, maka timbul khayalan (fantasi) dalam jiwa kita, walaupun mata kita ditutup kita masih dapat melihat gambaran kerbau itu. Akan tetapi bukan fantasi ini yang dimaksud konsep atau pengertian itu. Pengertian dalam akal (intelek) kita tentang kerbau itu bukanlah hanya berupa gambaran khayalan saja tetapi berupa pengertian tentang hewan kerbau yang berbadan besar, memamah biak, dapat berusaha dan membajak, suatu hewan yang hidup yang dapat menolong kehidupan kitra. Dalam pengertian itu kerbau itu berharga dan dapat kita bicarakan dalam tawar-menawar perdagangan. Jadi seolah-olah pengertian (konsep) tentang kerbau itu berupa perkataan-perkataan teretulis dalam akal kita (Hasbullah Bakrey, 1981 : 20). Setelah akal membentuk pengertiannya, misalnya contoh lain adalah tentang pengertian "kucing", maka dengan pengertian itu kita dapat berpikir dan/atau berbicara tentang kucing, tanpa menunjukkan seekor kucing yang kongkrit lagi, karena kucing itu seakan-akan telah berada di dalam budi, yaitu dengan perantaraan konsep atau pengertian tentang kucing itu (Poespoprodjo, 1999: 51).
B. Klasifikasi Pengertian
Bahwa pengertianpengertian yang tersimpul dalam pikiran (akal) itu, sifatnya masih campur-aduk dan dapat mengelirukan diterima orang lain ketika kita mengucapkannya. Pengertian yang satu dapat diucapkan dengan bermacam-macam perkataan. Begitu juga suatu perkataan dapat diartikan pada pengertian yang berlainan. Misalnya perkataan Amat dan manusia suatu ketika sama pengertiannya, sebab Amat adalah manusia. Tetapi tidak dapat diartikan manusia itu adalah Amat, sebab pengertian manusia mencakup semua orang sedang pengerrtian Amat hanya terbatas pada si Amat saja. Sebab itu perlu kita beda-bedakan (mengadalan klasifikasi) tentang pengertian-pengertian itu. Dan pada klasifikasi pengertian-pengertian itu yang terpenting harus kita perhatikan isi (comprehension)-nya dan lingkungannya (extensi)-nya (Hasbullah Bakry, 1981 : 20).
Maka klasifikasi pengertian itu secara yang paling mudah dan sering juga dilakukan orang ialah secara dikhotomi, dalam bahasa Arab disebut tsuna'i yakni pembagian secara dua-dua.
Misalnya :
Yang Ada : Tuhan dan bukan Tuhan
Bukan Tuhan : Manusia dan Bukan manusia
Manusia : Asia dan bukan Asia
Asia : Indonesia dan bukan Indonesia
Indonesia : Jawa dan bukan Jawa
Jawa : Jawa Temgan dan bukan Jawa Tengah
Begitu seterusnya.
Tetapi klasifikasi pengertian itu menurut isi (comprehension)-nya yang lebih tegas adalah sebagai berikut :
1. Kollektif dan Distributif
Kollektif maksudnya pengertian yang isinya mencakup barang barang atau orang-orang secara kolleksi atau gerombolan misalnya losen, kodi, regu, dan sebagainya. Sedangkan distributive maksudnya pengertian yang terpisah-pisah menunjuk barang-barang itu sebagai sendiri-sendiri, atau satu-persatu misalnya orang, kuda, prajurit.,
2. Kongkrit atau Abstrak
Pengertian kongkrit ialah pengertian yang memamerkan kenyataan (realitet) sebagai pokok subyek yang berdiri sendiri, misalnya kita katakana : "Ini kuda putih". Pengertian kuda putih itu menunjuk kenyataan kuda dengan sifat putih. Sedangkan pengertian abstrak ialah pengertian yang memperlihatkan sifat tanpa memperlihatkan subyeknya, misalnya secara kongkrit kita katakana : " Ia amat pandai", tatapi secara abstrak kita mengatakan : " kepandaiannya amat sangat". Dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan pengertia yang abstrak itu adalah dengan menambah pada kata itu awalan "ke" dan akhiran "an", misalnya kebaikan, keburukan, keduniaan, kebangsaan, keadilan, dan sebagainya.
3. Menyindir (connotative) dan Terus-terang ( Non-connotative)
Yang dimaksud dengan pengertian menyindir (Connotative) di sini ialah menyatakan sesuatu dengan secara tidak langsung dan tidak secara terus-terang, misalnya di satu majlis, pembicara menerangkan sesuatu kepada khalayak ramai, tetapi kelihatan beberapa orang di antara mereka masih ada yang belum mengerti akan uraian itu. Secara terus-terang (Non-Connotative) pembicara itu dapat mengatakan : ‘Agaknya anda belum mengerti uraian saya’. Kata-kata agak kasar karena terus-terangnya, lebih baik diucapkan secara menyindir (Connotative), misalnya : "Agaknya uraian saya masih kabur bagi anda". Pengertian masih kabur di sini sama maksudnya dengan belum mengerti hanya saja diucapkan secara lebih sopan dan halus (Hasbullah Bakry, 1981 : 22).
Selanjutnya Klasifikasi Lingkungan Pengertian (extensi). Yang dimaksud lingkungan dari pengertisan di sini ialah menguraikan pengertian sesuatu sampai lingkungan kenyataan ( realitet) yang ditunjuk oleh pengertian itu. Misalnya kita sebut ‘manusia’, maka kata manusia tercakuplah di dalam lingkungan pengertian itu semua orang, termasuk anda, saya, Muhammad, Ali, dan sebagainya.
Secara gelobal, lingkungan pengertian itu dapat diklasifikasikan atas tiga lingkungan, yaitu :
1. Singular (Syakhshiyah)
Pengertian yang berlingkungan singular ialah pengertian satu orang atau satu barang saja. Tidak dapat dipakai untuk orang atau barang yang lain. Misalnya kalau kita sebut : Hasan, ayam, kuda, semua itu berarti terbatas pengertiannya pada satu orang atau benda itu saja.
2. Partikular (Juz'iyah)
Pengertian particular berlingkungan lebih dari satu tetapi tidak berarti mencakup semua. Pengertian itu menunjuk segerombolan atau sejumlah manusia atau bendsa. Misalnya sebagian orang, sebagian besar buku, sebagaian kecil harta, dan sebagainya.
3. Universal (Kulliyah)
Pengertian universal ialah pengertian yang mencakup semua bagian dengan tidak ada satupun yang dikecualikan. Misalnya : Semua manusia, seluruh hewan. Dan termasuk juga pengertian universal kalau kita katakana : "manusia" atau "hewan" saja tetapi diucapkan secara umum, misalnya kalimat : "manusia adalah makhluk Allah". Manusia di sana berarti semua manusia (Hasbullah Bakry, 1981 : 23).
C. Kata Dilihat Dari Berbagai Aspeknya
Berpikir itu berlangsung di dalam batin seseorang. Orang lain tidak dapat melihat apa yang sedang ia pikirkan. Akan tetapi bila apa yang dipikirkan itu hendak diberitahukan kepada orang lain, maka isi pikiran itu harus dinyatakan, dilahirkan, diungkapkan. Untuk menyatakan isi pikiran itu, ada sebuah alat komunikasi yang amat baik disebut dengan 'bahasa', baik bahasa lisan, tulis, maupun bahasa gerak. Dalam ilmu, terutama dalam logika, bahasa itu harus mencerminkan maksud setepat-tepatnya. Bahasa ilmiah harus logis, karena ilmu artinya pengetahuan, dan tahu ini mengikuti aturannya sendiri, yaitu logika (Poedjawijatna, 1992: 16-17). Oleh karena itu, di bawah ini akan kami uraikan sekitar bahasa yang tertuang dalam perkataan.
1. Pengertian Kata
Kata adalah tanda lahir yang menunjukkan baik barang-barang (kenyataan) maupun pengertian-pengertian tentang barang-barang (kenyataan) itu. Jadi kata adalah tanda lahir atau pernyataan dari pengertian, akan tetapi kata itu tidak sama dengan pengertian, sebab sering kali orang memakai kata-kata yang berlainan untuk menunjukkan pengertian/kenyataan yang sama. Misalnya kata biaya = ongkos; kata sebab = karena, dan lain sebagainya (Poespoprodjo, 1999:50). Yang jelas, sebuah kata adalah pernyataan yang sudah mempunyai arti atau makna, misalnya kata "saya", "berpikir", dan sebagainya.
2. Kata Dilihat Dari Terpakai Tidaknya
Suatu kata menurut ahli logika, dibagi menjadi dua, yaitu ada yang terpakai misalnya kata "Jakarta" adalah ibu kota Negara RI; Dan ada kata yang tidak terpakai, artinya tidak terpakai dalam dunia ilmiah, misalnya kata "Jakarta" dibalik menjadi " Ta-kar-ja"(Al-Haramain, tt, hlm.13).
3. Kata Dilihat Dari Suku Katanya
Kata ada yang memeliki susunan hanya satu suku kata, misalnya kata "ya", "di", "dan", dan sebagainya. Dan ada yang memiliki dua suku kata, misalnya kata "saya", "kata", dan sebagainya. Serta ada kata yang memiliki tiga suku kata atau lebih, misalnya kata "berpikir, "menyatakan", menganalisis", dan sebagainya.
Selanjutnya, kata dibagi menjadi dua, yaitu pertama, ada yang disebut mufrad (tunggal), dan kedua disebut murakkab (ganda).
Kata disebut mufrad (tunggal) yaitu :
(1) Apabila menunjukkan satu makna, dan bila dipisahkan dari suku katanya, maka tidak mempunyai makna misalnya kata "saya" (aku), tetapi ketika hanya dinyatakan satu suku kata saja (sa) atau (ya), maka tidak mempunyai makna sama sekali.
(2) Kata yang sudah tersususn dari dua kata berupa mudlaf dan mudlaf ilaih sebagai sebuah nama, misalnya kata "Abdullah". Kata tersebut terdiri dari dua kata, yaitu Abdul dan Allah, masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri, tetapi bila dipisah (Abdul) saja atau (Allah) saja, maka artinya tidak dapat dijadika sebagai sebuah nama dari seseorang.
Kata disebut murakkab (ganda), yaitu :
Kata yang disebut murakkab (ganda), artinya sebuah ungkapan yang terdiri dari dua kata dan masing-masing kata dari dua kata itu sudah menunjukkan sebuah makna. Kata murakkab ini, ada dua macam, yaitu (1) murakkab sempurna, dan (2) murakkab tidak sempurna, misalnya "Ahmad adalah mahasiswa", atau "pelempar batu". Yang pertama disebut murakkab sempurna, karena merupakan sebuah kalimat yang sudah ada subyeknya (Ahmad) dan sudah ada predikatnya (mahasiswa); sementara yang kedua disebut tidak sempurna, karena merupakan sebuah kalimat yang yang baru ada subyeknya (pelempar batu), dan belum ada predikatnya.
Dan perlu kami sampaikan di sini, bahwa kalimat murakkab yang sempurna itu ada dua macam, yaitu pertama disebut kalam khabar atau al-qadliyah (putusan), artinya sebuah pernyataan yang ada kemungkinan benar dan juga ada kemungkinan salah, misalnya pernyataan "Ali adalah mahasiswa". Pernyataan tersebut dianggap benar kalau sesuai dengan kenyataannya, memang ahmad adalah mahasiswa, tetapi dianggap salah kalau kenyataannya Ahmad adalah tidak mahasiswa; di sinilah bahasan logika. Kedua, kalam insya'i, yaitu sebuah pernyataan yang tidak dapat dinilai benar atau salahnya. Dalam hal ini, ada empat macam, yaitu (1) kalam amar (perintah), misalnya pernyataan "berpikirlah"; (2) kalam nahi (larangan), misalnya pernyataan "jangan berpikir"; (3) kalam istifham (pertanyaan), misalnya pernyataan "apakah anda berpikir ?" ; (4) kalam nida' (panggilan), misalnya pernyataan "wahai Ahmad". Keempat macam kalam tersebut, tidak dibicarakan dalam logika.
4. Kata Dilihat Dari Artinya
Kata dilihat dari artinya, maka dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
a. Univokal, (sama bentuknya, sama artinya) ialah kata yang dapat dikatakan tentang barang banyak (bawahannya) dengan arti yang sama. Misalnya kata 'manusia'. Di sini dapat dipakai untuk Ahmad, Muhammad, Umar, dan lain-lain.
b. Ekuivokal (sama bentuknya, lain artinya ) ialah kata yang sama, tetapi artinya sama sekali berlainan. Misalnya kata bisa, bulan, bunga, dan sebagainya. Dalam hal ini, kata bisa, ada yang berarti dapat dan ada yang berarti racun binatang buas; sementara kata bulan, ada yang berarti bulan di langit dan ada yang berarti bulan kalender; begitu pula kata bunga, ada yang berarti bunga tanaman yang wangi baunya dan ada yang berarti bunga bank.
c. Analogis (sama bentuknya, sedangkan artinya ada kesamaan dan ada perbedaannya), yakni kata yang mempunyai arti yang tidak sama persis (ada perbedaan), tetapi juga tidak sama berlainan (ada kesamaan). Misalnya kata 'sehat' sebenarnya dikatakan tentang orang, khusus badannya, tetapi dapat dikatakan tentang jiwanya, tentang obat (karena dapat menyembuhkan gangguan-gangguan kesehatan), tentang makanan (karena berguna untuk memelihara kesehatan), tentang hawa (karena berguna untuk kesehatan) dan sebagainya. Juga ada unsure kiasan atau perbandingan, misalnya 'orang kuat' 'obat kuat' (Poespopropdjo,1999:56-57).
Menurut Hasbullah Bakry, analogi itu ada tiga macam, yaitu :
1) Analogi Pinjaman (Analogi Atributionis), artinya pengertian itu sebagai pinjaman jika dalam hal itu pengertian di satu pihak sebagai akibat tetapi di pihak lain dipakai sebagai sebab, walhasil tidak lazim dalam pemakaian bahasa sehari-hari, misalnya ‘Makanan itu sehat’, ‘Hasan itu sehat’. Sebenarnya arti sehat dalam kedua kalimat tersebut tidak sama. Dalam kalimat kedua memang benar bahwa Hasan adalah sehat. Tetapi dalam kalimat pertma makanan sehat itu sendiri tidak benar sehat. Yang benar adalah bahwa makanan itu menyebabkan orang yang memakannya menjadi sehat badannya, bukan makanan sendiri yang sehat.
2) Analogi Metaphora, artinya pengertian sebagai metaphora jika sifat sebutan yang diberikan pada pokok kalimat itu merupakan kata-kata yang pada lahirnya tidak mungkin terjadi sama sekali, misalnya Rumah itu melambai saja. Tidak mungkin sebuah rumah dapat melambai-lambai. Atau Kami merasa bahwa tanaman itu tersenyum kepada kami. Tidak mungkin taman itu dapat tersenyum . Perkataan-perkataan itu sebenarnya hanya untuk melukiskan perasaan (subyektif) batin manusia sendiri yang melihat rumah tersebut. Begitu pula tanaman juga tidak mungkin dapat tersenyum, tetapi itu hanya perasaan orang yang melihat bunga tersebut.
3) Analogi Struktural, dinamakan suatu pengertian analogi struktural jika pengertian itu dengan pengertian-pengertian lain persamaan dan perbedaan terletak pada strukturalnya, misalnya Manusia ada’, ‘hewan ada’, ‘Malaikat ada’, ‘Tuhan ada’. Meskipun semua itu sma-sama ada, tetapi adanya itu tidaklah sama antara satu dengan yang lain. Adanya manusia dan adanya hewan sama dalam struktural physic-nya akan tetapi berbeda dalam struktur fahamnya. Adanya manusia sama sama dengan Malaikat dalam struktur rohaninya, akan tetapi berbeda dalam struktur physiknya. Begitu juga adanya manusia berbeda dengan Tuhan baik berbeda dalam lahir dan batin. Sebab struktur kemanusiaan berbeda dalam ukuran batas ruang dan waktu sedang adanya Tuhan lepas dari ukuran ruang dan waktu (Hasbullah Bakry, 1981 : 26).
5. Kata Dilihat Dari Isi Pengertiannya
Isi pengertian adalah semua unsur yang termuat di dalam pengertian itu. Misalnya kata "mahasiswa", jika kata mahasiswa itu dihapus atau diselidiki arti/isinya, maka ternyata ada pelbagai unsur yang terkandung di dalamnya: mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Demikian itu setiap pengertian atau kata mempunyai arti atau isi tertentu.
Di dalam bahasa Indonesia, ada banyak kata yang isinya cukup jelas, yakni kata-kata yang menunjukkan hal-hal yang kongkrit. Misalnya kata kursi itu terbuat dari kayu, hal ini cukup jelas. Kalau sekiranya ada orang yang belum pernah melihat kayu, maka kepadanya diterangkan dengan menunjuk sebatang kayu, atau dengan hal-hal yang sudah dimengerti olehnya.
Akan tetapi, pada kemajuan zaman, kata-kata seperti demokrasi, keadilan sosial, nilai, tujuan, keindahan, jujur, dan sebagainya, semuanya itu tidak terikat erat pada barang-barang yang kongkrit, dan sulit diterangkan dengan menunjukkan pada hal-hal langsung kita alami atau kita lihat sendiri. Kata-kata seperti itu disebut kata abstrak. Menerangkan isi atau kata-kata seperti itu lebih sulit. Misalnya kalau dikatakan "politik itu kotor", apa itu polotik ?, apa itu jahat ? , kapan disebut kotor? , kotor kepada siapa ?, apalah politik itu salah ? dan sebagainya . Isi kata-kata seperti itu kerapkali agak kabur atau samara-samar, apalagi kalau kata-kata itu dipakai oleh berbagai golongan yang belum memakainya dengan arti yang sama.Untuk menerangkan pengertian apa yang terkandung di dalamnya dan kenyataan mana yang ditunjuk dengannya, disebut memberi definisi (akan dibicarajan nanti dalam bahasan definisi).
6. Kata Dilihat Dari Luas Pengertiannya (kulli dan juz'i)
Luas pengertian adalah barang-barang atau lingkungan realitas yang ditunjuk dengan pengertian atau kata tertentu. Sebuah kata dapat berposisi sebagai kata "kulli" (keseluruhan), dan dapat berposisi sebagai kata "juz'i" (sebagian), tergantung dimana dia berdiri. Misalnya kata "kuda" dapat berkedudukan sebagai kata "juz'i" (bagian) bila pengertiannya adalah sebagian binatang, walaupun memang mencakup semua kuda entah besar, kecil, kurus, gemuk, putih, hitam, pokoknya tidak ada kuda yang tertinggal. Tetapi di luar lingkungan kata kuda tidak dapat diterapkan. Jadi kata kambing, kucing, anjing dan lain-lain berada di luar lingklungan kuda. Tetapi perkataan "binatang" dapat berkedudukan sebagai kata "kulli" (keseluruhan) bila pengertiannya meliputi semua jenis binatang yakni kuda, sapi, kucing, anjing, dan sebagainya. Barang-barang yang dapat ditunjuk dengan suatu kata tertentu disebut "bawahan" pengertian atau kata itu.
Contoh lain, pengertian "anak" misalnya, hanya anak-anak saja walaupun lingkungannya meliputi semua anak, tetapi hanya anak saja. Maka dalam hal ini kata anak sebagai kata juz'i (bagian) dari manusia; Sedangkan pengertian "manusia" lebih luas, bawahannya tidak hanya anak-anak saja, tetapi juga pemuda, pemudi, dan bahkan orang dewasa. Jadi kata manusia berkedudukan sebagai kata kulli (keseluruhan) jenis manusia.
7. Kata Dilihat Dari Ada Tidaknya Sesuatu
Kata dilihat dari ada tidaknya sesuatu (barangnya) yang terungkap dalam perkataan, maka ada tiga macam, yakni positif, negatif, dan privatif.
a. Pengertian positif, yaitu kata yang mengandung pengertian adanya sesuatu, misalnya kata gemuk (adanya daging), kaya (adanya harta benda), pandai (adanya ilmu), terang (adanya sinar) dan sebagainya.
b. Pengertian negative, yaitu kata yang diawali dengan salah satu dari : tidak, tak, atau bukan. Misalnya tidak gemuk, tak kurus, bukan kaya, dan sebagainya.
c. Pengertian privative, yaitu kata yang mengandung makna tidak adanya sesuatu, seperti kurus (tidak ada daging), bodoh (tidak adanya ilmu), miskin (tidak adanya harta), dam sebagainya(Mundiri, 1996: 19).
8. Kata Dilihat Dari Lingkungannya
Kata dilihat dari lingkungannya, maka ada empat macam, yaiti Universal, Partikular, Singular, dan Kolektif.
a. Pengertian Universal, yaitu kata yang mengikat keseluruhan bawahannya tanpa kecuali, misalnya kata rumah, kursi, hewan, manusia, dan sebagainya. Dimaksud adalah keseluruhan rumah, keseluruhan kursi, keseluruhan hewan, keseluruhan manusia.
b. Pengertian Partikular, yaitu kata yang mengikat bawahannya yang banyak, tetapi tidak mencakup keseluruhan anggota yang diikatnya, misalnya sebagian manusia, beberapa manusia, banyak manusia, sebagian besar manusia.
c. Pengertian Singular, yaitu kata yang anggotanya hanya satu. Mungkin nama unik, misalnya identitas Presiden RI pertama adalah Ir. Soekarno; atau nama diri, yaitu nama yang diberikan kepada orang atau barang untuk tujuan identifikasi, misalnya Hasan, Taman Mini Indonesia Indah, dan sebagainya.
d. Pengertian Kolektif, yaitu kata yang mengikat sejumlah barang yang mempunyai persamaan fungsi yang membentuk suatu kesatuan, misalnya regu, team, panitia, dewam, dan sebagainya (Mundiri, 1996: 20).
9. Penjelasan Tentang Hubungan Kata-kata Denagn Pengertian-pengertian (Fi Bayan Nisbah Al-Alfadh Li al-Ma'ani)
Hubungan antara kata-kata dan pengertian-pengertian itu ada lima macam, yaitu :
a. Mutawathi', yaitu kata yang artinya hanya memeliki satu arti, misalnya kata 'insan' artinya manusia.
b. Musyakkik, yaitu kata yang mempunyai arti berbeda kualitas, seperti kata 'abyadl' artinya putih. Dalam hal ini, misalnya arti putihnya kertas lebih tajam daripada putihnya baju.
c. Musytarak, yaitu kata yang ucapannya satu, tetapi artinya ganda, misalnya kata 'a'in. Kata 'ain, dapat berarti penglihatan, dan dapat berarti sumber mata air.
d. Mutaradif, yaitu kata yang ucapannya ganda tetapi artinya satu, misalnya kata 'basyar' dan 'insan', kedua-keduanya artinya satu, yaitu manusia.
e. Mutabayin, yaitu kata yang ucapannya ganda serta artinya juga berbeda-beda, misalnya kata 'insan', dan 'faras' . Kata 'insan' artinya manusia, sedangkan kata 'faras' artinya kuda.
10. Hubungan antara Isi dan Luas Pengertian (konotasi dan denotasi, al-mafhum wa al-mashadiq)
Setiap kata kulli mempunyai dua sisi dalam memberi petunjuk, yakni pertama memberi petunjuk terhadap pengertian, misalnya petunjuk "manusia" artinya 'binatang yang berpikir'; dan kedua memberi petunjuk terhadap individu-individu yang cocok dengan makna tersebut, misalnya "Ahmad" adalah salah satu individu yang cocok dengan petunjuk manusia di atas. Makna (pengertian) yang memberi petunjuk terhadap kata kulli itu disebut al-mafhum (konotasi), sedangkan individu yang cocok dengan makna kata kulli itu disebut al-mashadiq (denotasi).
Berkaitan dengan adanya hubungan antara isi dan luas konotasi dan denotasi di atas, maka berlaku hukum "bahwa semakin umum suatu pengertian, semakin sedikit isinya, tetapi semakin luas lingkungannya. Sebaliknya, semakin banyak isinya (makin mendekati kenyataan yang kongkrit), semakin sempit atau terbatas pula luasnya". Misalnya kata "mahasiswa", pengertiannya (konotasinya) masih sangat 'umum', sangat 'luas', sebab pengertiannya menerangkan terhadap mahasiswa mana saja yang berstatus sebagai mahasiswa. Kalau kata mahasiswa ini dikhususkan menjadi 'mahasiswa STAIN' , maka isinya (denotasinya) lebih padat dan lingkungan atau luasnya lebih terbatas.
11. Pertentangan Kata (Taqabul Al- Alfadh)
Yang dimaksud dengan pertentangan kata di sisni adalah tidak dapat berkumpulnya ada dua kata dalam waktu dan tempat yang sama, misalnya kata "hadir" dan " ghaib" atau "berbicara" dan "tidak berbicara", atau "hitam dan "putih" dan sebagainya. Dalam hal ini, ada tiga macam , yakni :
1) Berhadapannya kata positip dan negative, misalnya kata "manusia" dan "tidak manusia" atau kata "ada" dan "tidak ada", dan sebagainya , ini disebut ( taqabul al-naqidlain).
2) Berhadapannya dua kata sekiranya tidak mungkin dapat berkumpul dalam tempat dan waktu yang sama, tetapi mungkin dapat lenyap kedua-duanya dalam waktu yang sama, misalnya kata "hitam" dan "putih". Maka kata hitam dan putih itu tidak dapat berkumpul menjadi sifat sesuatu dalam waktu yang sama, jadi tidak mungkin misalnya 'bunga itu hitam dan putih'. Tetapi sifat hitam dan putih itu bisa hilang dari sesuatu kalau ada sifat lain yang muncul, misalnya 'bunga itu merah', ini disebut (taqabul al-diddain).
3) Berhadapannya dua kata sekiranya tidak mungkin diterima akal salah satunya tanpa sesuatu yang lain, misalnya kata "suami" dan "isteri" atau kata "murid" dan "guru". Tidak dapat diterima akal ada suami tetapi tidak ada isteri, begitu pula ada murid tetapi tidak ada guru; dan sebagainya, ini disebut (taqabul al-mutadlayifain).
12. Kata Kulli Dzati Dan Kulli 'Aradli
Kata kulli dzati ialah kata yang memang menjadi bagian dari hakikat sesuatu, bukan berada di luarnya, misalnya kata "binatang" atau kata "berpikir" bagi manusia. Maka, kata binatang atau kata berpikir adalah menjadi bagian dari hakikat manusia, sebab hakikatnya 'manusia adalah binatang yang berpikir'. Sedangkan kata kulli 'aradli ialah kata sifat yang berada di luar hakikat sesuatu, misalnya kata "tertawa" atau kata "putih" bagi manusia. Maka kata tertawa atau putih itu tidak menjadi hakikat dari manusia, melainkan hanya menjadi salah satu sifat yang dimiliki oleh manusia.
Selanjutnya, kata kulli itu secara umum dapat dibagi menjadi lima macam atau sering disebut "Al-kulliyat al-Khamsah", yaitu :
1) Al-Nau' (species), yaitu kata kata kulli yang denotasinya dapat dicocokkan untuk individu-individu yang hakikatnya sama, misalnya kata "manusia". Maka kata ini cocok untuk Ahmad, Husein, Ali, dan sebagainya, yang semua individu tersebut hakikatnya berada di bawah ungkapan "binatang".
2) Al-Jins (genus), yaitu kata kulli yang denotasinya dapat dicocokkan atas individu-individu yang berbeda-beda, atau dalam kata lain kata kulli yang di bawahnya terdapat banyak kata kulli yang lebih khusus darinya, misalnya kata "binatang". Maka kata binatang ini cocok untuk manusia dan lainnya dari berbagai sub binatang, seperti kerbau, kuda dan lain sebagainya. Jadi dapat dikatakan 'manusia adalah binatang' atau ' kambing adalah binatang'.
3) Al-Fashl (defferensi), yaitu kata sifat atau sejumlah sifat hakiki yang dapat membedakan antara hakikat satu individu dengan hakikat individu lainnya yang sama-sama masih berada dalam satu jenis, misalnya kata "berpikir" dalam kalimat 'manusia adalah binatang yang berpikir'. Maka kata berpikir ini menjadi sifat yang dapat membedakan antara manusia dengan individu kerbau, atau kuda, atau lainnya, tetapi semuanya masih berada dalam satu jenis, yaitu jenis binatang.
4) Al-Khasshah (proprium), yaitu sifat atau beberapa sifat yang datang baru dan menjadi sifat khusus dari individu-individu dalam satu khakikat, misalnya kata sifat "mampu belajar bahasa Arab" dalam kalimat 'manusia adalah mampu belajar bahasa Arab'. Maka sifat mampu belajar bahasa Arab adalah hanya dimiliki oleh manusia, bukan yang lain.
5) Al-'Ammah (accident), yaitu sifat atau beberapa sifat yang datang baru dan dimiliki secara umum oleh individu-individu yang berbeda-beda, misalnya kata sifat "hitam". Maka kata sifat hitam itu tidak hanya dimiliki oleh manusia saja, tetapi oleh individu-individu yang lain pula, misalnya 'manusia itu berkulit hitam' atau 'kambing itu berbulu hitam'.
Kemudian, kata kulli Dzati ini, yaitu ( al-Nau', al-Jinsi, dan al-Fashl) dibagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu kata kulli jinsi dibagi menjadi tiga, yakni ada yang bersifat dekat (qarib/safil), ada yang sedang (mutawassit), dsan ada yang jauh (ba'id/'Ali). Yang dimaksud kata kulli jenis dekat ialah kata kulli yang di bawahnya tidak ada lagi, tetapi di atasnya ada beberapa jenis, misalnya kata "binatang". Di bawah kata binatang tidak ada lagi jenis kecuali sepecies yang berbeda-beda hakikatnya, seperti manusia, kucing, kambing, dan sebagainya; sementara di atasnya ada beberapa jenis, seperti "berkembang", "jesim", dan "jauhar". Yang dimaksud kata kulli mutawassit (sedang) ialah kata kulli yang di atasnya ada kata kulli dan di bawahnya juga ada kata kulli, misalnya kata "berkembang" bagi binatang dan jisim. Sementara kata kulli ba'id (jauh) ialah kata kulli yang di atasnya sudah tidak ada lagi kata kulli, tetapi di bawahnya ada banyak kata kulli jinsi, misalnya kata "jauhar".
Adapun kata kulli al-Nau', dibagi menjadi dua, yaitu (1) al-Nau' hakiki artinya kata kulli yang terliput di bawah kata jenis dan individu-individunya berbeda-beda dalam satu hakikat, misalnya kata "manusia". Kata ini berada di bawah kata binatang. (2) al-Nau' Idlafi , yaitu kata kulli yang terliput di bawah jenis, baik individu-individunya berada dalam satu hakikat atau tidak, misalnya kata "binatang". Kata ini terliput di bawah kata berkembang dan individu-individunya tidak sama dalam satu hakikat, karena binatang itu diucapkan sebagai Nau' bagi jisim yang berkembang dan sebagai jenis bagi manusia, harimau dan lain-lain, maka disebut idlafi. Bahkan Al-Nau' idlafi ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga, yaitu ada yang bersifat dekat (safil / qarib), yaitu Nau' yang di bawahnya sudah tidak ada lagi kecuali individu-individu yang bersifat juz'iyyah, misalnya kata "manusia". Al-Nau' sedang (mutawassit), yaitu Nau' yang di bawah dan di atasnya ada Nau', misalnya kata "binatang" dan "berkembang". Sedangkan Al-Nau' jauh (bai'id/'Ali), yaitu Nau' yang di atasnya sudah tidak ada Nau' lagi keculai jenis tinggi, misalnya kata "jisim", maka kata ini tidak ada lagi di atasnya kecuali kata jauhar.
Pembagian kata sifat pembeda (defferensi/Al-Fashl) dibagi menjadi dua, yaitu (1) al-Fashl dekat (safil/qarib), yaitu sifat yang membedakan hakikat dari sesuatu yang bersekutu dalam jenis dekat, nisalnya kata "berpikir" bagi manusia. Kata ini membedakan antara hakikat-hakikat dalam satu jenis yaitu binatang. Adapun al-Fashl jauh (ba'id /'Ali) ialah sifat yang membedakan hakikat-hakikat dalam jenis jauh, misalnya kata "perasa" yang membedakan manusia dengan binatang dalam jenis yang jauh yaitu "jauhar".
13. Penggolongan (al-Taqsim al-Mantiqi)
Yang dimaksud dengan penggolongan ialah pekerjaan akal-budi menggolong-golongkan, membag-bagi, menganalisis, dan menyusun pengertian-pengertian dan barang-barang menurut kesamaan dan perbedaannya (Poespoprodjo, 1999 : 61). Penggolongan ini penting sekali dalam proses pemikiran dan ilmu pengetahuan, karena untuk pengupas suatu persoalan, kita harus dapat menangkap bagian-bagiannya serta menguraikan unsur-unsurnya.
1. Aturan Penggolongan
a. Penggolongan harus lengkap. Bila suatu hal dibagi-bagi, maka bagian-nagian yang dibagi itu harus meliputi semua bagian, tidak hanya sebagian atau beberapa bagian saja. Sehingga kalau bagian-bagian itu dijumlah lagi, hasilnya menjadi kesatuan yang dibagi-bagi tadi, tidak lebih dan tidak kurang. Misalnya 'Makhluk hidup', kalau dibagi ke dalam 'manusia, dan 'binatang', dimanakah tumbuh-tumbuhan ?
b. Penggolongan harus sungguh-sungguh memisahkan. Artinya, bagian yang satu tidak boleh mengandung bagian yang lain; tidak boleh ada overlapping (tumpang tindih); golongan-golongan harus dibedakan dengan jelas. Untuk itu, sebaliknya ada semacam 'perlawanan' antara bagian-bagian yang diperinci. Misalnya, kalau makhluk hidup digolong-golongkan ke dalam : manusia-binatang daratan-binatang laut, maka penggolongan ini tidak lengkap dan tidak cukup memisah-misahkan.
c. Penggolongan harus menurut dasar atau garis yang sama. Artinya, harus konsekuen dan tidak memakai dua atau lebih dasar sekaligus dalam pembagian yang sama.Misalnya, kalau kendaraan digolong-golongkan ke dalam 'yang bergerak di daratan' , 'yang bergerak di dalam air' , dan ' yang ditarik oleh tenaga binatang', maka di sini ada dua hal yang dicampur-adukkan: di mana bergeraknya, dan bagaimana digerakkan.
d. Penggolongan harus cocok untuk tujuan yang hendak dicapai. Misalnya, sensus penduduk : Seorang ahli antropologi akan menyusun penduduk menurut suku bangsa; ahli polotik memerlukan penggolongan menurut agama atau ideology yang dianut; ahli ekonomi akan menutamakan pembagian menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan seterusnya.
2. Beberapa Kesulitan Dalam penggolongan
a. Keseluruhan dan bagian-bagiannya. Jika suatu penggolongan disususn dengan tepat, maka apa yang benar untuk atasan atau keseluruhan itu juga dapat dikatakan tentang bawahan atau bagian-bagiannya, tetapi tidak sebaliknya. Demikisan juga apa yang harus dimungkiri tentang keseluruhan, juga dapat dimungkiri tentang bagian-bagiannya, tetapi tidak sebaliknya. Misalnya, 'sifat-sifat khas' dari makhluk hidup itu harus terdapat dalam semua makhluk hidup : manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan. Tetapi sifat-sifat yang khas untuk salah satu bagian, misalnya manusia, belum tentu terdapat dalam semua makhluk hidup. Contoh kongkrit, apa yang benar untuk semua 'manusia', juga benar untuk si Amat dan si Siti; akan tetapi apa yang benar untuk si Amat atau si Siti, belum tentu benar untuk semua manusia. Jadi, apa yang benar tidak untuk sebagian, belum tentu benar juga untuk keseluruhan.
b. Batas-batas Golongan. Dalam aturan kedua, dikatakan bahwa penggolongan harus cukup memisahkan ; golongan-golongan harus dapat dibedakan dengan jelas dan tegas, sehingga tidak timbul keragu-raguan siapa saja yang termasuk dalam golongan tertentu. Hal ini dalam praktiknya sukar sekali. Misalnya, golongan 'penduduk kota Kudus' itu kelihatannya jelas, sehingga tidak timbul kesangsian-kesangsian siapa-siapa saja yang termasuk dalam penggolongan ini. Namun dalam kenyataan, pasti timbul keragu-raguan juga, misalnya mengenai penduduk kampung-kampung yang ada di sekitar perbatasan kota. Keragu-raguan ini pasti timbl kalau misalnya, orang-orang kota digolong-golongkan menjadi orang kolot dan orang modern. Di sini tidak jelas lagi siapa yang termasuk golongan yang satu, dan siapa yang bukan.
c. Teknik hitam-putih. Orang yang bertpikir panjang, dengan mudah cenderung untuk menggolong-golongkan orang atau barang ke dalam dua golongan saja. Misalnya kawan-lawan, baik-buruk, pandai-bodoh, dan seterusnya. Dua golongan ini memang sudah dipisahkan, tetapi penggolongan ini tidak lengkap, karena di antara kedua ekstrim yang disebutkan itu masih ada bentuk-bentuk peralihan. Kesalahan ini kerap kali disalahgunakan dalam propaganda, yang hanya mengenal dua golongan saja yang 'bertentangan' satu sama yang lain; atau dengan kata lain, kedua warna saja : putih atau hitam, tanpa mau tahu akan bentuk-bentuk atau warna-warna yang ditengah-tengahnya, atau tanpa mau tahu akan nuansa masalah-masalah lekuk-likunya masalah (Poepoprodjo, 1999 : 60-66).
14. Definisi (Definition, al-Ta'rif)
Menurut arti kata, definisi bertarti 'pembatasan'. Maksudnya menentukan batas-batas pengertian sesuatu tertentu sehingga jelas apa yang dimaksudkan, tidak kabur dan tidak dicampur-adukkan dengan pengertian-pengertian sesuatu yang lain. Pembatasan-pembatasan dari pengertian sesuatu itulah yang dinamakan definisi. Dengan kata lain definisi ialah pengertian yang lengkap tentang suatu istilah di mana tercakup semua unsur-unsur yang menjadi ciri utama dari istilah itu (Hasbullah Bakry, 1981 : 23). Atau disebut dengan al-ta'rif , al-qaul al- syarih, al-had (al-Ahdlari, tt:5; Lihat Ahmad Damanhuri tt : 8-9; Lihat Muhammad Nur Ibrahimi,tt; 26-27).
14.1. Aturan-Aturan Membuat Definisi
Ada dua macam cara untuk membuat definisi, yaitu dengan menggunakan cara definisi nominal, dan cara definisi real.
1. Definisi 'Nominal' (menurut kata atau nama), ialah menerangkan arti "nama istilah tertentu". Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
(1) Menggunakan kata sinonim = kata searti yang lebih umum dimengerti. Misalnya, istilah konggres = musyawarah; motif = alasan atau dorongan;
(2) Mengupas asal-usul istilah tertentu (etimologi), yaitu istilah nama, yang biasanya dipinjam dari bahasa asing. Penerangan ini lalu terkenal oleh pembaca (pendengar) dalam hal kita ini tentu bahasa Indonesia. Misalnya, 'filsafat' asal-mulanya dari kata (Yunani) filo (cinta) dan sofia (kebijaksanaan), sehingga kalau di Indonesiakan filsafat dapat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Dengan keterangan ini orang tentu saja tidak tahu apakah sebenarnya filsafat itu. Definisi Nominal tidak banyak gunanya bagi menangkap pengertian, hanya mungkin dapat agak menolong ke arah pengertian.
2. Definisi 'Real', ialah definisi yang menerangkan apa yang sebenarnya barang tertentu itu, dengan cara menunjukkan realitas atau hakikat barang itu sendiri (Poespoprodjo, 1999 : 68).
Dalam membuat definisi dengan cara real ini, ada dua syarat, yakni (1) genera, dan (2) defferensi. Gerera artinya dengan menyebut sifat-sifat umum dari sesuatu yang didefinisikan; sedangkan defferensi artinya menyebutkan sifat hakikat sesuatu yang didefinisikan.
Misalnya mendifinisikan kata "manusia", sifat umumnya adalah kata 'binatang', dan sifat hakikatnya adalah kata sifat 'berpikir'. Jadi definisi manusia adalah 'binatang yang berpikir'.
14.2. Syarat-syarat Membuat Definisi
1) Kata yang didefinisikan dan definisinya, harus dapat dibolak-balik artinya tetap sama (muth-tharidan wa mun'akisan) yakni harus memasukkan semua sesuatu yang memang terlibat di dalamnya, dan mengeluarkan hal-hal yang tidak terlibat (jami' dan mani'), misalnya definisi "manusia adalah binatang yang berpikir". Dan dibalik menjadi "binatang yang berpikir adalah manusia". Keduanyan sama benarnya.
2) Definisi, harus menggunakan kata yang lebih jelas daripada yang didefinisikan, misalnya definisi konferensi adalah musyawarah.
3) Definisi, tidak boleh memasukkan kata yang didefinisikan, misalnya logika adalah ilmu tentang hukum-hukum logika atau ilmu yang membentangkan bagaimana berpikir dengan logis.
4) Definisi, tidak boleh menggunakan kalimat negatif, misalnya logika itu bukan tentang masakan.
5) Definisi, tidak boleh menggunakan kata yang lebih luas atau lebih sempit dari kata yang didefinisikan, misalnya 'mahasiswa' adalah 'orang pelajar' (lebih luas); atau 'mahasiswa' adalah 'orang pandai' (lebih sempit).
6) Tidak boleh menggunakan kata yang metafora, misalnya 'mahasiswa' adalah 'lautan ilmu'.