Senin, 30 Maret 2020

Pengertian, Klasifikasi Pengertian, dan Kata dalam Logika


PENGERTIAN  ( THE CONCEPTS, AL-TASHAWWUR)

 
A. Pengertian (konsep) 
Pengertian dalam bahasa Arab disebut al-tashawwur atau konsept (Inggris), menurut asal katanya beratri tangkapan. Mengerti suatu barang berarti 'menangkap' 'apa barang itu' atau 'macam apa barang itu'. Dengan mengerti sesuatu, akal budi membentuk suatu gambaran tentang  barang yang  dimengertinya itu.  Tanggapan atau gambaran yang dibentuk oleh akal-budi  tentang kenyataan yang dimengertinya itu disebut  "pengertian" atau "konsep" (Poespoprodjo,1999: 50). Pengertian merupakan satu atau lebih kata yang memiliki arti tertentu. Arti tertentu maksudnya, kata atau istilah itu tidak ada pengertian lain yang telah ditentukan. 
Biasanya, suatu pengertian dinyatakan dalam suatu istilah yang terdiri atas satu atau dua kata, bahkan lebih yang kemudian disebut sebagai kata majemuk, seperti meja makan atau meja kursi. Meja makan atau meja kursi menunjukkan sejumlah ciri, diantaranya berupa ciri-ciri yang hakiki, ciri dasar dari pengertian itu sendiri (Sutardjo, 2006:83).
 Jadi, pengertian di sini yang kita maksud ialah gambarannya dari barang dan gerakan  barang yang dapat dilihat oleh akal kita. Penglihatan dari akal kita itu adalah hasil dari pengamatan indera kita. Misalnya  kita melihat sesuatu, meraba sesuatu atau mendengar suatu bunyi atau perkataan, hasil pengamatan panca indera itu dikirim kapada akal kita lalu akal kita mengesankan sesuatu pengertian (konsepsi)(Hasbullah Bakry:1981: 19). 
Biasanya ilmuwan memulai aktifitasnya berpikir dengan  pengalaman indera atau observasi, misalnya mata  melihat anjing, melihat warna hitam, telinga mendengar suara menggonggong. Bersamaan dengan aktifitas indera itu terjadilah aktifitas pikiran, yaitu pembentukan pengertian. Dalam hal ini, yangterbentuk ialah pengertian "anjing", "hitam", dan "menggonggong". Tepat tidaknya pengertian itu tergantung  dari tepat tidaknya cara melakukan observasi dan ini adalah maslah fisik, bukan masalah pikiran. Sekali indera mengobservasi, terbentuklah pengertian yang bagi pikiran, merupakan data dalam proses berpikir lebih lanjut. Karena berasal dari pengalaman empirik, pengertian itu juga disebut  data empirik. Juga disebut  data  psikologik, karena terbentuk  melalui proses psikologik, yaitu pengamatan indera (Soekadidjo, 1994: 3).         
                               
Akal kita yakni bagian terpenting dari jiwa kita menangkap apa-apa yang terjadi  lalu menggambarkan suatu pengertian tentang tangkapan itu (Hasbullah Bakry , 1981 : 19). Pengertian (konsep) itu tidak  boleh disamakan dengan  khayalan atau fantasi. Jika kita melihat sesuatu benda misalnya kerbau, maka timbul khayalan (fantasi) dalam jiwa kita, walaupun mata kita ditutup kita masih dapat melihat gambaran kerbau itu. Akan tetapi bukan  fantasi ini  yang  dimaksud konsep atau pengertian itu. Pengertian dalam akal (intelek) kita tentang  kerbau itu bukanlah hanya berupa gambaran khayalan saja tetapi berupa pengertian tentang  hewan kerbau yang  berbadan besar, memamah biak, dapat berusaha dan membajak, suatu  hewan yang hidup yang  dapat menolong  kehidupan kitra. Dalam  pengertian itu kerbau itu  berharga dan dapat kita bicarakan dalam tawar-menawar perdagangan. Jadi seolah-olah pengertian (konsep) tentang kerbau itu  berupa perkataan-perkataan  teretulis dalam akal kita (Hasbullah Bakrey, 1981 : 20).  Setelah akal membentuk pengertiannya, misalnya contoh lain adalah tentang pengertian "kucing", maka dengan  pengertian itu kita  dapat  berpikir dan/atau berbicara  tentang kucing, tanpa  menunjukkan seekor kucing yang kongkrit lagi, karena  kucing itu  seakan-akan telah  berada   di dalam  budi, yaitu dengan  perantaraan konsep atau pengertian tentang kucing itu (Poespoprodjo, 1999: 51).

B. Klasifikasi Pengertian
Bahwa  pengertianpengertian  yang  tersimpul dalam pikiran (akal) itu, sifatnya masih  campur-aduk dan  dapat mengelirukan diterima orang lain ketika kita mengucapkannya. Pengertian yang satu  dapat diucapkan  dengan bermacam-macam perkataan. Begitu juga suatu  perkataan dapat diartikan pada pengertian yang berlainan. Misalnya  perkataan Amat dan manusia suatu ketika sama pengertiannya, sebab  Amat adalah manusia. Tetapi tidak  dapat  diartikan manusia itu adalah Amat, sebab pengertian manusia mencakup semua  orang sedang pengerrtian Amat hanya  terbatas pada si Amat saja. Sebab itu perlu kita beda-bedakan (mengadalan klasifikasi) tentang pengertian-pengertian itu. Dan pada  klasifikasi pengertian-pengertian itu yang terpenting  harus  kita perhatikan isi (comprehension)-nya dan  lingkungannya (extensi)-nya (Hasbullah Bakry, 1981 : 20).
Maka klasifikasi  pengertian itu secara yang paling mudah dan  sering  juga dilakukan orang ialah  secara  dikhotomi, dalam bahasa  Arab  disebut tsuna'i  yakni pembagian  secara  dua-dua. 
Misalnya :
Yang Ada     : Tuhan  dan  bukan Tuhan
Bukan Tuhan :  Manusia dan  Bukan manusia
Manusia       :  Asia dan  bukan Asia
Asia             :  Indonesia  dan   bukan Indonesia
Indonesia     :  Jawa dan bukan Jawa   
Jawa            :  Jawa Temgan dan bukan Jawa Tengah
Begitu seterusnya.  
Tetapi klasifikasi pengertian itu menurut isi (comprehension)-nya yang  lebih tegas adalah  sebagai berikut : 
1. Kollektif dan Distributif
Kollektif maksudnya pengertian yang isinya mencakup barang barang  atau  orang-orang secara kolleksi atau gerombolan misalnya losen, kodi, regu, dan sebagainya. Sedangkan  distributive maksudnya pengertian yang terpisah-pisah menunjuk barang-barang itu  sebagai sendiri-sendiri, atau satu-persatu  misalnya orang, kuda, prajurit.,
2.  Kongkrit atau Abstrak
Pengertian kongkrit ialah  pengertian yang memamerkan kenyataan (realitet) sebagai pokok subyek yang  berdiri sendiri, misalnya kita katakana : "Ini kuda putih". Pengertian kuda putih itu menunjuk  kenyataan  kuda dengan  sifat putih. Sedangkan  pengertian abstrak  ialah pengertian  yang memperlihatkan sifat tanpa memperlihatkan subyeknya, misalnya secara kongkrit kita katakana : " Ia amat pandai", tatapi secara abstrak  kita  mengatakan : " kepandaiannya amat sangat". Dalam bahasa Indonesia untuk  menyatakan pengertia yang abstrak itu adalah  dengan menambah  pada kata  itu awalan "ke" dan akhiran "an", misalnya kebaikan, keburukan, keduniaan, kebangsaan, keadilan, dan sebagainya.
3. Menyindir (connotative) dan Terus-terang ( Non-connotative)
Yang dimaksud dengan pengertian menyindir (Connotative) di sini ialah menyatakan sesuatu  dengan  secara  tidak langsung dan tidak  secara terus-terang, misalnya di satu majlis, pembicara  menerangkan  sesuatu kepada khalayak ramai, tetapi kelihatan beberapa orang  di antara mereka masih ada yang belum mengerti akan uraian itu. Secara terus-terang (Non-Connotative) pembicara itu dapat mengatakan : ‘Agaknya anda belum  mengerti uraian  saya’. Kata-kata agak kasar karena terus-terangnya, lebih baik diucapkan secara menyindir (Connotative), misalnya : "Agaknya uraian saya  masih  kabur bagi anda". Pengertian masih kabur di sini sama maksudnya dengan  belum  mengerti hanya saja  diucapkan  secara   lebih sopan dan halus (Hasbullah Bakry, 1981 : 22). 
Selanjutnya Klasifikasi Lingkungan Pengertian (extensi). Yang dimaksud  lingkungan  dari pengertisan di sini  ialah menguraikan pengertian sesuatu sampai lingkungan  kenyataan ( realitet) yang ditunjuk  oleh  pengertian itu. Misalnya kita  sebut ‘manusia’, maka kata manusia tercakuplah di dalam lingkungan  pengertian itu semua orang,  termasuk anda, saya, Muhammad, Ali, dan sebagainya. 
Secara gelobal, lingkungan pengertian itu dapat diklasifikasikan  atas tiga lingkungan, yaitu :
1. Singular (Syakhshiyah)
     Pengertian yang berlingkungan singular ialah pengertian satu orang atau satu  barang saja. Tidak  dapat dipakai  untuk orang atau  barang yang lain. Misalnya  kalau kita  sebut : Hasan, ayam, kuda, semua itu berarti  terbatas pengertiannya pada satu orang atau benda itu saja.
2.   Partikular (Juz'iyah)
      Pengertian  particular berlingkungan lebih dari satu tetapi tidak berarti mencakup semua. Pengertian itu  menunjuk  segerombolan atau sejumlah manusia atau bendsa. Misalnya sebagian orang, sebagian  besar  buku, sebagaian  kecil harta, dan sebagainya.
3.   Universal (Kulliyah)
Pengertian universal ialah pengertian  yang mencakup semua  bagian dengan tidak  ada satupun yang  dikecualikan. Misalnya : Semua manusia, seluruh hewan. Dan termasuk  juga pengertian  universal  kalau kita  katakana : "manusia" atau "hewan" saja tetapi diucapkan secara  umum, misalnya kalimat : "manusia adalah  makhluk Allah". Manusia di sana berarti semua manusia (Hasbullah Bakry, 1981 : 23).

C. Kata Dilihat Dari Berbagai Aspeknya
Berpikir itu berlangsung di dalam batin seseorang. Orang lain tidak  dapat melihat apa yang  sedang ia pikirkan. Akan tetapi bila  apa yang   dipikirkan  itu hendak diberitahukan  kepada orang lain, maka  isi  pikiran itu harus dinyatakan, dilahirkan, diungkapkan. Untuk menyatakan isi pikiran itu, ada sebuah alat komunikasi yang amat baik disebut dengan 'bahasa', baik bahasa lisan, tulis, maupun bahasa  gerak. Dalam ilmu, terutama dalam logika, bahasa itu  harus mencerminkan maksud  setepat-tepatnya. Bahasa ilmiah harus logis, karena ilmu artinya pengetahuan, dan tahu ini mengikuti aturannya sendiri, yaitu logika (Poedjawijatna, 1992: 16-17). Oleh karena itu, di bawah ini akan kami uraikan sekitar bahasa yang tertuang dalam perkataan.
1. Pengertian Kata
Kata adalah  tanda lahir yang  menunjukkan  baik  barang-barang (kenyataan) maupun pengertian-pengertian  tentang barang-barang  (kenyataan) itu. Jadi kata adalah  tanda lahir  atau  pernyataan  dari pengertian, akan tetapi  kata itu  tidak sama dengan  pengertian, sebab sering kali  orang  memakai kata-kata yang  berlainan  untuk menunjukkan pengertian/kenyataan yang sama. Misalnya  kata biaya = ongkos; kata sebab = karena, dan lain sebagainya (Poespoprodjo, 1999:50). Yang jelas, sebuah kata adalah pernyataan yang sudah mempunyai arti atau makna, misalnya kata "saya", "berpikir", dan sebagainya.
2. Kata Dilihat Dari Terpakai Tidaknya
Suatu kata menurut ahli logika, dibagi menjadi dua, yaitu ada yang terpakai misalnya kata "Jakarta" adalah ibu kota Negara RI; Dan ada kata yang tidak terpakai, artinya tidak terpakai dalam dunia ilmiah, misalnya kata "Jakarta" dibalik   menjadi " Ta-kar-ja"(Al-Haramain, tt, hlm.13). 
3. Kata Dilihat Dari Suku Katanya
Kata ada yang memeliki susunan hanya satu suku kata, misalnya kata "ya", "di", "dan", dan sebagainya. Dan ada yang memiliki dua suku kata, misalnya kata "saya", "kata", dan sebagainya. Serta ada kata yang memiliki tiga suku kata atau lebih, misalnya kata "berpikir, "menyatakan", menganalisis", dan sebagainya.
Selanjutnya, kata dibagi menjadi dua, yaitu pertama, ada yang disebut mufrad (tunggal), dan kedua disebut  murakkab (ganda). 

Kata disebut mufrad (tunggal) yaitu :
(1) Apabila menunjukkan satu makna, dan bila dipisahkan dari suku katanya, maka tidak mempunyai makna  misalnya kata "saya" (aku), tetapi ketika hanya dinyatakan satu suku kata saja (sa) atau (ya), maka tidak mempunyai makna sama sekali.
(2) Kata yang  sudah tersususn dari dua  kata berupa mudlaf dan mudlaf ilaih sebagai sebuah nama, misalnya kata  "Abdullah". Kata tersebut terdiri dari dua kata, yaitu Abdul dan Allah, masing-masing mempunyai  arti sendiri-sendiri, tetapi bila dipisah (Abdul) saja atau (Allah) saja, maka artinya tidak dapat dijadika sebagai sebuah nama dari seseorang.
Kata disebut murakkab (ganda), yaitu :
Kata yang disebut murakkab (ganda), artinya sebuah ungkapan yang terdiri dari dua kata dan masing-masing  kata dari dua kata itu sudah menunjukkan sebuah makna. Kata murakkab ini, ada dua macam, yaitu (1) murakkab sempurna, dan (2) murakkab tidak  sempurna, misalnya "Ahmad adalah mahasiswa", atau "pelempar batu". Yang pertama disebut murakkab sempurna, karena merupakan sebuah kalimat yang sudah ada subyeknya (Ahmad) dan sudah ada predikatnya (mahasiswa); sementara yang kedua  disebut tidak sempurna, karena merupakan sebuah kalimat yang yang baru ada subyeknya (pelempar batu), dan belum ada predikatnya. 
Dan perlu kami sampaikan di sini, bahwa kalimat murakkab  yang sempurna itu  ada dua macam, yaitu pertama disebut kalam khabar atau al-qadliyah (putusan), artinya sebuah pernyataan  yang ada kemungkinan benar dan juga ada kemungkinan salah, misalnya pernyataan "Ali adalah mahasiswa". Pernyataan tersebut  dianggap benar kalau sesuai dengan kenyataannya, memang ahmad adalah mahasiswa, tetapi dianggap salah kalau kenyataannya Ahmad adalah tidak mahasiswa; di sinilah bahasan logika.  Kedua, kalam insya'i, yaitu sebuah pernyataan yang tidak dapat dinilai benar atau salahnya. Dalam hal ini, ada empat macam, yaitu (1) kalam amar (perintah), misalnya pernyataan "berpikirlah"; (2) kalam nahi (larangan), misalnya pernyataan "jangan berpikir"; (3) kalam istifham (pertanyaan), misalnya pernyataan "apakah anda berpikir ?" ; (4) kalam nida' (panggilan), misalnya pernyataan "wahai Ahmad". Keempat macam kalam tersebut, tidak dibicarakan dalam logika.
4. Kata Dilihat Dari Artinya
Kata dilihat dari artinya, maka dapat dibedakan menjadi  tiga macam, yaitu :
      a. Univokal, (sama bentuknya, sama artinya) ialah  kata yang dapat dikatakan tentang barang banyak (bawahannya) dengan arti yang sama. Misalnya  kata 'manusia'. Di sini dapat dipakai untuk Ahmad, Muhammad, Umar, dan lain-lain.
       b. Ekuivokal (sama  bentuknya, lain  artinya ) ialah kata yang sama, tetapi  artinya  sama sekali berlainan. Misalnya kata bisa, bulan, bunga, dan  sebagainya. Dalam hal ini, kata bisa,  ada yang berarti dapat dan ada yang berarti racun binatang buas; sementara kata bulan, ada yang berarti bulan di langit dan ada yang berarti bulan kalender; begitu pula kata bunga, ada yang berarti bunga tanaman yang wangi baunya dan ada yang berarti bunga bank.  
       c. Analogis (sama bentuknya, sedangkan  artinya ada kesamaan dan ada  perbedaannya), yakni kata  yang  mempunyai arti  yang tidak sama persis (ada perbedaan), tetapi  juga tidak  sama  berlainan (ada kesamaan). Misalnya kata  'sehat' sebenarnya dikatakan tentang orang, khusus badannya, tetapi dapat dikatakan tentang jiwanya, tentang obat (karena dapat  menyembuhkan gangguan-gangguan kesehatan), tentang makanan (karena berguna untuk  memelihara kesehatan), tentang hawa (karena berguna untuk kesehatan) dan  sebagainya. Juga  ada unsure kiasan atau  perbandingan, misalnya 'orang  kuat'  'obat kuat' (Poespopropdjo,1999:56-57).

Menurut Hasbullah Bakry, analogi itu ada tiga macam, yaitu :
           1) Analogi Pinjaman (Analogi Atributionis), artinya pengertian itu sebagai pinjaman jika dalam  hal itu  pengertian di satu pihak sebagai  akibat tetapi di pihak lain dipakai  sebagai sebab, walhasil  tidak lazim dalam pemakaian  bahasa sehari-hari, misalnya  ‘Makanan itu sehat’, ‘Hasan itu sehat’. Sebenarnya arti  sehat  dalam kedua  kalimat tersebut tidak sama. Dalam kalimat kedua memang benar bahwa Hasan  adalah  sehat. Tetapi dalam kalimat  pertma makanan sehat itu sendiri tidak  benar sehat. Yang benar adalah bahwa makanan itu menyebabkan  orang  yang memakannya menjadi sehat badannya, bukan  makanan sendiri yang sehat.
         2) Analogi Metaphora, artinya pengertian sebagai metaphora jika  sifat  sebutan yang diberikan pada pokok kalimat  itu merupakan kata-kata yang pada  lahirnya tidak mungkin terjadi sama sekali, misalnya Rumah itu melambai saja. Tidak mungkin  sebuah  rumah dapat melambai-lambai. Atau Kami  merasa bahwa tanaman itu tersenyum  kepada kami. Tidak mungkin  taman itu  dapat tersenyum . Perkataan-perkataan itu sebenarnya  hanya  untuk  melukiskan perasaan (subyektif) batin manusia sendiri yang melihat rumah tersebut. Begitu pula tanaman juga tidak mungkin dapat tersenyum, tetapi itu hanya perasaan orang yang melihat bunga tersebut.
           3) Analogi Struktural, dinamakan  suatu pengertian  analogi struktural jika pengertian itu dengan  pengertian-pengertian lain persamaan dan  perbedaan terletak pada strukturalnya, misalnya Manusia  ada’, ‘hewan ada’, ‘Malaikat ada’, ‘Tuhan ada’. Meskipun semua itu sma-sama ada, tetapi  adanya  itu tidaklah sama  antara satu dengan yang lain. Adanya manusia dan adanya hewan sama dalam struktural physic-nya akan tetapi  berbeda  dalam  struktur fahamnya. Adanya manusia  sama  sama dengan Malaikat dalam struktur rohaninya, akan tetapi  berbeda  dalam  struktur physiknya. Begitu juga  adanya manusia  berbeda dengan Tuhan baik  berbeda dalam  lahir dan batin. Sebab struktur kemanusiaan  berbeda dalam ukuran  batas ruang dan waktu sedang adanya Tuhan  lepas dari ukuran  ruang dan waktu (Hasbullah Bakry, 1981 : 26).





5.  Kata Dilihat Dari Isi Pengertiannya
          Isi pengertian adalah semua unsur yang termuat  di dalam pengertian itu. Misalnya  kata "mahasiswa", jika kata mahasiswa itu dihapus atau diselidiki arti/isinya, maka  ternyata ada pelbagai unsur yang terkandung di dalamnya: mahasiswa adalah  orang yang  belajar di perguruan tinggi. Demikian itu setiap  pengertian atau kata  mempunyai arti atau  isi tertentu.
Di dalam  bahasa Indonesia, ada banyak kata yang isinya cukup jelas, yakni kata-kata  yang menunjukkan hal-hal  yang kongkrit. Misalnya kata kursi itu terbuat dari kayu, hal ini cukup jelas. Kalau sekiranya ada orang yang belum pernah  melihat kayu, maka  kepadanya diterangkan  dengan menunjuk sebatang kayu, atau  dengan hal-hal yang sudah dimengerti  olehnya.
 Akan tetapi, pada  kemajuan  zaman, kata-kata seperti demokrasi, keadilan sosial, nilai, tujuan, keindahan, jujur, dan sebagainya, semuanya itu tidak  terikat  erat  pada  barang-barang  yang kongkrit, dan sulit diterangkan dengan menunjukkan  pada hal-hal  langsung kita alami atau kita lihat sendiri. Kata-kata seperti itu disebut  kata abstrak. Menerangkan  isi  atau kata-kata seperti itu  lebih sulit. Misalnya  kalau  dikatakan  "politik itu kotor", apa itu polotik ?, apa itu jahat ? , kapan  disebut  kotor? , kotor kepada siapa ?, apalah politik itu salah ? dan sebagainya . Isi kata-kata seperti itu kerapkali agak kabur atau samara-samar, apalagi kalau kata-kata  itu dipakai  oleh  berbagai golongan yang belum  memakainya dengan arti yang sama.Untuk menerangkan pengertian apa yang  terkandung  di dalamnya dan  kenyataan mana yang  ditunjuk dengannya, disebut memberi definisi (akan dibicarajan nanti dalam bahasan definisi).

6.  Kata Dilihat Dari Luas Pengertiannya (kulli dan juz'i)
Luas pengertian  adalah barang-barang  atau lingkungan realitas yang  ditunjuk  dengan pengertian atau  kata  tertentu. Sebuah kata dapat berposisi sebagai kata "kulli" (keseluruhan), dan dapat berposisi sebagai kata "juz'i" (sebagian), tergantung dimana dia berdiri. Misalnya kata "kuda" dapat berkedudukan sebagai kata "juz'i" (bagian) bila pengertiannya adalah sebagian binatang, walaupun memang mencakup semua kuda entah besar, kecil, kurus, gemuk, putih, hitam, pokoknya tidak ada kuda yang tertinggal. Tetapi  di luar  lingkungan kata kuda tidak  dapat  diterapkan. Jadi kata kambing, kucing, anjing dan lain-lain  berada di luar  lingklungan kuda. Tetapi  perkataan "binatang" dapat berkedudukan sebagai kata "kulli"  (keseluruhan) bila pengertiannya meliputi semua jenis binatang yakni kuda, sapi, kucing,  anjing, dan sebagainya. Barang-barang yang  dapat ditunjuk  dengan  suatu kata tertentu disebut "bawahan" pengertian atau kata itu. 
Contoh lain, pengertian  "anak" misalnya, hanya  anak-anak saja walaupun lingkungannya meliputi semua anak, tetapi  hanya  anak saja. Maka dalam hal ini kata anak sebagai kata juz'i (bagian)  dari manusia; Sedangkan  pengertian "manusia" lebih luas, bawahannya tidak hanya  anak-anak saja, tetapi  juga pemuda, pemudi, dan bahkan orang dewasa. Jadi kata manusia berkedudukan sebagai kata kulli (keseluruhan) jenis manusia.
7. Kata Dilihat Dari Ada Tidaknya Sesuatu
Kata dilihat dari ada tidaknya sesuatu (barangnya) yang terungkap dalam perkataan, maka  ada tiga macam, yakni positif, negatif, dan privatif.
a. Pengertian positif, yaitu kata  yang  mengandung pengertian adanya  sesuatu, misalnya kata gemuk (adanya daging), kaya (adanya  harta benda), pandai (adanya ilmu), terang (adanya  sinar) dan sebagainya.
      b. Pengertian negative, yaitu kata  yang diawali  dengan  salah satu dari : tidak, tak, atau bukan. Misalnya  tidak gemuk, tak kurus, bukan kaya, dan sebagainya.
       c. Pengertian privative, yaitu kata yang mengandung  makna tidak adanya  sesuatu, seperti  kurus (tidak ada daging), bodoh (tidak adanya ilmu), miskin (tidak adanya harta), dam sebagainya(Mundiri, 1996: 19).
8. Kata Dilihat Dari Lingkungannya
Kata dilihat dari lingkungannya, maka ada empat macam, yaiti Universal, Partikular, Singular, dan Kolektif.
a. Pengertian Universal, yaitu kata yang mengikat  keseluruhan bawahannya tanpa kecuali, misalnya  kata rumah, kursi, hewan, manusia, dan sebagainya. Dimaksud adalah keseluruhan rumah, keseluruhan kursi, keseluruhan hewan, keseluruhan manusia.
b. Pengertian Partikular, yaitu kata yang  mengikat bawahannya yang banyak, tetapi  tidak mencakup keseluruhan anggota yang diikatnya, misalnya  sebagian  manusia, beberapa manusia, banyak manusia, sebagian besar manusia.
       c. Pengertian  Singular, yaitu kata yang anggotanya  hanya satu. Mungkin  nama unik, misalnya identitas Presiden RI pertama adalah Ir. Soekarno; atau nama  diri, yaitu  nama yang  diberikan  kepada orang atau barang untuk tujuan  identifikasi, misalnya  Hasan, Taman Mini Indonesia Indah, dan sebagainya.
       d. Pengertian Kolektif, yaitu kata yang  mengikat  sejumlah  barang  yang mempunyai persamaan fungsi yang membentuk suatu kesatuan, misalnya regu, team, panitia, dewam, dan sebagainya (Mundiri, 1996: 20). 
9. Penjelasan Tentang Hubungan Kata-kata Denagn Pengertian-pengertian (Fi Bayan Nisbah Al-Alfadh Li al-Ma'ani)
Hubungan antara kata-kata dan pengertian-pengertian itu ada lima  macam, yaitu :
a. Mutawathi', yaitu kata yang artinya hanya memeliki satu arti, misalnya kata  'insan' artinya manusia.
b. Musyakkik, yaitu kata yang  mempunyai arti berbeda kualitas, seperti kata 'abyadl' artinya putih. Dalam hal ini, misalnya arti putihnya kertas lebih tajam daripada putihnya baju.
c. Musytarak, yaitu kata yang ucapannya satu, tetapi artinya  ganda, misalnya kata 'a'in. Kata 'ain, dapat berarti penglihatan, dan dapat berarti sumber mata air.
d. Mutaradif, yaitu kata yang  ucapannya ganda tetapi artinya satu, misalnya  kata 'basyar' dan 'insan', kedua-keduanya artinya satu, yaitu manusia.
e. Mutabayin, yaitu kata yang ucapannya ganda serta artinya juga berbeda-beda, misalnya kata  'insan', dan 'faras' . Kata 'insan' artinya manusia, sedangkan kata 'faras' artinya kuda.
10. Hubungan antara Isi dan Luas Pengertian (konotasi dan denotasi,  al-mafhum  wa al-mashadiq)
Setiap kata kulli mempunyai dua sisi dalam memberi petunjuk, yakni pertama memberi petunjuk terhadap pengertian, misalnya petunjuk "manusia" artinya 'binatang yang berpikir'; dan kedua memberi petunjuk terhadap individu-individu  yang cocok dengan  makna tersebut, misalnya "Ahmad" adalah salah satu individu yang cocok dengan petunjuk manusia di atas. Makna (pengertian) yang memberi petunjuk  terhadap kata kulli  itu disebut al-mafhum (konotasi), sedangkan  individu yang  cocok dengan  makna  kata kulli itu disebut  al-mashadiq (denotasi).
 Berkaitan dengan adanya hubungan antara isi dan luas konotasi dan denotasi di atas, maka berlaku hukum "bahwa  semakin umum  suatu  pengertian, semakin sedikit isinya, tetapi  semakin luas  lingkungannya. Sebaliknya, semakin  banyak  isinya (makin  mendekati kenyataan yang kongkrit), semakin sempit  atau  terbatas pula luasnya". Misalnya kata "mahasiswa", pengertiannya (konotasinya) masih sangat 'umum', sangat  'luas', sebab pengertiannya   menerangkan terhadap mahasiswa mana saja yang berstatus sebagai mahasiswa. Kalau kata mahasiswa  ini  dikhususkan  menjadi 'mahasiswa STAIN' , maka  isinya (denotasinya) lebih  padat dan lingkungan atau  luasnya  lebih terbatas.
11. Pertentangan Kata (Taqabul Al- Alfadh)
Yang dimaksud dengan pertentangan kata di sisni adalah  tidak dapat berkumpulnya ada dua kata dalam waktu dan tempat yang sama, misalnya  kata "hadir" dan " ghaib" atau "berbicara" dan "tidak berbicara", atau "hitam dan "putih" dan  sebagainya. Dalam hal ini, ada tiga macam , yakni :
1) Berhadapannya kata positip dan negative, misalnya kata "manusia" dan "tidak manusia" atau  kata "ada" dan "tidak ada", dan sebagainya , ini disebut ( taqabul al-naqidlain).
2) Berhadapannya dua kata  sekiranya tidak mungkin  dapat berkumpul dalam  tempat  dan waktu yang sama, tetapi mungkin  dapat lenyap  kedua-duanya dalam waktu  yang sama, misalnya kata "hitam" dan "putih". Maka kata hitam dan putih itu tidak dapat berkumpul menjadi sifat  sesuatu dalam waktu yang sama, jadi tidak mungkin  misalnya 'bunga itu hitam dan putih'. Tetapi sifat hitam dan putih itu bisa hilang dari sesuatu kalau ada sifat lain yang muncul, misalnya 'bunga itu merah', ini disebut (taqabul al-diddain).
3) Berhadapannya dua kata  sekiranya tidak mungkin  diterima akal salah satunya tanpa  sesuatu yang lain, misalnya kata "suami" dan "isteri" atau kata "murid" dan "guru". Tidak dapat  diterima akal ada suami tetapi tidak ada isteri, begitu pula ada murid tetapi tidak ada guru; dan sebagainya, ini disebut (taqabul al-mutadlayifain).   
12. Kata Kulli Dzati Dan Kulli 'Aradli
Kata kulli dzati ialah kata yang memang  menjadi bagian dari hakikat  sesuatu, bukan berada di luarnya, misalnya  kata "binatang" atau kata "berpikir" bagi manusia. Maka, kata binatang atau kata berpikir adalah menjadi bagian dari  hakikat manusia, sebab hakikatnya 'manusia adalah binatang yang berpikir'. Sedangkan kata  kulli 'aradli ialah kata sifat yang  berada di luar hakikat sesuatu, misalnya kata "tertawa" atau kata "putih" bagi manusia. Maka kata tertawa atau putih itu tidak menjadi hakikat dari manusia, melainkan hanya menjadi salah satu sifat yang dimiliki oleh manusia.
Selanjutnya, kata kulli itu secara umum dapat dibagi menjadi lima macam atau sering disebut "Al-kulliyat al-Khamsah", yaitu :
1) Al-Nau' (species), yaitu kata kata kulli  yang  denotasinya dapat dicocokkan untuk  individu-individu yang hakikatnya sama, misalnya kata "manusia". Maka kata ini  cocok untuk  Ahmad, Husein, Ali, dan sebagainya, yang semua individu tersebut  hakikatnya  berada di bawah  ungkapan "binatang".
2) Al-Jins (genus), yaitu kata kulli yang denotasinya dapat dicocokkan  atas  individu-individu yang berbeda-beda, atau dalam  kata lain kata kulli yang di bawahnya terdapat banyak kata kulli yang lebih khusus darinya, misalnya kata  "binatang". Maka kata binatang ini  cocok untuk  manusia dan lainnya dari  berbagai sub binatang, seperti kerbau, kuda dan lain sebagainya. Jadi dapat dikatakan 'manusia adalah binatang' atau ' kambing adalah binatang'.
3) Al-Fashl (defferensi), yaitu kata  sifat  atau sejumlah sifat  hakiki yang dapat membedakan  antara hakikat satu individu dengan hakikat individu lainnya yang sama-sama masih berada dalam satu jenis, misalnya kata "berpikir" dalam kalimat 'manusia adalah binatang yang berpikir'. Maka kata berpikir ini menjadi sifat yang dapat membedakan antara manusia dengan  individu kerbau, atau  kuda, atau lainnya, tetapi semuanya masih berada dalam  satu jenis, yaitu jenis binatang.
4) Al-Khasshah (proprium), yaitu sifat atau beberapa sifat yang datang baru dan  menjadi sifat khusus dari  individu-individu dalam satu khakikat, misalnya kata  sifat "mampu belajar bahasa Arab" dalam kalimat 'manusia adalah mampu belajar bahasa Arab'. Maka  sifat mampu belajar bahasa Arab  adalah hanya  dimiliki oleh manusia, bukan yang lain.
5) Al-'Ammah (accident), yaitu  sifat atau beberapa sifat  yang  datang baru dan dimiliki secara umum oleh  individu-individu yang  berbeda-beda, misalnya kata sifat "hitam". Maka kata sifat hitam itu tidak  hanya dimiliki oleh manusia saja, tetapi oleh  individu-individu yang lain pula, misalnya 'manusia itu berkulit hitam' atau 'kambing itu berbulu hitam'.
Kemudian, kata kulli Dzati ini, yaitu ( al-Nau', al-Jinsi, dan al-Fashl) dibagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu kata kulli jinsi dibagi menjadi tiga, yakni ada yang bersifat dekat (qarib/safil), ada yang sedang (mutawassit), dsan ada yang jauh (ba'id/'Ali). Yang dimaksud kata kulli jenis dekat ialah kata kulli yang di bawahnya tidak ada lagi, tetapi di atasnya  ada beberapa  jenis, misalnya kata "binatang". Di bawah kata binatang  tidak ada lagi jenis kecuali sepecies yang berbeda-beda hakikatnya, seperti manusia, kucing, kambing, dan sebagainya; sementara di atasnya ada beberapa jenis, seperti  "berkembang", "jesim", dan "jauhar". Yang dimaksud kata kulli mutawassit (sedang) ialah  kata kulli yang di atasnya ada kata kulli dan di bawahnya juga ada kata kulli, misalnya kata "berkembang" bagi  binatang  dan jisim. Sementara kata kulli ba'id (jauh) ialah kata kulli yang di atasnya  sudah tidak ada lagi kata kulli, tetapi di bawahnya  ada banyak kata kulli jinsi, misalnya kata "jauhar".
Adapun kata kulli al-Nau', dibagi menjadi  dua, yaitu (1) al-Nau' hakiki artinya  kata kulli  yang  terliput di bawah kata jenis dan individu-individunya berbeda-beda dalam satu hakikat, misalnya kata "manusia". Kata ini berada di bawah kata binatang. (2) al-Nau' Idlafi , yaitu kata kulli yang terliput di bawah jenis, baik  individu-individunya  berada dalam satu hakikat atau tidak, misalnya  kata "binatang". Kata ini terliput di bawah kata berkembang dan individu-individunya  tidak  sama dalam satu hakikat, karena binatang itu diucapkan  sebagai Nau'  bagi jisim yang berkembang dan sebagai jenis bagi  manusia, harimau dan lain-lain, maka disebut idlafi. Bahkan Al-Nau' idlafi ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga, yaitu ada  yang bersifat dekat  (safil / qarib), yaitu  Nau' yang  di bawahnya sudah tidak ada lagi  kecuali individu-individu yang bersifat juz'iyyah, misalnya kata "manusia". Al-Nau' sedang (mutawassit), yaitu Nau' yang  di bawah dan di atasnya ada  Nau', misalnya kata "binatang" dan "berkembang". Sedangkan Al-Nau' jauh (bai'id/'Ali), yaitu Nau' yang di atasnya sudah tidak ada Nau' lagi keculai jenis  tinggi, misalnya kata "jisim", maka kata ini tidak ada lagi di atasnya kecuali kata jauhar.
Pembagian kata sifat pembeda (defferensi/Al-Fashl) dibagi menjadi dua, yaitu (1) al-Fashl dekat (safil/qarib), yaitu sifat yang membedakan hakikat dari sesuatu yang bersekutu dalam  jenis dekat, nisalnya kata "berpikir" bagi manusia. Kata ini membedakan antara hakikat-hakikat dalam satu jenis yaitu binatang. Adapun al-Fashl jauh (ba'id /'Ali) ialah  sifat yang membedakan  hakikat-hakikat dalam  jenis jauh, misalnya kata "perasa" yang membedakan  manusia dengan  binatang dalam jenis  yang jauh yaitu "jauhar".   
13. Penggolongan (al-Taqsim al-Mantiqi)
Yang dimaksud dengan penggolongan  ialah  pekerjaan  akal-budi menggolong-golongkan, membag-bagi, menganalisis, dan menyusun  pengertian-pengertian dan barang-barang  menurut  kesamaan dan perbedaannya (Poespoprodjo, 1999 : 61). Penggolongan ini penting sekali dalam proses pemikiran dan ilmu  pengetahuan, karena untuk  pengupas suatu  persoalan, kita harus dapat  menangkap bagian-bagiannya serta menguraikan unsur-unsurnya.
1. Aturan Penggolongan
     a. Penggolongan harus lengkap. Bila suatu hal  dibagi-bagi, maka bagian-nagian yang  dibagi itu harus meliputi semua bagian, tidak  hanya  sebagian atau beberapa  bagian saja. Sehingga  kalau  bagian-bagian itu  dijumlah lagi, hasilnya  menjadi kesatuan yang dibagi-bagi tadi, tidak lebih dan tidak kurang. Misalnya  'Makhluk  hidup', kalau dibagi ke dalam  'manusia, dan 'binatang', dimanakah  tumbuh-tumbuhan ?
     b. Penggolongan  harus sungguh-sungguh  memisahkan. Artinya, bagian  yang satu tidak  boleh mengandung  bagian yang  lain; tidak boleh ada overlapping (tumpang tindih); golongan-golongan harus dibedakan dengan jelas. Untuk itu, sebaliknya ada semacam 'perlawanan' antara bagian-bagian yang diperinci. Misalnya, kalau makhluk hidup  digolong-golongkan ke dalam : manusia-binatang daratan-binatang laut, maka  penggolongan  ini tidak lengkap dan tidak  cukup memisah-misahkan.
     c. Penggolongan harus menurut dasar  atau  garis yang sama. Artinya, harus  konsekuen dan tidak  memakai  dua  atau lebih dasar sekaligus dalam pembagian yang sama.Misalnya, kalau kendaraan digolong-golongkan ke dalam 'yang bergerak  di daratan' , 'yang  bergerak di dalam air' , dan ' yang  ditarik oleh  tenaga  binatang', maka di sini ada dua  hal yang  dicampur-adukkan: di mana  bergeraknya, dan bagaimana digerakkan.
  d.  Penggolongan harus cocok untuk  tujuan  yang  hendak dicapai. Misalnya, sensus penduduk : Seorang  ahli  antropologi akan menyusun penduduk menurut suku bangsa; ahli  polotik  memerlukan   penggolongan menurut agama atau ideology yang dianut; ahli ekonomi akan  menutamakan pembagian menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan seterusnya.
2. Beberapa Kesulitan Dalam penggolongan
     a. Keseluruhan dan bagian-bagiannya. Jika suatu  penggolongan disususn  dengan tepat, maka apa yang benar untuk atasan atau  keseluruhan itu juga dapat  dikatakan tentang  bawahan atau bagian-bagiannya, tetapi  tidak  sebaliknya. Demikisan juga apa yang  harus  dimungkiri tentang  keseluruhan, juga dapat dimungkiri tentang bagian-bagiannya, tetapi  tidak  sebaliknya. Misalnya, 'sifat-sifat khas' dari makhluk hidup itu harus terdapat dalam  semua  makhluk hidup : manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan. Tetapi sifat-sifat yang khas untuk salah satu bagian, misalnya manusia, belum  tentu  terdapat  dalam  semua  makhluk hidup. Contoh kongkrit, apa yang benar untuk  semua  'manusia', juga benar untuk si Amat dan si Siti; akan tetapi  apa yang  benar untuk  si Amat atau si Siti, belum  tentu  benar untuk  semua  manusia. Jadi, apa  yang benar tidak untuk sebagian, belum tentu  benar  juga untuk keseluruhan.
      b. Batas-batas  Golongan. Dalam  aturan kedua, dikatakan bahwa  penggolongan harus cukup memisahkan ; golongan-golongan harus dapat  dibedakan dengan jelas dan tegas, sehingga tidak timbul keragu-raguan siapa saja  yang termasuk dalam golongan tertentu. Hal ini   dalam praktiknya sukar sekali. Misalnya, golongan 'penduduk kota Kudus'  itu kelihatannya jelas, sehingga  tidak timbul kesangsian-kesangsian siapa-siapa saja yang termasuk dalam  penggolongan ini. Namun dalam  kenyataan, pasti timbul keragu-raguan juga, misalnya mengenai penduduk kampung-kampung yang ada  di sekitar perbatasan kota. Keragu-raguan ini  pasti timbl kalau misalnya, orang-orang kota  digolong-golongkan menjadi  orang kolot dan orang  modern. Di sini tidak jelas lagi siapa yang  termasuk  golongan  yang satu, dan siapa yang  bukan.
     c. Teknik hitam-putih. Orang yang bertpikir panjang, dengan  mudah  cenderung untuk  menggolong-golongkan orang  atau barang  ke dalam  dua golongan  saja.  Misalnya kawan-lawan, baik-buruk, pandai-bodoh, dan seterusnya. Dua golongan ini  memang sudah dipisahkan, tetapi  penggolongan  ini tidak lengkap, karena di antara kedua ekstrim yang disebutkan itu masih ada bentuk-bentuk  peralihan. Kesalahan ini kerap kali disalahgunakan dalam propaganda, yang hanya  mengenal dua golongan saja yang 'bertentangan' satu  sama yang lain; atau  dengan kata lain, kedua warna saja : putih atau hitam, tanpa mau  tahu akan bentuk-bentuk atau warna-warna yang ditengah-tengahnya, atau tanpa mau tahu  akan nuansa masalah-masalah lekuk-likunya masalah (Poepoprodjo, 1999 : 60-66).       
14. Definisi (Definition, al-Ta'rif)
Menurut arti kata, definisi bertarti 'pembatasan'. Maksudnya  menentukan batas-batas pengertian sesuatu tertentu sehingga  jelas apa yang dimaksudkan, tidak  kabur dan tidak dicampur-adukkan dengan  pengertian-pengertian sesuatu yang lain. Pembatasan-pembatasan dari pengertian sesuatu itulah  yang dinamakan definisi. Dengan kata lain  definisi ialah  pengertian yang lengkap tentang suatu istilah di mana  tercakup semua  unsur-unsur  yang  menjadi ciri utama dari istilah  itu (Hasbullah Bakry, 1981 : 23). Atau disebut dengan al-ta'rif , al-qaul al- syarih, al-had (al-Ahdlari, tt:5; Lihat Ahmad Damanhuri tt : 8-9; Lihat Muhammad Nur Ibrahimi,tt; 26-27).
     14.1. Aturan-Aturan Membuat Definisi
Ada dua macam cara untuk membuat definisi, yaitu dengan menggunakan cara  definisi nominal, dan cara definisi real.
1. Definisi 'Nominal' (menurut kata atau nama), ialah  menerangkan arti "nama istilah tertentu". Hal ini dapat  dilakukan dengan dua cara, yaitu 
      (1) Menggunakan kata sinonim = kata searti yang lebih umum dimengerti. Misalnya, istilah konggres = musyawarah; motif = alasan atau dorongan; 
      (2) Mengupas asal-usul  istilah tertentu (etimologi), yaitu istilah  nama, yang biasanya dipinjam dari bahasa asing. Penerangan ini lalu  terkenal oleh pembaca (pendengar) dalam hal kita  ini tentu  bahasa  Indonesia. Misalnya, 'filsafat' asal-mulanya dari kata  (Yunani) filo (cinta) dan sofia (kebijaksanaan), sehingga kalau  di Indonesiakan filsafat dapat berarti cinta  kepada  kebijaksanaan. Dengan keterangan ini orang tentu saja tidak  tahu  apakah sebenarnya filsafat itu. Definisi Nominal tidak banyak gunanya bagi  menangkap  pengertian, hanya  mungkin  dapat  agak menolong  ke arah pengertian.
2. Definisi 'Real', ialah  definisi yang menerangkan  apa yang sebenarnya  barang  tertentu itu, dengan cara menunjukkan realitas atau hakikat barang  itu sendiri (Poespoprodjo, 1999 : 68). 
      Dalam membuat definisi dengan cara real ini, ada dua syarat, yakni (1) genera, dan (2) defferensi. Gerera artinya  dengan menyebut sifat-sifat umum dari sesuatu yang didefinisikan; sedangkan defferensi artinya  menyebutkan sifat hakikat sesuatu yang didefinisikan. 
      Misalnya mendifinisikan kata "manusia", sifat umumnya adalah  kata 'binatang', dan sifat hakikatnya adalah kata sifat 'berpikir'. Jadi definisi manusia adalah 'binatang yang berpikir'.
      14.2. Syarat-syarat Membuat Definisi
                1) Kata yang didefinisikan dan definisinya, harus dapat dibolak-balik artinya tetap sama (muth-tharidan wa mun'akisan)  yakni harus memasukkan  semua  sesuatu yang memang terlibat di dalamnya, dan mengeluarkan hal-hal yang tidak terlibat (jami' dan mani'), misalnya definisi "manusia adalah  binatang yang berpikir". Dan dibalik menjadi "binatang yang berpikir adalah manusia". Keduanyan sama benarnya.            
         2) Definisi, harus menggunakan kata yang lebih  jelas daripada yang didefinisikan, misalnya definisi konferensi adalah musyawarah.                  
         3) Definisi, tidak boleh memasukkan kata yang didefinisikan, misalnya  logika adalah  ilmu tentang hukum-hukum logika  atau ilmu  yang membentangkan  bagaimana  berpikir dengan logis.
          4) Definisi, tidak boleh  menggunakan kalimat negatif, misalnya logika  itu bukan  tentang  masakan.
          5) Definisi, tidak boleh menggunakan kata yang lebih luas atau lebih sempit dari  kata yang didefinisikan, misalnya 'mahasiswa' adalah 'orang pelajar' (lebih luas); atau 'mahasiswa' adalah  'orang pandai' (lebih sempit).
          6) Tidak boleh menggunakan kata  yang metafora, misalnya 'mahasiswa' adalah 'lautan ilmu'.
 

Minggu, 29 Maret 2020

Betapa Indahnya Khidmahku (karya : Nela Dwi Kusumawati)

Oke, disini saya akan membagikan cerpen karya saya, silahkan dibaca, semoga bermanfaat, dan mohon saran dan kritiknya,

Betapa Indahnya Khidmahku
Karya : Nela Dwi Kusumawati (Gunungwungkal)

Aku bukanlah siapa-siapa. Aku tak pernah tau siapa diriku dan apa kemampuanku. Aku lahir di wilayah pegunungan, daerah nan jauh dari keramaian kota. Sampai pada saatnya aku menemukan dunia baruku disaat aku keluar dari desa terpencilku itu. Aku melanjutkan proses belajarku di salah satu SMA favorit di kotaku. Jaraknya cukup jauh dari desaku sekitar 1 jam perjalanan menggunakan transportasi umum.

Keseharianku sama seperti anak-anak SMA pada umumnya. Pagi berangkat sekolah dan usai kegiatan pembelajaran akupun kembali pulang. Saat aku berada di bangku kelas X aku iri pada teman-temanku yang bisa dibilang sukses berorganisasi bersama kakak kelas. Tiap kali ada kakak kelas yang masuk kelas pasti yang dicari tiada lain adalah Nina dan Amir. Nina adalah anak baru sepertiku namun karna ada kakak kelas yang mengenalnya dengan baik dan mengetahui kemampuannya, akhirnya Ia bisa masuk OSIS dengan mudahnya. Selanjutnya Amir, Amir adalah anak yang terbilang pandai di kelasku, dan karna Ia merupakan keponakan dari Kepsek, ya wajarlah kalo dia gampang masuk dunia OSIS. Sekarang lihat aku.. Siapa aku?? Apa kemampuanku?? Aku hanya bisa iri pada mereka, aku juga bagian dari OSIS namun ruang gerakku tak seluas Amir dan Nina.

Dan yang perlu diketahui, Nina adalah orang yang dipilih oleh pihak SMA ku saat ada Sosialisasi Perdana IPNU IPPNU. Saat itu aku menjadi pengurus harian, tepatnya bendahara. Namun sayangnya ketika satu periode Nina berjalan tak ada yang berubah di SMA ku, OSIS masih berjalan sebagai mana biasanya dan IPNU IPPNU masih belum tercium baunya. Sampai selang satu tahun berikutnya, ada sosialisasi IPNU IPPNU lagi oleh PAC setempat. Dan saat itu kebetulan Nina dan Amir sedang ada persiapan lomba yang menyebabkan Nina selaku ketua IPPNU tidak dapat menemui pihak PAC tadi.

Alhasil aku dan Sherin terpaksa menemui tamu-tamu tersebut. Tujuan PAC tadi tak lain dan tak bukan adalah untuk mendirikan komisariat di SMA ku. Saat itu pembina kami Bapak Umam berhalangan hadir dan tidak dapat menemui tamu-tamu tersebut. Mereka hanya bisa bertemu sebagian kecil aktifis dari SMA kami dan tanpa diduga-duga aku dipilih menjadi Ketua IPPNU kala itu. Seorang Nanda jadi ketua??? Sesuatu yang tak pernah terbayang olehku. Jadi apa nantinya jika organisasi tersebut diketuai olehku?? Aku tak tau apa-apa!! Aku tak bisa apa-apa!! (Perang batinpun terjadi dalam diriku).

Karena bagaimanapun itu amanah yang diberikan padaku, aku terima amanah tersebut dan aku pasti bertanggung jawab. Di salah satu kesempatan, Bapak Susilo guru yang mengajarku pernah mengatakan, “anak seumuran kalian kok tidak tau kemampuannya sendiri, itu berarti idiot!” aku tercengang saat mencerna kata-kata itu. Dalam batinku aku tidak mau dianggap idiot tapi kenapa sampai saat ini aku belum tau kemampuanku?? Siapa aku??

Hari-hari berlalu dengan tetap aku memikirkan apa kemampuanku. Akupun seperti biasa menjalankan rutinitasku menjalankan tanggung jawabku di IPPNU. Aku tak pernah mau dan juga termotivasi untuk masuk dalam ranah IPPNU. Aku hanya terjebak dengan tanggung jawab yang mengikatku. Sampai pada akhirnya aku dituntut melakukan apa yg belum pernah aku lakukan, melakukan apa yang tidak suka aku lakukan dan masih banyak lagi. IPPNU serasa menjadi neraka bagiku kala itu. Aku hanya bisa sabar dan ikhlas menghadapi segala halangan dan rintangan yang ada. Hingga keikhlasanku itulah yang melahirkan keikhlasan berkhidmah dalam diriku.

DARI IPPNU AKU DITUNTUT UNTUK MENJADI YANG TERDEPAN
DARI IPPNU AKU DITUNTUT HARUS KELUAR DARI ZONA NYAMANKU
DARI IPPNU AKU DITUNTUT HARUS BISA BERBICARA DI DEPAN UMUM

Desakan macam apa itu??
Semua berawal dari desakan yang pada akhirnya melahirkan segudang manfaat dan keberkahan tiada akhir.
‘Barang siapa menanam pasti akan menuai.’ Sekarang aku sudah merasakan banyak sekali manfaat berIPPNU. Aku sekarang tau apa kemampuanku, apa pashion ku dari IPPNU. Disadari tidak disadari itulah yang terjadi. Aku mampu menjadi seorang pemimpin, aku mampu berbicara di depan umum, aku suka berbicara, dan banyak lagi yang kudapatkan dari IPPNU yang penuh berkah itu.

Keniscayaan bahwa seorang pemimpin akan menderita telah mengantarkanku pada kesuksesanku. My world my organization.
Aku sangat bersyukur, aku termasuk orang yang terpilih, orang yang mendapat hidayah dariNya untuk mengabdikan diri di IPPNU. Dan janjiku pada diriku, aku akan selalu ada untuk Nahdlatul Ulama tercinta.

Ternyata IPPNU yang dahulu menjadi neraka bagiku sekarang menjadi surga tiada akhir bagi diriku. Keberkahan mengalir disetiap langkahku. Sampai saat ini seorang Nanda yang dulunya tidak tau potensinya, yang tidak tau siapa dirinya, kini telah menjadi seorang pengusaha sukses. Cabang bisnisnya ada dimana-mana. Ia juga berhasil mendirikan salah satu pondok pesantren entrepreneur di salah satu kota di Jawa Timur. Masih ragukah untuk bergabung dengan IPPNU??

SEKIAN

Korelasi Ulumul Qur'an, Ulumul Hadits, serta Ulumul Fiqh dalam Pelaksanaan Ibadah Umat Islam

Assalamualaikum warahmatullah, pada kesempatan kali ini saya akan membagikan esai, karya saya sendiri, semoga bermanfaat bagi para pembaca.

Korelasi Ulumul Qur'an, Ulumul Hadits, serta Ulumul  Fiqh dalam Pelaksanaan Ibadah Umat Islam
(Fiqih Solusi Problematika Umat)

Indonesia adalah negara yang terkenal dengan bangsa yang beragama (agamis). Dimana bangsa Indonesia dianggap bangsa yang memiliki rakyat religius dan sangat memegang nilai-nilai ajaran agama. Agama yang dominan di Indonesia tak lain adalah agama islam yang memiliki sumber pedoman hidup Al Qur'an dan As Sunnah. 
Al Qur'an merupakan kalam Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril secara mutawattir serta membacanya bernilai ibadah. Sementara as Sunnah merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad baik berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan. Kedua sumber tersebut menjadi sumber utama segala aspek kehidupan umat islam. 
Al Qur'an mutlak berasal dari Tuhan yang seluruh isinya pasti benar dan tidak dapat diubah serta isinya berlaku sepanjang masa. Namun isi dari al qur'an masih global. Sehingga dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui As sunnah. As sunnah merupakan wujud konkret dari ajaran-ajaran dari Al Qur'an. Al Qur'an merupakan ajarannya, as Sunnah merupakan wujud konkretnya. Permasalahannya pada zaman Nabi, Nabi hanya mempraktekkan ajaran-ajaran yang berasal dari Al Qur'an dan belum menjelaskan secara terperinci. Maka hadirlah Ulumul fiqih untuk menjelaskan pada umat manusia secara detail ajaran-ajaran Al Qur'an.
Fiqih dirumuskan oleh para fuqoha. Para fuqoha merupakan orang-orang yang kompeten serta memiliki ilmu yang memadai untuk membahas persoalan umat. Sebagai contoh Al Qur'an memerintahkan sholat, namun Al Qur'an tidak menjelaskan bagaimana tata cara sholat. Lalu bagaimana umat Islam bisa melaksanakan sholat apabila tidak ada tuntunannya, kemudian Nabi Muhammad SAW mempraktekkan cara sholat yang benar. Hanya sebatas mempraktekkan saja, maka hadirlah para fuqoha menjelaskan tata cara sholat berdasarkan apa yang dipraktekkan oleh Rasulullah. Mulai dari syarat sah solat, macam-macam sholat, syarat wajib sholat dan sebagainya. Disinilah ulumul fiqih hadir untuk menjawab persoalan-persoalan umat sehingga umat Islam bisa melaksanakan ajaran-ajaran agamanya sesuai tuntunan. 
Ulumul Qur'an, ulumul hadits, dan ulumul fiqih sangat berkaitan erat lebih-lebih jika berkaitan dengan teknis pelaksanaan ibadah. Setiap umat islam memiliki cara beribadah yang berbeda-beda, meskipun pada dasarnya perintah dari Allah sama. Hal ini dikarenakan selain memahami ulumul fiqh umat Islam juga menganut pendapat imam madzhab karena keterbatasan ilmu yang dimiliki umat islam, yang tentunya dalam bermadzhab antara satu madzhab dengan madzhab yang lain ada sedikit perbedaan. Seperti misalnya. Tata cara berwudhu imam Maliki dan imam Syafi'i tentu berbeda, Menurut imam Syafi'i bersentuhan tangan antara laki-laki dan perempuan yang sudah baligh itu membatalkan wudhu, namun menurut imam Maliki bersentuhan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak membatalkan wudhu apabila tidak ada syahwat. Jika mempelajari hal semacam ini terkadang umat manusia mengambil keuntungan dari suatu hukum. Padahal jika dipelajari lebih lanjut cara berwudhu menurut imam Maliki itu jauh lebih rumit daripada cara berwudhu menurut imam Syafi'i. Maka dari itu, umat islam dilarang mencampur adukkan pemahaman antara madzhab satu dengan madzhab yang lain.
Tuntunan ulumul fiqh sangat diperlukan umat islam terkait dengan pelaksanaan ibadah. Agar ibadah yang dilakukan oleh umat Islam benar sesuai ajaran Al Qur'an dan as Sunnah serta sampai pada esensinya yaitu mendapatkan ridho dari Allah. Selain itu, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh masyarakat bangsa itu sendiri. Semakin agamis rakyat suatu bangsa maka semakin maju suatu negara. Semoga bangsa Indonesia bisa menjadi negara Baldatun toyyibatun warobbun ghofur dan menjadi bangsa yang lebih baik dari sebelumnya.

Cerpen Rinduku Pada Ayahku (Nela Dwi Kusumawati)


Rinduku Pada Ayahku
Oleh: Nela Dwi Kusumawati (Gunungwungkal)

Pagi ini sangat cerah, seperti pagi pagi yang lalu, aku bangun di pagi buta karna aku harus membersihkan rumah paman dan bibiku. Paman dan bibiku menjadi orang tua asuhku sejak 6 tahun silam, dimana ibuku telah meninggalkanku saat aku masih duduk dibangku SD. Aku menganggap mereka sebagai orang tua kandungku namun mereka menganggapku tak lebih dari seorang keponakan. Pamanku sangat baik padaku, ia selalu memberikan hakku dan mencukupi semua kebutuhanku namun berbeda dengan bibiku, bibiku sangat membenciku tak tau entah apa alasannya. Andai aku bisa memilih aku juga tidak mau berada di situasi semacam ini.

Rutinitasku tak jauh beda dengan anak-anak seumuranku, aku juga pergi ke sekolah dan juga bermain bersama teman-teman. Namun itu saat pamanku berada di rumah. Jika paman bekerja di kantor sepulang sekolah hidupku adalah di jalanan. Bibiku memaksaku untuk mempunyai penghasilan sendiri. Setahun terakhir paman memberikan uang yang seharusnya diberikan padaku pada bibiku. Alhasil selama itu pula aku sudah tak mendapat hakku dan harus berjuang memenuhi kebutuhanku.

Siang itu, saat aku mengamen di salah satu bus jurusan surabaya-semarang ada seorang bapak yang tasnya dijambret. Seketika itu pula aku berusaha menolong bapak tersebut dan beruntungnya aku bisa mengembalikan tas bapak yang dijambret tadi.

“Terima kasih ya nak.. Berkat kamu tas bapak kembali.” kata bapak tersebut sambil mengelus kepalaku.
Aku hanya tersenyum melihat kegembiraan bapak tersebut. Karna bapak tersebut terburu-buru akhirnya kami pun berpisah hari itu.

Hari-hari berikutnya, aku tetap mengamen dari bus ke bus dan bertemu bapak itu kembali. Kali ini beliau berpakaian layaknya orang biasa. Hatiku tenang ketika melihat bapak tersebut. Aku pun tak tau kenapa.

Hari-hari pun berlalu…
Aku tak tau apa yang terjadi pada diriku, aku terus saja memikirkan bapak yang sering kutemui dalam bus itu. Banyak penumpang yang menaiki bus itu hanya saja berbeda dengan bapak tersebut.

“Nak…” Bapak itu membangunkanku karna aku tertidur di bus tanpa kusadari. Karna bus yang penuh dan hanya tersisa satu kursi di sampingku akhirnya bapak tersebut duduk tepat di sampingku.
“Kamu setiap hari ngamen di sini nak??” tanya bapak tersebut padaku.
“Iya pak,” jawabku dengan gugup
“Kemana orang tuamu ?? Kenapa mereka membiarkanmu ngamen di bus dan di jalanan seperti ini??” tanya bapak tersebut dengan penasaran,
“Ibu saya sudah meninggal pak, saya tinggal bersama paman dan bibi saya, jadi saya tidak mau merepotkan beliau, saya putuskan untuk mengamen di luar jam sekolah saya pak”. Bapak tersebut nampak puas dengan jawabanku.
Namun ketika bapak tersebut melihat kalung yang kupakai, kalung yang diberikan oleh ibuku, bapak tersebut bertanya
“Dari mana kamu dapatkan kalung ini nak??”
“Itu pemberian dari ibu saya, waktu ibu saya masih hidup pak”. Bapak tersebut tercengang dengan jawabanku.
“Apakah ibumu bernama Maryani??”
“Betul.. Dari mana bapak tau?”
Seketika bapak tersebut menangis dan memelukku, dan berkata “Anakku… bertahun-tahun ayah mencarimu nak…”
Aku masih kebingungan dengan hal tersebut, tapi selama ini aku memang tidak pernah tau siapa ayahku karna ibu sudah pergi meninggalkanku sebelum beliau menceritakan banyak tentang ayahku.

Awalnya aku tak percaya, dan aku lari meninggalkan bapak tersebut ketika beliau mengatakan hal tersebut. Malam itu aku tanyakan pada pamanku siapa ayahku sebenarnya, dan paman baru menjelaskan bahwa ayah memang sudah tidak bersama ibu sejak aku berumur 2 tahun, ayah pergi ke kota Semarang untuk menafkahi aku dan ibuku namun tragisnya di desa kami saat itu ada bencana gempa bumi yg menghancurkan seluruh rumah yang ada di desa kami yang mengakibatkan kami harus pindah dari desa kami. Paman menegaskan bahwa ayahku adalah orang yang bertanggung jawab dan ia adalah orang yang baik. Namun karna pindahan waktu itu tidak diketahui oleh ayah. Karena itulah ayah belum pernah menjumpaiku dan juga ibu.

Setelah aku mengetahui semuanya aku cari bapakku, dan di bus yang biasa kugunakan untuk mengais sedikit rezeki aku bertemu dengan ayahku. Dan akupun hidup bahagia bersama ayahku dan bisa menikmati hari-hariku sebagaimana anak-anak yang lain. Dan sampai saat ini ayah belum menikah lagi karna ayah masih sangat mencintai ibuku.

TAMAT

Logika merupakan ilmu berbicara benar. Lalu apa itu berpikir?? Apa itu ilmu?? Dan apa itu benar??

Logika merupakan ilmu berbicara benar. Lalu apa itu berpikir?? Apa itu ilmu?? Dan apa itu benar??

Berpikir,  Ilmu, Dan Benar
Semua manusia, ketika dilahirkan di dunia ini dari perut-perut ibu mereka adalah dalam keadaan tidak mengerti apa-apa, dan mereka dibekali pendengaran, penglihatan, serta hati nurani agar mereka bersyukur (Q.S. Al-Nahl :78). Di ayat yang lain, Allah menyebutkan bahwa manusia adalah sangat dhalim dan bodoh (Q.S. Al-Ahzab : 72).  Di dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan ada delapan belas ayat yang menerangkan bahwa orang-orang yang mau memanfaatkan akalnya, mereka pasti dapat mengetahui kekuasaan Allah. Di antaranya tersebut dalam Surat Ali Imran ayat 190 -191 yang artinya : "Sesungguhnya  dalam  menciptakan langit dan bumi, dan silih  bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang  yang  mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah  Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (Q.S. Ali Imran : 190-191)".
Untuk memperoleh ilmu yang benar, berikut ini akan kami uraikan langkah-langkahnya, yaitu :

1. Berpikir (ratiocinium, reasoning = al- istidlal)
 Berpikir  adalah berbicara dengan diri sendiri di dalam batin (Poespoprodjo,1999 : 49), atau aktivitas manusia berpikir adalah membanding, menganalisis serta menghubungkan  proposisi yang satu dengan  lainnya (Mundiri,1994:7). Dapat dirumuskan  bahwa berpikir adalah proses kerja otak dalam menghadapi masalah untuk mendapatkan ilmu yang  benar.
 Bila orang  berbicara dengan memakai kata-kata, maka  orang  berpikir  dengan menggunakan 'konsep' atau  pengertian-pengertian.  Konsep itu berada di dalam akal pikiran dan tidak perlu  diucapkan dengan lisan atau tertulis, meskipun hal itu  dapat membantu untuk  merumuskan jalan pikiran dengan  lebih jelas dan teliti. Apabila  apa yang ada di dalam pikirkan itu  hendak   diberitahukan  kepada orang lain, maka  isi pikiran  itu harus dinyatakan, dilahirkan dalam ungkapkan. Untuk menyatakan  isi pikirasn  itu, diperlukan suatu alat komunikasi, yaitu  dengan 'bahasa'. 'Bahasa', baik lisan atau  tertulis adalah  alat  untuk  menyatakan isi pikiran. Jadi, antara pemikiran dan bahasa  ada suatu  hubungan  timbal-balik. Berpikira dengan  jelas dan tepat  menuntut pemakaian kata-kata yang  tepat; sebaliknya  pemakaian  kata-kata yang  tepat  sangat  menolong untuk berpikir dengan lurus. Berpikir  dengan lurus menuntut pemakaian  kata-kata  yang tepat.

Azas-Azas Berpikir.
Logika tradisional mengenal azas-azas pemikiran  yang merupakan dasar kebenaran universal bagi semua pembuktian. Azas ini ada tiga dari Aristoteles dan ditambah satu dari Leionis sebagai berikut:
1) Azas Identitas (principium Identity = Qanun Dzatiyah) 
     Prinsip ini mengatakan bahwa sesuatu itu adalah  dia sendiri bukan yang lain. Jadi kalau sesuatu konsep atau term digunakan di dalam suatu pemikiran haruslah sama artinya selama pembicaraan itu berlangsung, tetap mempunyai atribut-etribut yang telah ditentukan, tidak boleh dirobah-robah. Perobahan atribut pada term tertentu yang kita pakai itu akan mengakibatkan kekacauan dalam pemikiran, dan kesimpulan yang diambilpun akan salah. Misalnya saya mengatakan  bahwa Ahmad adalah Ahmad bukan Muhammad.
2)  Azas Kontradiktoris (principium contradictoris = qanun tanaqud)
     Prinsip ini mengatakan  bahwa pengingkaran  sesuatu  tidak   mungkin sama dengan  pengakuannya. Artinya menurut azas ini, tidak dapat disamakan antara sesuatu barang yang satu dengan yang barang yang menjadi lawannya; atau sesuatu tidak dapat positif dan negative pada waktu yang bersamaan. Misalnya saya mengatakan bahwa meja itu panjang dan tidak panjang. Jadi tidak mungkin  dua kenyataan kontradiktoris bersama-sama  secara simultan.
3) Azas penolakan kemungkinan ketiga (principium exclusitertii = qanun imtina')
      Prinsip ini mengatakan bahwa  antara pengakuan  dan pengingkaran, kebenarannya terletak  pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran  merupakan  pertentangan  mutlak, karena itu  di samping  tidak mungkin  benar keduanya juga tidak mungkin  salah keduanya. Jadi suatu proposisi selalu dalam keadaan  benar atau salah. Misalnya Ali  setengah lulus dalam ujian. Ini tidak mungkin terjadi, karena yang ada adalah Ali lulus dalam ujian atau Ali tidak lulus dalam ujian. Atau contoh lain   Zaid tidak mati dan tidak hidup. 
4) azas cukup alasan ( Principium Rationis Sufficientis)
     Menurut azas ini adanya sesua tu itu pastilah mempunyai alas an yang cukup, demikian juga jika ada perobahan pada keadaan sesuatu. Dengan kata lain bahwa di  alam ini tak mungkin ada yang terjadi dengan tiba-tiba tanpa alas an yang cukup (A.Chairil Basori, 1979: 5) 

2. Pengertian Ilmu
Menurut Ahmad Damanhuri, 'al-ilmu ma'rifatul-ma'lumi' artinya ilmu adalah (tindakan manusia) mengenal sesuatu yang maklum (Ahmad Damanhuri, tt :5). Atau ilmu ialah "idrak al-majhul 'ala jihat al yaqin au al-dhanni idrakan yuthabiqu al-waqi' au yukhalifuhu " arinya hasil aktivitas akal pikiran manusia menangkap sesuatu yang majhul atas dasar keyakinan atau perkiraan, dengan hasil tangkapan yang sesuai dengan kenyataan atau  mengingkari kenyataan) ( Muhammad Nur Ibraimi, tt: 7). Misalnya  saudara melihat bayang-bayang dari arah kejauhan, dan saudara  tangkap bahwa sesuatu itu adalah  manusia dan saudara  yakin itu. Dan kenyataannya  sesuatu tersebut adalah memang manusia, maka hasil itulah yang dinamakan  tangkapan yang yakin  serta sesuai dengan kenyataan; Dan apabila saudara perkirakan bahwa sesuatu itu adalah manusia, dan kenyataannya adalah manusia, maka hasil itu namanya tangkapan yang  berupa perkiraan yang sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya  bila  sesuatu yang diyakini atau diperkirakan tersebut  sebagai manusia,  melainkan  kenyataannya   adalah  bukan manusia, tetapi   sebuah pohon, maka hasilnya itu  disebut  sebagai tangkpan  yang yakin  atau perkiraan yang salah. Misalnya  umat manusia meyakini bahwa  bumi adalah datar bukan bulat, maka  itu adalah ilmu  yakin yang tidak sesuai dengan kenyataan ( Muhammad Nur Ibrahimi, tt: 7).  

a. Pembagian Ilmu 
Keberadaan ilmu itu ada dua macam, yaitu ilmu kadim dan ilmu hadis. Ilmu kadim  ialah ilmu yang dimiliki  oleh Allah swt., sedangkan ilmu hadis adalah ilmu yang dimiliki  oleh makhluk (Bisri Mustofa, 1381:8). Adapun ilmu Allah itu satu, tidak dapat dibagi-bagi, sementara ilmu makhluk dapat dibagi-bagi ( Ahmad al-Damanhuri,tt : 3).
b. Tingkatan Ilmu
Dilihat dari segi kemampuan akal manusia untuk menangkap (meng-idrak ) sesuatu, tingkatan ilmu  itu ada dua macam, yakni:
(1) Menangkap akan  arti 'mufrad' ("satu" hal) disebut "tashawwur" (gambaran), dan
(2) Menangkap akan  'nisbah' (satuan, rangkaian satuan) disebut "tashdiq" (membenarkan). Misalnya  seseorang  berkata "pisang", pikiran kita  pasti dapat menggambarkan /membayangkan arti dari kata pisang itu. Dapat menggambarkan/membayangkan yang demikian  itu namanya "tashawwur". Oleh karena itu,  ketika ada orang  berkata : Gunung Merapi itu lunak seperti ager-ager/roti, maka pikiran kita pasti menolak, tidak dapat menerima, malahan pikiran kita akan menyangkal : Tidak  bisa  jadi, Gunung Merapi  tidaklah lunak, tetapi keras seperti Gunung-Gunung yang lain. Pembuahan  pikiran yang mengatakan 'Gunung Merapi  itu keras sebagaimana  Gunung-Gunung  yang lain', itu  yang disebut  "Tashdiq" (membenarkan) (Cholil Bisri Mustofa, 1987 : 9).
Selanjutnya, ilmu  tashawwur itu ada dua, yaitu ada yang bersifat ‘badihi’ (dapat ditangkap dengan mudah) tidak memerlukan berpikir panjang seperti  tashawwur tentang perasaan lapar, haus, dingin, panas, dan lain-lain; dan ada yang bersifat ‘nadhari’ (memerlukan berpikir) misalnya tashawwur tentang  hakikat listrik, hakikat jiwa, dan lain-lain. Begitu pula, ilmu tashdiq juga ada dua, yakni ada yang bersifat badihi (dapat ditangkap dengan mudah) tidak memerlukan berpikir panjang seperti tashdiq tentang sesuatu itu tidak mungkin bertempat  dalam dua tempat pada waktu yang sama, atau seperti angka satu itu setengah dari angka dua; dan juga ada  ilmu tashdiq yang bersifat nadhari (memerlukan berpikir) seperti tashdiq tentang  sesungguhnya alam  adalah baru, dan lain-lain (Muhammad Nur Ibarahimi, tt, hlm. 8).    

c. Ilmu Dan Pengetahuan
Dalam bahasa Indonesia, kata "ilmu" sejajar artinya dengan  kata "science" (Inggris) dan dibedakan penggunaannya dengan kata  "pengetahuan" atau "knowledge" (Inggris). Pengetahuan atau "knowledge" yaitu hasil dari aktivitas mengetahui  atau tersingkapnya  suatu kenyataan  ke dalam jiwa hingga  tidak ada keraguan  terhadapnya ( Al-Ghazali: tt, hlm.7-12). Maka dalam hal ini, keyakinan (ketidakraguan) menjadi syarat mutlak bagi jiwa untuk disebut sebagai "mengetahui". Misalnya  saya mengetahui bahwa angka dua itu nilainya lebih besar daripada angka satu. Sehingga apabila ada orang lain mengatakan sebaliknya, maka saya tolak pernyataannya itu. Jadi dasar yang dipegangi dalam pengetahuan adalah a priori (bersumber dari akal pikiran).
 Sedangkan ilmu atau "science" artinya  juga memang mengetahui sesuatu, tetapi tidak sekedar mengetahui, melainkan dapat menunjukkan sebab-akibat terjadinya sesuatu tersebut. Misalnya  saya mengetahui  bahwa pelampung itu selalu terapung di atas air, karena BJ (berat jenis ) pelampung itu lebih kecil daripada berat jenis air. Ini namanya saya mempunyai ilmu tentang pelampung. Jadi "pengalaman" empiris (dapat diindera) atau a posteriori menjadi syarat mutlak dalam  sebuah ilmu (Mundiri, 1996: 5). 

d. Bahasan Petunjuk (Fi Mabahis al-Dalalah)
Menurut Muhammad Nur Ibrahimi, petunjuk atau ‘al-dalalah’ ialah faham sesuatu dari sesuatu . Sesuatu yang pertama disebut yang ditunjukkan atau al-madlul’ dan yang keduda disebut petunjuk atau al-daal(Muhammad Nur Ibrahimi, tt). Menurut Ahmad Damanhuri, ada dua macam  petunjuk (dalalah) yang dapat dipergunakan manusia untuk memperoleh ilmu,  yaitu pertama melalui petunjuk yang bersuara (lafdhiyah), dan kedua melalui petunjuk  yang tidak bersuara (ghairu lafdhiyah). Dan dari masing-masing petunjuk itu ada  yang bersifat  naluri (thabi'iyah), rasional ('aqliyah), dan  buatan ( wad'iyah), maka  semuanya menjadi enam petunjuk (Ahmad Damanhuri,tt : 6).
1) Petunjuk  Bersuara ( Dalalah Lafdhiyah)
     a. Petunjuk bersuara yang bersifat watak manusia seperti suara rintihan (misalnya aduh-aduh) sebagai petunjuk kesakitan.
     b.  Petunjuk  bersuara yang bersifat rasional seperti  ada suara halo-halo di balik dinding  sebagai petunjuk pasti ada orang yang berkata halo-halo di sana.  
     c.  Petunjuk bersuara yang bersifat buatan seperti ada suara bedhuk dung-dung (dibuat) sebagai petunjuk  panggilan hadir di masjid, misalnya untuk shalat; atau petunjuk yang dibuat istilah  oleh ahli bahasa contoh kata "manusia" sebagai petunjuk binatang yang berpikir.
2) Petunjuk Tak Bersuara (Dalalah Ghairu Lafdhiyah)    
     a.  Petunjuk tak bersuara yang bersifat watak manusia seperti  wajah merah sebagai petunjuk sedang marah, atau wajah pucat sebagai petunjuk  sedang  takut.
     b.  Petunjuk  tak bersuara yang bersifat rasional seperti  adanya alam sebegai petunjuk adanya Sang Pencipta yaitu Allah , dan seperti ada asap sebagai  petunjuk ada api.
     c. Petunjuk tak bersuara yang bersifat  buatan seperti menganggukkan kepala sebagai petunjuk isyarah mau atau ya, atau menggelengkan kepala sebagai petunjuk tidak mau . 
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa petunjuk  yang dimaksud dalam ilmu mantiq (logika) adalah  petunjuk yang bersifat bersuara buatan (Dalalah lafdhiyah Wad'iyyah). Petunjuk ini dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu Dalalah Muthabaqah, Dalalah Tadhammuniyah, dan Dalalah Iltizamiyah.
a) Petunjuk Makna Penuh (Dalalah Muthabaqah), ialah petunjuk  bersuara  yang artinya  sesuai dengan  makna sempurna dan hakiki, misalnya ucapan "manusia" (adalah kumpulan dari  'binatang  yang berpikir'). Atau contoh lain, kata "rumah" sebagai petunjuk atas sekumpulan tiang-tiang, dinding-dinding, atap-atap yang melingkupinya.  Dinamakan sebagai Dalalah Muthabaqah, karena kesesuaian pemahaman  dengan pembuatan  kata tersebut menurut  arti bahasa secara sempurna. 
b) Petunjuk Sebagian (Dalalah Tadlammuniyah), artinya menyebutkan sesuatu, tetapi yang dimaksudkan hanya sebagian saja, misalnya kata "manusia" yang dimaksud adalah binatang (saja), atau berpikir  (saja) sebagai kumpulan dari 'binatang yang berpikir'. Atau contoh lain, kata "rumah" dari kalimat 'Ahmad mengecat rumah', sebagai petunjuk atas dinding-dindingnya saja. Dinamaknnya Dalalah Tadlammuniyah, karena menyebutkan kata utuh (rumah), tetapi yang dimaksudkan hanya bagian  dari keseluruhan, yaitu hanya dinding-dindingnya saja.   
c) Petunjuk  Kelaziman (Dalalah Iltizamiyah), artinya sesuatu di luar dari arti yang dikandung dalam sebuah kata, tetapi merupakan  kelaziman ada baginya, misalnya kata "manusia" sebagai petunjuk  'dapat menerima  ilmu dan  kemampuan menulis'. Atau contoh lain, kata 'pandai' dari kalimat 'Ahmad adalah orang pandai' Dinamakannnya, Iltizamiyah, karena  pemahaman kata tersebut (pandai) yang dimasksudkan adalah orang yang 'mempunyai ilmu'  tidak  terdapat dalam makna, melainkan  sebagai kelazimannya (Ahmad Damanhuri, tt: 6-7; Lihat Muhammad Nur Ibrahimi, tt : 9-10).

3. Benar (True  = al-Shidq)
Istilah 'benar' pada dasarnya adalah  persesuaian antara pikiran dengan  kenyataan (Randall & Buchler, 1964, hlm. 133). Misalnya pernyataan 'semua mangga adalah  buah'. Pernyataan tersebut dianggap benar, karena bila dicek di lapangan, memang segala macam mangga di dunia ini adalah buah. Ada bermacam-macam kriteria kebenaran antara lain :
Kebenaran konsistensi dan koherensi yaitu suatu pernyataan dianggap benar bila konsisten (berlaku tetap) dan koheren (runtut) dan tidak ada pertentangan di dalamnya.
            Misalnya :
      Semua makhluk hidup pasti akan mati
      Semua mahasiswa adalah makhluk hidup
      Jadi semua mahasiswa pasti akan mati.
Kebenaran korespondensi (berhubungan) artinya suatu pernyataan  dianggap benar bila sesuai dengan fakta di lapangan. Misalnya pernyataan : Jakarta adalah ibu Kota Negara RI.
Kebenaran fragmatis (berguna) yakni suatu  pernyataan dianggap benar bila  bermanfaat  bagi masyarakat. Misalnya pernyataan : Bodrex adalah obat penyakit batuk, atau stimulus itu dapat memberi semangat belajar.
Kebenaran Religious (keagamaan) yakni suatu pernyataan dianggap benar bila sesuai dengan keyakinan yang dipeluknya. Maka kebenaran ini bersifat subyektif. Misalnya pernyataan Nabi Muhammad saw., adalah Rasul Allah swt. Pernyataan itu diyakini benar menurut umat Islam (Yuyun S.Suriasumantri, 1996:55).

Sejarah Singkat Pertumbuhan Dan Perkembangan Logika

Sejarah Singkat Pertumbuhan Dan Perkembangan Logika

     1. Lahirnya Logika
Kalau kita menengok sejarah ke belakang, kita melihat bahwa awal lahirnya logika tidak bisa lepas peran serta dari para ahli pikir Yunani. Merekalah orang-orang yang telah berusaha keras menganalisis  dan menyusun kaidah-kaidah berpikir agar  terehindar terjadinya kesalahan dalam membuat kesimpulan. Ahli pikir yang mempelopori perkembangan logika sejak awal lahirnya adalah Aristoteles (384-322 M). 
Perkembangan logika setelah masa Aristoteles dilanjutkan oleh muridnya, yaitu Theoprastus dan Porphyrius. Theoprastus adalah memimpin aliran peripatetic (warisan gurunya) yang telah menyumbangkan pemikiran tentang  pengertian yang mungkin (yaitu mengertian yang tidak  mengandung kontradiksi dalam dirinya) dan sifat asasi dari setiap kesimpulan (harus mengikuti unsur terlemah dalam pangkal pikir). Sedangkan  Phorphyrius adalah seorang ahli piker dari iskandariyah yang amat  terkenal dalam bidang logika. Yang telah menambahkan satu bagian  baru dalam  pelajaran baru dalam logika, yang dinamakan eisagoge. Dalam pelajaran ini dibahas lingkungan  zat dan sifat di dalam alam yang sering disebut klasifikasi (Surajiyo, et al, 2005: 12). 
Menurut sejarah, semenjak zaman  Luqman Hakim atau zaman Nabi Daud as., dasar-dasar ilmu mantiq (logika) sudah dipelajari. Dari Luqman Hakim turun  kepada filosuf Benduples, turun kepada filosuf Sabqarates  dan Baqrates, kemudian  turun kepada  Aflathun, dan akhirnya kepada  filosuf Aristha Thales, yang semuanya dari bangsa Yunani. Dan dari  filosuf Aristha Thales, dasar-dasar ilmu mantiq ini dihimpun agar  jangan sampai punah sebab sulitnya ilmu ini. Maka Aristha Thales dipandang senagai  peletak ilmu mantiq (logika) dalam sejarah (Bisri Mustofa,1381 H : 2).  Konon,  percakapan-percakapan orang terdahulu belum  disususn secara bab per bab seperti sekarang, begitu pula metode-metode berpikirnya, sehingga  muncul tokoh-tokoh folosuf Yunani tersebut. Mereka bercakap-cakap tentang baik dan buruk berdasarkan  kebiasaan yang mereka  pergunakannya, belum mengikuti aturan-aturan berpikir yang benar (Muhammad Nur Ibrahimi, tt: 4).
Secara naluriah, manusia berbeda dari semua jenis binatang yang lain adalah dengan akalnya. Dengan akalnya itu, dia dapat mengetahui sesuatu, dan dengan akalnya itu pula, dia dapat  menangkap apa yang ada di alam raya ini. Dan tabiat manusia melakukan berpikir itu selama  dia masih hidup sejak kecil sampai  tua sesuai kemampuan akalnya. Hanya saja  dalam berpikirnya itu, dia tidak selalu  mendapatkan kebenaran  dan bahkan kadang-kadang terjerumus ke dalam kesalahan sekiranya dia tidak merasa, sehingga  tercampurlah kebenaran dengan kesalahan, dan akhirnya memperoleh ilmu-ilmu yang tidak benar pula. Oleh karena itu, agar ia dapat berpikir dan memperoleh ilmu yang benar, maka dia harus menggunakan sebuah alat  atau ilmu, yang tak lain adalah  logika atau ilmu mantiq (Muhammad Nur Ibrahimi, tt.: 5-6).
2. Perkembangan Logika Pada Zaman Islam
Upaya untuk mengembangkan logika, tampak dari upaya beberapa filosuf yang aktif menyalin buku-buku karya Aristoteles kedalam  bahasa Arab. Di antara filosuf Islam tersebut adalah Johana bin Pafk yang menyalin buku  kategori Aristoteles menjadi Manqulatul-Assyarat li Aristu, Ibn sikkit Jakub Al-Nahwi (803-859 M) memberi komentar dan taambahan daalam bukunya Ishlah Fil Manthiq, Jakub bin Ishak Al-Kindi (791-863 m) menyalin bagian-bagian logika Aristoteles dan memberi komntar satu per satu.
Upaya untuk menerjemahkan  karya Aristoteles dalam bentuk yang menyeluruh telah dilakukan oleh Al-Farabi (873-950 M). Di samping mampu menguasai bahasa Yunani tua (Greek), beliau juga dikenal sebagai guru kedua Aristoteles karena ulasan dan komentar-komentarnya. Beliaau telah meghasilkan empat karya di bidang logika, yaitu sebagai berikut:
1. Kutubul Mantiqil Tsamaniyah (menyalin dan memberi   komentar 7 bagian karya Aristoteles dan menambah 1 bab yang baru, sehingga kesemuanya adalah 8 buah).
2. Muqaddamat Iaguji Allati Wadhaaaha Purpurius (memberkan komentar atas bagian klasifikasi yang diciptakaan Porphyrius).
3. Risalat Fil-Manthiqi, al-Qaulu fi Syaaraaitil-yaqini (membahas dan merumuskan syarat-syarat kontraadiksi dari karya Aristoletles).
4.  Risalat fil-Qiyas, Fushulun Yuhtaju ilaihi fi shinaqatil-Manthiqi (membbahas bentuk-bentuk silogisme dan merumuskan persyaratannya berdasarkaan  hukum Aristoteles).
Ahli piker Muslim lain yang juga ikut mengembangkan logika dalah Abu Abdillah Al-Khawarizmi, yang telah  menysusun dan menciptakan  Aljabar serta buku Mafaatihul Ulum fil-Manthiqi (berisisi komentar tentang  logika).
Ibnu Sina dengan karya besarnya Asy-Syifa, yang salah satu bagiannya membahas tentang logika. Adapun karyanya yang khusus membahas logika adalah Isyarat Wal Tanbihat fil-Manthiqi. Buku ini seteah diolah oleh pemikir Barat, dijadikan sebagai sytandar pelajaran logika pada abad ke-17 daan telah melahirkan aliran Port Royal di Prancis.
Memasuki abad ke-14 banyak  reaksi yang muncul terhadap pelajaran tentang logika. Mereka dipandang memuja akal dalam mencari kebenaran sehingga banyak tuduhan ekstrim kepada para  pemuja akal. Ahmad Ibnu Taimiah (1263-1328 M) menentang pelajaran logika dengan mengeluarkan sebuah karyanya ‘Fashihtu ahlil-Iman fil-raddi ala Manthiqil Yunani’ (ketangkasan pendukung keimanan menangkis logika Yunani). Adapun Saaduddin Al-Taftazani (1322-1389 M) telah menjatuhkan hukum haram bagi  orang byang mempelajari logika.
Perkembangan logika semakin redup dengan  jatuhnya  Andalusia pada pertengahan anad ke-15. Hingga  abad ke-20 hanya beberapa karya logika yang lahir, diantaranya karya Ibnu Khaldun, Al-Duwani dan Al-Akhdari. Untuk  karya Al-Akhdari (Sullam Al-Munauraqi fil Manthiqi) banyak dipakai sebagai pelajaran dasar logika di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Namun demikian, roh semangat untuk mempelajari logika mulai bangkit kembali pada aal abad ke-20 dengan  munculnya gerakan pembaruan Islam di Mesir yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh (Surajiyo et. al, 2006: 12-14).        


3. Perkembangan Logika Di Barat
Petrus Alberadus (1079-1142 M) adalah ahli pikir yang mencoba menghidupkan kembali pelajaran logika di perguruan Tinggi. Upaya beliau adalah menyampaikan pelajaran logika dari aristotels yang tidak dilarang,  di antaranya Categoriae, eisagoge, dan De Interpretation. Meskipun demikian, beliau berusaha menggali naskah dari Ccero (topic), Apuleus (komenttar tentang perihermenias), dan Bothius (komentar tentang De Interpretatione). Keseluruhan naskah ini kemudian dikenal sebagai Ers Vetus (Logika tua). 
Jadi jika diringkas, sejarah logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles, sebagai sebuah ilmu tentang  hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran agar dapat terhindar dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, dan disebut dengan nama  analitika dan dialektika. Kumpulaan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon.
Namun demikian, pada zaman Yunani Kuno, logika oleh Aristoteles dianggap sebagai suatu jenis pengetahuan yang bekedudukan di luar semua jenis pengetahuan rasional, tetapi dalam abad pertengahan logika telah mulai dianggap sebagai satu  di antara pelbagai pengetahuan.
Dalam perkembangan  selanjutnya ternyata logika pada umumnya dipandang sebagai salah satu cabang filsafat. Ini terbukti dari pembagian filsafat yang banyak dilakukan para ahli  filsafat dan filsuf selalu memasukkan logika termasuk dalam cabahg  filsafat, di antaranya sebagai berikut :
a. Louis O.Kattsoff menyebutkan bahwa cabang-cabang filsafat adalah logika, metodologi, matematika, epistemology, filsafat biologi, filsafat psikologi, filsafat antropologi, filsafat sosiologi, etika, estetika, dan filsfat agama.
b. The Liang Gie membagi filsafat sistematis menjadi :
     1. metafisika (filsafat tentang hal ada);
     2. epistemology (teori pegetahuan);
     3. metodologi (teori tentang metode);
     4. logika (teori tentang  penyimpulan);
     5. etika (filsafat tentang  pertimbangan moral);
     6. estetika (filsafat tentang keindahan);
     7. sejarah filsafat.
        (Lasio dan Yuwono, 1985: 19).

c. Harry Hamarsma membagi cabang-cabang filsafat menjadi :
    1. filsafat tentang pengetahuan: epistemology, logika, kritik ilmu-ilmu;
    2. filsafat tntang keseluruhan n kenyataan;
        a. metqfisika umum (ontology)
        b.metafisika khusus terddiri atas: teologi metafisik, antropologi, dan kosmoilogi;
    3. filsafat  tentang tindakan: etika dan estetika;
    4. sejarah filsafata . (Harry Hamersma ,1988 : 14).

d. Poedjawijatna membagi filafat menjadi : ontology, theodicea, antropologia, metaphysica, ethca, logica, (minor dan mayor), aesthetica.
e. Plato membedakan lapangan filsafat kec dalam tiga cabang, yaitu dialektika, fisika, dan etika.
f. Aristoteles merumuskan pembagian filsafat ke dalam empat cabang ber4ikut: 
     1. logika, ilmu ini bagi nAristoteles dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat;
     2. filsafat teoritis (filsafat nazariah). Dalam cabang ini meliputi tiga macam ilm, yaitu :
         a. ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dan alam nyata;
         b. ilmu matematika yang mempersoalkan benda-benda alam dalam kuantitasnya (mempersoalkan jumlahnya);
         c. ilmu metafisika yang mempersoalkan tentang hakikat segala  sesuatu . Menurut Aristoteles ilmu metafisika inilah yang paling  utama dari filsafat, atau intinya filsafat.
     3. filsafat praktis (falsafah amaliah). Dalam cabang ini tercakup tiga macam ilmu, yaitu :
        a. ilmu etika yang mengatur kesesuaian  dan kebahagiaan dalam hidup perseorangan;
        b. ilmu ekonomi yang mengatur kesesuaian dan kemakmuran dalam keluarga (rumah tangga);
        c. ilmu politik yang mengatur kesesuaian dan kemakmuran dalam Negara;
    4. filsafat poetika (kesenian). (Hasbullah Bakry, 1986, hal. 14-15).

Dari pembagian cabang filsafat menrut beberaapa tokoh di atas, tampak luas bidang yang menanggapi persoalan kefisafatan. Karena sangat luasnya cakupan filsafat, sering  ada kesulitan untuk membahas setiap masalah sampai tuntas.
Berdasarkan tiga jenis filsafat yang utama, yaitu persoalan tentang keberadaan, persoalan tentang pengetahuan, dan persoalan tentang nilai-nilai, maka cabang filsafat adalah sebagai berikut:
1. Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence).  Persoalan keberadaan atau eksistinnsi  bersangkutan dengan cabang filsafat, yang besangkutan dengan cabang filsafat, yaitu metafisika.
2. Persoalan pengetahuan (knowledge) atau kebenaran (truth).    Pengetahuan ditinjau dari segi isinya besangkutan dengan cabang filsaafat, yaitu epistemology. Adapun kebenaran ditinjau dari bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat, yaitu logika.
3. Persoalan nilai-nilai (values). Nilai-nilai dibedakan menjadi dua, yaitu nilai-nilai kebaikan tingkah-laku dan nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai kebaikan tingkah laku bersangkutan dengan filsafat, yaitu etika. Niali-nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat, yaitu estetika.
Berdasarkaan jenis  persoalan di atas, maka logika termasuk salah satu cabang dari filsafat yang membahas mengenai pengetahuan atau kebenaran ditinjau dari segi bentuknya (Surajiyo et.al, 2006: 3-7).

Apa itu Logika?

A. Logika ( ilm al mantiq )  
Perkataan "logika", secara itimologi berasal dari bahasa Yunani "logos" yang berarti 'kata' atau  'pikiran yang benar' (Hasbullah Bakry : 1981, 15). Ada yang mengatakan, 'logika' berasal dari bahasa Latin yakni kata "logos" yang berarti perkataan atau sabda (K. Prent C.M., J. Adisubrata , dan W.J.S. Poerwadarminta  : 1969, hlm. 501). Menurut Poedjawijatna, logika adalah 'filsafat berpikir'. Yang berpikir itu manusia dan berpikir merupakan  tindakan manusia. Tindakan ini mempunyai tujuan, yaitu untuk tahu (Poedjawijatna, 1992: 9). Dalam bahasa Arab, logika disebut  "Ilmu Al-Mantiq" dari kata dasar ‘nataqa’ yang berarti berbicara atau berucap (Ahmad Warson Munawir, al-Munawir:1984, hlm.1531, Al-Maluf,1986, hlm.816)). 
Akan tetapi logika secara istilah berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Maka untuk memahami apakah logika itu, orang harus mempunyai  pengertian yang jelas tentang penalaran (Soekadidjo, 1994:3). Menurut K.Berten dalam Surajiya mengatakan bahwa logika adalah ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita (Surajiya, 2005: 23).  Dalam buku  Logic and Language of Education, Logika disebut  sebagai  penyelidikan  tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir (George F.Kneller:1966,hlm.13). Sependapat dengan itu, Ibn Khaldun mengatakan bahwa ilmu al-Mantiq (logika) adalah undang-undang yang dapat dipergunakan untuk mengetahui pernyataan yang benar dari pernyataan yang salah (Ibn Khaldun: 2000, 474). Sedangkan dalam kitab Kamus 'Al Munjid' ilmu mantiq disebut sebagai hukum yang meneliti  hati nurani  dari kesalahan dalam berpikir (Louis Ma'luf : 1973, hlm. 816). Thaib Thahir A.Mu'in mendefinisikan ilmu mantiq  sebagai ilmu  yang dipergunakan untuk menggerakkan  pikiran  kepada  jalan yang lurus dalam memperoleh  suatu kebenaran (Thaib Thahir A. Mu'in : 1966, hlm. 16). Tidak ketinggalan Irving M. Copi juga mendefinisikan bahwa logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran  yang betul  dari penalaran yang  salah (Irving M. Copi : 1978, hlm. 3).
Dari kesekian banyak definisi logika tersebut di atas, berbeda-beda  pernyataannya, tetapi intinya sama  yakni bahwa:
1. Logika  adalah ilmu pengetahuan yang mengatur penelitian hukum-hukum akal manusia sehingga menyebabkan  pikirannya dapat  mencapai  kebenaran; 
2. Logika  ialah  ilmu pengetahuan yang mempelajari aturan-aturan dan cara-cara  berpikir yang dapat menyampaikan  manusia kepada  kebenaran.
3. Logika ialah  ilmu pengetahuan yang mempelajari pekerjaan akal dipandang  dari jurusan benar atau salah.


B. Pembagian Logika (Aqsam  Al-Mantiq )
Logika dapat disistematikan menjadi beberapa golongan, tergantung  dari mana melihatnya.Menurut The Liang Gie (1980) dalam Surajiyo menyatakan bahwa logika dapat digolongkan menjadi lima macam, yaitu 1) Logika makna luas dan makna sempit, 2) Logika deduktif dan logika induktif, 3) Logika formal dan logika material, 4) Logika murni dan logika terapan, 5) Logika filsafati dan logika matematik (Surajiyo, 2005 : 24-25).

1.Logika Dilihat Dari  Segi Obyeknya
Obyek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek yang dibedakan menjadi dua, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material, yaaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, yang diselidiki, dipandaang, atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Sedangkan obyek formal, yaitu sudut pandang yang ditujkan  pada bahan dari penelitian atau pementukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana obyek material itu disorot (Surajiyo, 2005: 11).
Dilihat dari segi obyeknya, sasaran logika juga ada dua yaitu oyek materia dan obyek forma. Oleh karena yang berpikir itu manusia, maka yang menjadi obyek atau lapangan  penyelidikan logika secara material (sebagai sasaran umum) ialah 'manusia' itu sendiri. Tetapi manusia ini disoroti dari sudut  tertentu (secara khusus) sebagai obyek forma, ialah  'budinya' (Poedjawijatna,1992: 14).  
Secara garis besarnya, obyek bahasan-bahasan logika (mabahis ilm al-mantiq), dapat dikelompokkan menjdai tiga aspek, yaitu bahasan 'kata-kata' (al-Alfadh), bahasan proposisi (al-Qadliyah), dan bahasan pemikiran atau penalaran (al-Istidlal). Tujuan yang paling utama dari pelajaran ilmu mantiq (logika) adalah tentang al-Istidlal (reasoning = penalaran), tetapi sesungguhnya  penalaran itu tersusun dari sejumlah putusan, begitu pula putusan itu tersusun dari beberapa kata. Maka pertama-tama yang harus dipelajari adalah bahasan  kata-kata, kermudian  bahasan proposisi, dan  diakhiri bahasan  penalaran. Hal ini, karena tidak mungkin seseorang dapat mengerti sebuah proposisi kalau belum mengerti bahasan kata; begitu pula tidak mungkin ia dapat mengerti  penalaran sebelum mengerti  kata dan  proposisi (Muhammad Nur Ibrahimi, tt:12). 
Ada yang memandang aspek pertama adalah tentang pengertian (konsep). Maka untuk memahami apakah logika itu, orang harus  mempunyai pengertian yang jelas tentang penalaran. Penalaran adalah  suatu bentuk pemikiran. Adapun bentuk-bentuk  pemikiran yang lain, mulai  dari yang sederhana ialah : pengertian atau konsep (conceptus; concept), proposisi atau  pernyataan (proposition; statement), dan penalaran (ratiocinium; reasoning). Tidak  ada sebuah proposisi tanpa pengertian, dan tidak  ada penalaran tanpa proposisi. Maka untuk  memahami sebuah penalaran, ketiga  bentuk  pemikiran tersebut harus  dipahami bersama-sama (Soekadidjo,1994 :3).

2. Logika Dilihat Dari Segi Jenisnya
Dilihat dari segi jenisnya, logika ada dua macam, yaitu logika  formal dan logika material.
1) Logika Formal ( al  mantiq as-shuwari) yaitu logika yang mempelajari azas-azas, aturan-aturan atau hukum-hukum berpikir yang harus ditaati agar orang  dapat berpikir dengan  benar dan mencapai kebenaran 
2) Logika Material ( al-mantiq al-maddi) yaitu logika yang mempelajari langsung pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan  kenyataan-kenyataan praktis yang sesungguhnya. Apakah hasil-hasil logika formal  itu sungguh sesuai dengan isi (materi) kenyataan yang sebenarnya? (Hasbullah Bakry, 1970 :17).



3. Logika Dilihat Dari Segi Metodenya
Pada dasarnya, pola berpikir ilmiah itu ada dua macam  yaitu, pola pikir logika  tradisional dan pola pikir logika  modern. 
1) Logika  Tradisional (al-mantiq al-qadim)  adalah logika  Aristoteles yang bersifat deduktif, artinya  berpikir dari keputusan yang bersifat umum untuk mendapatkan  kesimpulan yang bersifat khusus;
2) Logika  Modern (al-matiq al-hadits) adalah logika  yang bersifat  induksi, artinya berpikir berangkat dari  peristiwa yang bersifat khusus untuk mendapatklan kesimpulan yang bertsifat umum (Robert L. Crooks, 1991 : 282-283).
Menurut Yuyun S. Suriasumantri, logika  Induksi merupakan  cara  berpikir di mana  ditarik suatu kesimpulan  yang bersifat  umum dari berbagai kasus yang bersifat individual; Sedangkan  logika deduktif adalah  cara berpikir di mana  dari pernyataan  yang bersifat  umum  ditarik  kesimpulan  yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan  secara  deduktif biasanya mempergunakan pola  berpikir yang  dinamakan silogismus (Yuyun S. Suriasumantri,1996: 46-49).
Perbedaan antara deduktif dan induktif adalah sebagai berikut: Deduktif adalah argumentasi yang berawal dengan penempatan dua proposisi atau lebih, yang disebut premis, yang memprasyaratkan kebenaran (premis) yang bersangkiutan. Lalu suatu simpulan ditarik yang disyaratkan menuruti premis-premis itu dengan niscaya. Itulah pola dasar deduksi dengan tiga langkah, yang disebut Silogisme. Yang paling umum di antara semua itu adalah silogisme kategoris. Contoh-baku tipe silogisme itu adalah yang dipakai Sokrates untuk menyakinkan kawan-kawannya yang tidak mengkihawatirkan kematiannya yang menjelang, karena   kematian tak terelakkan. Silogisme tersebut kelihatannya seperti berikut ini:
       Semua manusia adalah fana.
       Sokrates adalah manusia.
       Sokrates adalah fana.
       (Stephen Palmquis,Terj.,2002:131).
Sedangkan metode induksi, menghajatkan  kita untuk berawal dengan memanfaatkan berbagai fakta material yang dengan  diambil bersamaan, menunjuk  pada kesimpulan yang diinginkan. Denagn kata lain, berlawanan dengan kebutuhan pengaturan deduksi yang sahih, induksi selalu  melibatkan dugaan. Artinya, dengan meminjam peristilahan Kant, kita dapat menyatakan bahwa deduksi masih sepenuhnya berada di dalam dunia konsep, sedangkan induksi perlu juga memenfaatkan intusisi. Barangkali sebuah contoh aklan turut menerangi perbedaan itu. 
Misalnya kita ingin membuktiian bahwa proposisi matahari selalu terbit dari timur adalah benar. Untuk mereduksi kebenaran pernyataan itu, kita perlu mendapatkan sekurang-kurangnya dua asumsi yang benar, yang dengan diambil  bersamaan, mengharuskan  penyimpulan semacam itu. Untuk contoh itu, kita bias memilih yang berikut ini :
Semua planet berputar mengelilingi suatu bintang dengan cara sedemikiana rupa sehingga bintang itu pada penampakannya selalu terbit di cakrawala  timur planet yang bersangkutan. Bumi adalah planet dan matahari adalah bintang.
Matahari selalu terbit di timur.
Di sisi lain, agar sampai pada simpulan yang sama dengan itu dengan induksi, kita perlu berargumen dengan cara seperti berikut ini:
Ayahku berkata  bahwa di hari pertama ia lihat matahari terbit, terbitnya di timur. Ibuku berkata bahwa matahari terbit di timur pada hari kelahiranku. Pada hari pertama aku lihat matahari terbit seingatku, terbitnya di timur. Pekan lalu, aku bangun awal dan melihat matahari terbit di timur.
Kemarin aku mengalami hal yang sama. Aku belum pernah mendengar orang berkata bahwa ia pernah melihat matahari terbit di utara, selatan, ataupun barat. Jadi, matahari selalu terbit di timur (Stephen Palmquis, Terj.,2002: 133-134).

4. Logika Dilihat Dari Segi Kualitasnya
Bila dilihat dari aspek kualitas kemampuan orang berpikir, maka logika itu dapat dikelompokkan menjadi dua tingkatan, yaitu  ada logika  naturalis dan logika  ilmiah.
1) Logika Naturalis (Al-Mantiq al-fitri) adalah logika yang berdasarkan kemampuan  akal pikiran bawaan manusia sejak lahir. Akal manusia yang normal dapat bekerja  secara sepontan  sesuai dengan hukum-hukum  logika dasar. Bagaimanapun  rendahnya  intelegensi  seseorang, ia pasti dapat membedakan sesuatu itu adalah berbeda  dengan sesuatu yang lain, dan  bahwa dua kenyataan yang bertentangan  tidaklah  sama.
2) Logika Ilmiah (al-Mantiq Al-Shuri)  adalah logika yang bertugas membantu al-Mantiq al-fitri . Logika ini  memperluas, mempertajam serta  menunjukkan jalan  pemikiran agar  akal  dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah, dan aman. Logika inilah yang menjadi pembahasan  logika sekarang (Mundiri,1996: 13-14).

C. Manfaat Logika
Logika  yang kita pelajari ini  bermanfaat  bagi kita. Yakni bahwa  keseluruhan  informasi keilmuan merupakan suatu system yang  bersifat logis; karena itu science tidak mungkin melepaskan kepentingan  dari logika.
1. Logika membantu  manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan  teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari  kekeliruan.
2. Logika  menyampaikan kepada  berpikir benar, lepas dari  pelbagai prasangka, emosi, dan keyakinan seseorang; oleh karena itu   mendidik  manusia bersikap obyektif, tegas, dan  berani; suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat.
3. Melatih kekuatan akal pikiran dan perkembangannya dengan latihan dan selalu  membahas dengan  metode-metode berpikir.
4. Dapat meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya dan melaksanakan  pekerjaan  tepat pada waktunya ( Mundiri, 1999: 15 : Lihat Muhammad Nur Ibrahimi, tt : 6).
Di sana ada beberapa  faidah lain yang dipergunakan oleh berbagai suku bangsa, karena manusia mempunyai pemikiran dalam  bebagai bidang ilmu kemanusiaan dan kealaman, sementara ilmu mantiq mempunyai aturan-aturan terutama yang bersangkut-paut dengan masalah rumah tangga, pendidikan anak, dan politik pemerintahan. Maka  ilmu mantiq akan memberi pandangan yang tajam, dan dalilnya  dapat memberi petunjuk, serta sinar-sinarnya yang  jelas. Dan oleh karena itu,  ilmu ini dapat disebut sebagai "al-qisthas al-mustaqim" (timbangan yang lurus), atau "ilmu al-ulum" ( ilmu segala ilmu) ,dan  "ilmu al-mizan" (ilmu timbangan), serta "mi'yar al-ulum" (ukuran segala ilmu). Dan dari sini, seseorang dapat menangkap  kepentingan ilmu mantiq, dan akan dapat tenang kepada apa yang diriwayatkan dari  Imam Al-Ghazali yang mengatakan  "bahwa orang yang  tidak mengerti ilmu mantiq, maka ilmunya tidak kuat" (Muhammad Nur Ibrahimi,tt: 7). 

D. Hukum Mempelajari Logika
Ulama' berselisih pendapat tentang hukum mempelajari logika dalam tiga pendapat, yaitu:

1. Melarang (haram) mempelajari logika. Yang mengatakan demikian adalah Imam an-Nawawi dan Imam  Ibn Al-Shalah.
2. Memperbolehkan (jawaz) mempelajari logika. Ada sekelompok ulama' yang bependapat demikian, diantaranya Imam Al-Ghazali sambil mengatakan  bahwa orang yang  tidak mengerti logika, maka  ilmunya kurang kuat terutama ketika  dibutuhkan, karena tidak adanya  kaidah-kaidak yang memperkuatkannya.
3. Pendapat yang masyhur dan shahih adalah merinci (tafshil), artinya  bila  orang yang  menyibukkan diri mempelajari logika adalah  pandai dan cerdas, serta  mengerti  Kitab Al-Qur'an  dan al-Sunnah, maka  bagi dia diperbolehkan, tetapi bila tidak demikian,  maka dia tidak boleh (Al-Ahdlari, tt: 3). 
            Perlu diketahui, bahwa  perselisihan pendapat  tersebut di atas, bila mempelajari logika (ilmu mantiq) yang sudah tercemar dengan  pendapat para filosuf, begitu  disebutkan dalam  kitab Al-Baidlawi. Sedangkan  logika (ilmu mantiq) yang murni, seperti  disebutkan oleh Imam Al-Sanusi dalam Al-Mukhtashar, dan termasuk dalam  buku ini, maka tidak ada perselihan tentang bolehnya mempelajari logika, bahkan tidak jauh dari kebenaran, lagi pula mempelajari logika itu termasuk  fardlu kifayah, artinya bila  dalam  satu daerah sudah ada seorang yang belajar, maka  hukumnya mereka  telah gugur kewajibannya, tetapi bila tidak ada seorang pun yang mengerti logika, maka seluruh penduduk di daerah itu dosa semua  (Ahmad Damanhuri, tt : 5).    

KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH (Kajian Fiqih seri 55)

_#seri55_ *KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH* Kasus kelima ini adalah kasus pertama dari tiga jenis mutahayirah yang sudah dise...