Minggu, 29 November 2020

PERBEDAAN KARAKTER DARAH ISTIHADHOH & HAID (Kajian Fiqih Seri 41)

#seri41

- PERBEDAAN KARAKTER DARAH ISTIHADHOH & HAID 

Oleh : Makhin Ahmad

Prinsip paling dasar dalam mengidentifikasi istihadhah adalah dengan mengetahui perbedaan²nya dengan haid. Hal ini sangat penting karena dalam realitanya kedua darah tsb sering bercampur jadi satu dan keluar secara beriringan. Sehingga tak jarang menimbulkan bias yang membingungkan wanita. 

Menurut fiqih, Setidaknya ada 2 (dua) perbedaan inti antara istihadhah dan haid.  Pertama adalah perbedaan dari segi karakter darah, yang meliputi warna, tekstur, aroma, serta hal² yang berkaitan dengannya. Dan yang kedua adalah perbedaan dari segi hukum yang ditimbulkan oleh masing². 

Dari segi karakter, Darah haid cenderung berwarna hitam atau merah lebam. Ini berbeda dengan warna darah istihadhah yang berwarna merah biasa seperti umumnya darah. Perbedaan ini disebabkan karena unsur haid tidak hanya terdiri dari darah saja, melainkan endometrium rahim yang ikut mencair bercampur dengan lendir dan unsur lainnya. 

Dari sisi aroma, Darah haid ini punya aroma tersendiri yang berbeda dengan darah umumnya. Baunya menyengat dan tidak enak. Sementara darah istihadhah tidak punya aroma seperti ini. Darah istihadhah tidak berbeda dengan aroma darah umumnya. 

Dari segi tekstur, Darah haid punya tekstur yang lebih kental dibanding darah umumnya. Menurut beberapa penilitan, Tekstur darah haid tidak akan menggumpal. Meskipun dalam jangka waktu bertahun-tahun. Karakter seperti ini tidak ada dalam darah istihadhah. 

Selain perbedaan² di atas, Tentu ada perbedaan lainnya antara kedua darah tsb. Diantaranya dari sisi pemicu/sebab dan asal usul darah. Berdasarkan penelitian, Darah haid dipicu oleh pelepasan dinding rahim yang berlangsung secara periodik dan berkala, serta berasal dari dalam rahim itu sendiri. Darah haid juga tidak sebabkan oleh infeksi tertentu. 

Sementara istihadhah adalah darah yang disebabkan oleh penyakit & infeksi tertentu. Dan sumber darah juga tidak hanya berasal dari rahim. Terkadang bisa dari liang vagina, uterus, atau bagian lain yang tidak bisa dipastikan. Dengan kata lain, Terjadinya istihadhah menjadi indikasi adanya infeksi tertentu di bagian dalam, Oleh sebab itu fiqih menyebutnya Dam 'illah (darah penyakit). 

Mengenai periode & durasi kedua darah di atas juga berbeda. Darah haid punya periode tertentu yang bisa diprediksi setiap bulannya. Soal drasinya pun kurang lebih stabil antara satu periode dengan periode berikutnya. Sementara darah istihadhah tidak demikian. Dia tidak punya batasan tertentu yang bisa diprediksi sebelumnya. 

Perbedaan dalam hal ini-lah yang menyebabkan mengapa kasus haid tidak sekompleks dan serumit istihadhah. Karena periode dan durasinya cenderung ajeg alias tidak berubah-ubah. Sementara dalam istihadhah kasusnya sangat beragam dan sulit dipolakan. Hal ini yang membuat fiqih harus membagi kasus istihadhah menjadi 7 (tujuh) bagian.  

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perbedaan dasar antara haid dan istihadhah adalah soal normalitas darah. Dimana darah yang sifatnya normal, keluar di waktu normal, dan dengan durasi normal maka itu adalah haid. Sebaliknya darah yang punya sifat karakter ean durasi yang tidak normal maka itu adalah istihadhah.

Jumat, 27 November 2020

ISTIHADHAH, TINJAUAN FIQIH & MEDIS (Kajian Fiqih Seri 40)

#seri40

- ISTIHADHAH, TINJAUAN FIQIH & MEDIS

Oleh : Makhin Ahmad

Agaknya penting untuk kita ketahui lebih dulu mengenai gambaran umum istihadhah secara fiqih dan medis. Hal ini akan membantu kita untuk memahami masalah ini dengan lebih baik dan mengurangi bias-bias yang sering terjadi antara fiqih dan kedokteran.

Pada prinsipnya, Istilah Istihadhah  adalah terminologi yang hanya dikenal di dalam fiqih. Istilah ini merujuk pada kondisi haid (menstruasi) yang terjadi di luar kebiasaan umum. Dalam dunia kedokteran, Kondisi ini disebut dengan istilah menorrhagia. Yakni kondisi pendarahan yang berlangsung lebih dari 7 hari dan dengan volume yang melebihi batas (+ 80 ml/per siklus). 

Jika kita meneliti lebih jauh, Kedua istilah di atas ini (istihadhah & menorrhagia) meskipun merujuk pada kondisi menstruasi yang hampir sama, Namun kenyataannya punya perbedaan yang cukup signifikan. Salah satunya dalam soal durasi. Menurut fikih Syafi'iyah istihadhah ini ditandai jika durasi darah lebih dari 15 hari/atau kurang dari 1 hari/24 jam. 

Perhitungan ini tidak dipakai di dalam medis. Dalam dunia medis kondisi menstruasi sudah bisa dikategorikan mennorhagia jika durasinya lebih dari 7 hari. Padahal kita tahu, Secara fikih darah yang lebih dari 7 hari ini belum bisa dikategorikan istihadhah. Karena masih berada di dalam interval 15 hari (masa kemungkinan haid) 

Di sisi lain, Jumlah volume darah saat haid juga menjadi standar perhitungan dalam menorrhagia.  Dalam medis, Volume rata² haid adalah 30-40 ml per siklus. Jika volume menstruasi sampai menyentuh angka 80 ml per siklus (sekitar 16 sendok teh), maka itu adalah menorrhagia. Nah, Perhitungan volume ini juga tidak ada dalam aturan fiqih. 

Singkatnya, Boleh dibilang bahwa Istihadhah dalam fiqih itu ditentukan dengan standar yang lebih sederhana. Yakni Setiap pendarahan yang tidak sesuai dengan batas haid maka akan dikategorikan istihadhah. Baik itu volume & durasinya melebihi batas, atau justru kurang dari kebiasaannya. Hukumnya tetap sama yakni istihadhah. 

Perbedaan perspektif yang mendasar antara fiqih dan medis ini  memang bukan hanya dalam istihadhah. Dalam persoalan haid, perbedaan² ini juga banyak kita temukan. Kami mengira bahwa kesenjangan ini disebabkan karena perbedaan metodologi keilmuan masing². Seperti kita tahu, Dalam fiqih Para Ulama merumuskan hukum darah melalui riset yang sederhana. Jauh dari sarana modern dan sains.

Memang benar, Perbedaan keduanya dalam istihadhah ini tidak mutlak. Ada beberapa poin yang bisa dianggap sejalan. Sebagai contoh, Para Ulama fiqih meyakini bahwa darah istihadhah itu disebabkan oleh penyakit. Hal ini selaras dengan dunia medis. Istihadhah atau boleh juga disebut menorrhagia juga disebabkan oleh infeksi rahim, dan penyakit tertentu lainnya.

Selain itu dalam istihadhah fiqih juga tidak merinci secara detail penyebabnya. Sebaliknya, Dengan kemajuan sains dan teknologi dunia kedokteran berhasil menelusuri sebab-musabab munculnya darah ini. Bahkan juga mengidentifikasi jenis² penyakit dan infeksi secara mendetail dan akurat. Hal ini tidak masalah, Sebab mendiagnosis hal² tsb memang bukan tugas dari ilmu fiqih. 

Kemudian, Bila kita melangkah lebih jauh lagi, Dalam terminologi hadits, Nabi SAW pernah menyebut istihadhah  dengan istilah ركضة من ركضات الشيطان (kerjaan Syaithan). Ini tentu menimbulkan pertanyaan lagi. Bagaimana fenomena kesehatan ini justru disebut Nabi SAW sebagai ulah syetan. Sementara dalam dunia medis Istihadhah adalah ketagori penyakit. 

Kejanggalan ini ternyata sudah dibaca oleh Imam al-Khattabi (338 H), Seorang pakar hadits di abad 3 H. Dalam kitabnya Ma'alim al-Sunan (1/90) ia menjelaskan bahwa maksud kata ركضة dalam hadits ini adalah untuk menunjukkan bahwa istihadhah akan memberi jalan syetan untuk mengganggu wanita dalam urusan agama. Istihadhah akan menciptakan bias seolah-olah adalah haid, Sehingga para wanita akan meninggalkan sholat. 

Terlepas dari perbedaan & kesamaan serta diskursus yang ada, Agaknya baik fiqih dan medis tidak perlu lagi kita pertentangkan. Sebab faktanya masing² punya fokus dan domain keilmuan yang berbeda. Tentu akan lebih baik jika kita bisa mengelaborasi keduanya.  Dan merumuskannya menjadi sebuah alternatif baru yang bermanfaat dalam kajian fiqih darah wanita.

Rabu, 25 November 2020

TATA CARA MANDI SETELAH HAID (Kajian Fiqih Seri 39)

#seri39

- TATA CARA MANDI SETELAH HAID

Dalam aturan fiqih, Saat haid sudah rampung maka wanita wajib mandi besar.  Dalam sebuah hadits, Nabi SAW mengatakan kepada Fatimah binti Hubaisy : 

فإذا أدبرت فاغتسلي وصلي 
Jika haidmu sudah rampung maka mandi-lah lalu shalat (HR. Bukhari)

Perintah mandi setelah haid ini tidak wajib dilakukan seketika setelah darah berhenti. Kecuali jika kita memang hendak melakukan shalat, maka harus mandi lebih dulu sebagai syarat suci.

Adapun tata cara mandi besar di sini tidak jauh beda dengan mandi besar lainnya seperti mandi jinabat. Yakni harus memenuhi minimal 2 rukun : 

1. Niat.  Dalam mandi haid ini niat yang dilakukan harus dengan tujuan menghilangkan hadats haid/hadats besar. Dan harus dilakukan bersamaan saat air membasahi anggota tubuh pertama kali. 

2. Membasahi seluruh bagian tubuh.  Dalam hal ini meliputi semua rambut dan kulit yang tampak. Dan juga bagian lekukan tubuh, pusar, telinga dan bagian yang tampak dari kemaluan wanita saat jongkok. 

Selain kewajiban² di atas, Ada beberapa hal yang sangat dianjurkan saat haid ini. Diantaranya membersihkan sisa-sisa darah yang membekas di kemaluan dengan wewangian, seperti minyak misik, atau pewangi lainnya. 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Seorang wanita Anshar bertanya kepada Nabi SAW tentang tata cara mandi haid. Nabi lalu mengatakan : 

خذي فرصة من مسك فتطهري بها
"Ambillah kapas yang sudah diresapi minyak misk, dan gunakan untuk bersuci". 

Maksud dalam hadits ini, adalah saat kita selesai mandi wajib, maka dianjurkan menggunakan kapas atau lainnya yang berbau wangi untuk membersihkan sisa flek di kemaluan. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjaga kebersihan anggota vital. 

Selain hal di atas, ada banyak kesunahan lainnya yang tentu sangat baik jika dilakukan. Seperti melakukan wudhu lebih dulu, membaca tasmiyah (bismillah), Berkumur, Mengguyur anggota kanan lebih dulu, dan kesunnahan lainnya.

Senin, 23 November 2020

MENYEMBUNYIKAN STATUS HAID DARI SUAMI (Kajian Fiqih Seri 38)

#seri38

MENYEMBUNYIKAN STATUS HAID DARI SUAMI

Dalam kehidupan rumah tangga, bisa saja seorang wanita menyembunyikan status haidnya atau justru mengaku² haid untuk tujuan tertentu. Sebut saja untuk menolak ajakan hubungan suami istri. Nah, Bagaimana hukum tindakan  seperti ini menurut fiqih? 

Hukumnya adalah haram. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW dawuh : 

لعن الله الغائصة والمغوصة 

"Allah akan melaknat al-Ghaisah & al-Mughawisah". 

Menurut Ibnu al-Atsir dalam al-Nihayah Fi Gharibil Hadits (3/395) menjelaskan al-Ghaisah adalah wanita yang sedang haid namun mengaku suci agar suami menggaulinya, Sementara al-Mughawisah adalah wanita yang mengaku haid padahal sedang suci agar suami tidak menggaulinya.  Dua perilaku ini dilarang karena sama saja berbohong dan menipu suami. 

Dalam Fathul Bari (718) Ibnu Hajar al-Asqalani meriwayatkan dari Ibnu Umar mengatakan : 

لا يحل لها إن كانت حائضا أن تكتم حيضها 

"Tidak boleh bagi wanita yang haid menyembunyikan haidnya". 

Keharaman menyembunyikan haid seperti ini tidak hanya berlaku dalam persoalan hubungan suami istri saja. Dalam persoalan thalaq (cerai), wanita yang dijatuhi thalaq dan melaksanakan iddahnya  dengan suci (Quru') juga tidak boleh menyembunyikan haidnya. Allah SWT dawuh : 

ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن 

"Dan tidak halal bagi mereka (wanita) menyembunyikan apa yang yang Allah ciptakan di rahimnya". 

Para ahli Tafsir mengatakan : Maksud menyembunyikan sesuatu yang diciptakan Allah dalam ayat ini adalah menyembunyikan haid atau kehamilan bagi wanita yang dijatuhi thalaq. Hal ini haram karena berpotensi memanipulasi masa 'iddah. 

Fakhrud-din ar-Razi (604) dalam tafsirnya "Mafatihul Ghaib" (6/98) mencontohkan bagaimana memanipulasi iddah dengan menyembunyikan haid. 

Pertama, Adakalanya wanita yang dicerai menyembunyikan haidnya untuk memperpanjang masa iddah. Misalnya dia mengaku baru haid 1 kali, Padahal faktanya sudah 2 kali, dengan harapan agar peluang suami merujuknya menjadi lebih panjang. 

Kedua, Dia berbohong sudah haid 2 kali padahal baru sekali, dengan tujuan memperpendek masa iddah demi mempersempit peluang suaminya untuk merujuknya kembali. 

Dalam dua kasus di atas ini, Masa iddah yang seharusnya berlangsung 3 kali sucian menjadi lebih pendek atau lebih panjang. Dan hal tsb sama saja merekayasa aturan yang sudah ditetapkan oleh al-Quran. Oleh sebab itu, Imam Syafi'i (204 H) dalam kitabnya al-Umm (6/451) mengatakan dengan tegas : 

وإذا سأل الرجل إمرأته المطلقة ، أحامل هي أو هل حاضت ؟ فبين عندي أن لا يحل لها أن تكتمه واحدا منهما 

"Jika suami bertanya kepada istrinya yang dicerai, Apakah kamu hamil atau haid? Maka dia tidak boleh menyembunyikan  keduanya.

Sabtu, 21 November 2020

MEMANDIKAN RAMBUT YANG RONTOK SAAT HAID (Kajian Fiqih Seri 37)

#seri37

MEMANDIKAN RAMBUT YANG RONTOK SAAT HAID 

Ada kebiasaan para wanita  mengumpulkan rambut yang rontok saat haid lalu memandikannya ketika mandi besar. Bagaimana hukum dari tindakan ini?

Secara fikih, Sebenarnya tidak ada kewajiban orang haid untuk memandikan rambutnya yang rontok. Apalagi sampai beranggapan mandinya tidak sah jika rambut tsb tidak diikut sertakan. Hal ini sangat beralasan karena rambut yang rontok sudah bukan bagian dari tubuh yang wajib dibasahi air. 

Dalam al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba'ah (h.69) dikatakan : 

وأما تعميم ظاهر الجسد فإنه يشمل الشعر الموجود على البدن 

"Kewajiban meratakan air di tubuh saat mandi mencakup seluruh rambut yang ada di badan". 

Di sisi lain, Seandainya rambut tsb tetap dimandikan juga sama sekali tidak bisa menghilangkan status hadatsnya. Ibnu Qasim al-'Ubbadi dalam Hasiyah Tuhfatul Muhtaj (285) mengatakan : 

أن الأجزاء المنفصلة قبل الإغتسال لا ترتفع جنابتها بغسلها 

"Bagian tubuh yang terpisah sebelum mandi, tidak bisa hilang jinabatnya (hadats besar) dengan memandikannya". 

Lantas bagaimana cara mengelola rambut yang rontok tsb? Di dalam fiqih dijelaskan bahwa rambut wanita yang rontok  sebaiknya dikumpulkan dan disembunyikan. Alasannya bukan karena wajib dimandikan, Namun karena rambut wanita adalah aurat. Dalam fiqih ada kaidah yang berbunyi : 

ما حرم نطره متصلا حرم نظره منفصلا

"Sesuatu yang haram dilihat saat tersambung, haram juga dilihat saat terpisah. 

Berdasarkan kaidah ini, Para Ulama --terutama dari madzhab Syafi'i-- mengatakan bahwa rambut wanita yang rontok/terpotong harus diamankan atau disembunyikan sebagai langkah preventif agar tidak dilihat orang lain yang bukan mahram.  

Hanya saja pendapat ini tidak mutlak. Sebagian Ulama menolak dan meragukan kewajiban tsb. Diantaranya Imam Adzra'i (783 H). Beliau mengatakan :

والآجماع الفعلي في الحمامات على طرح ما يتناثر من إمتشاط شعور النساء

"Secara ijma', Di tempat² sampah rambut wanita itu sudah dibiarkan berserakan". 

Menanggapi perbedaan pandangan ini, Imam Ramli menulis dalam "Hasiyah Asnal Mathalib" : "Guruku mengatakan bahwa pendapat yang shahih, Hukum menyembunyikan rambut rontok tsb hanya sunnah.  Kemungkinan bersifat wajib itu bila mana ada potensi rambut tsb dilihat oleh orang lain. 

Alhasil, Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa perintah mengumpulkan dan mengamankan rambut yang rontok untuk dimandikan setelah haid itu tidak ada. Yang ada adalah perintah mengumpulkan & mengamankan rambut karena statusnya adalah aurat. Itu pun diperselisihkan hukumnya oleh para Ulama Adapun hukum memandikannya sendiri juga tidak wajib.

HUKUM MEMOTONG RAMBUT ATAU KUKU SAAT HAID (Kajian Fiqih Seri 36)

#materi36

HUKUM MEMOTONG RAMBUT ATAU KUKU SAAT HAID

Oleh : Makhin Ahmad

DI kalangan masyarakat, ada kebiasaan menghindari potong rambut/kuku di saat haid. Mereka berkeyakinan bahwa rambut atau kuku yang terlepas di saat haid masih berlangsung akan dikembalikan di akherat kelak. 

Bagaimana hukum memotong rambut/kuku saat haid ini?
  
Menurut para Ulama, hukum memotong rambut atau kuku saat kondisi haid ini adalah boleh (mubah). Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya Shahih Bukhari, dari Imam Atha' mengatakan :  

يحتجم الجنب ويقلم أظفاره ويحلق رأسه وإن لم يتوضأ

"Bagi orang Junub boleh melakukan bekam, memotong kuku dan rambut. Meskipun tanpa wudhu". 

Berdasarkan atsar ini, Ibnu Rajab berkomentar dalam syarh-nya Fathul Bari :

وَمَا حَكاهُ عَنْ عَطَاءٍ ، مَعْنَاهُ : أَنَّ الْجُنُبَ لَا يُكْرَهُ لَهُ الْأَخْذُ مِنْ شَعَرِهِ وَظُفْرِهِ فِيْ حَالِ جَنَابَتِهِ ، وَلَا أَنْ يُخْرِجَ دَمَهُ بِحِجَامَةٍ وَغَيْرِهَا

"Apa yang disampaikan Atha' itu bermakna bahwa orang junub tidak makruh memotong rambut & kuku saat jinabat. Serta membuang darahnya dengan bekam dan sejenisnya". 

Akan tetapi meski hukumnya boleh, Namun alangkah baiknya untuk menunda hal tsb hingga suci. Al-Jurdani dalam Fathul Allam (246) mengatakan : 

يسن لمن ذكر أن لا يزيل شيئا من بدنه ، ولو دما أو شعرا أو ظفرا قبل الغسل 

"Disunnahkan bagi orang haid agar tidak menghilangkan sesuatu dari tubuhnya, baik darah rambut atau kuku sebelum mandi". 

Apa yang disampaikan Al-Jurdani ini mirip dengan pendapat Imam Ghazali (505 H) Dalam Ihya' Ulumud Din beliau mengatakan : 

لا ينبغي أن يَحْلِق أو يُقَلِّم أو يستحدَّ ـ يحلق عانته ـ أو يُخرج دمًا، أو يُبين ـ يقطع ـ من نفسه جزءًا وهو جُنُب، إذ تُرَدُّ سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنبًا، ويُقال: إن كلَّ شعرة تطالبه بجنابتها

"Tidak seyogyanya orang Junub memotong rambut, kuku, atau mengekuarkan darah dari tubuhnya. Karena semua itu akan dikembalikan di akherat dan menuntut pemiliknya.  

Walhasil, Bisa disimpulkan bahwa hukum memotong rambut atau kuku saat masih haid adalah boleh. Namun alangkah baiknya untuk ditunda hingga suci.  Bila hal itu tidak dimungkinkan, maka tak masalah untuk melakukannya sebelum suci.

HUKUM MENGKONSUMSI OBAT PENUNDA HAID (Kajian Fiqih Seri 35)

#materi35

- HUKUM MENGKONSUMSI OBAT PENUNDA HAID

Oleh : Makhin Ahmad

Mengkonsumsi obat-obatan tertentu untuk menunda atau mempersingkat haid bukan hal yang aneh di zaman sekarang. Motif penggunaannya pun beda-beda. Ada yang untuk ibadah seperti haji/umroh, atau dalam rangka pengobatan medis tertentu. Bagaimana hukum mengkonsumsi obat ini menurut fiqih?

Jika kita merujuk pada kitab-kitab klasik, Sebenarnya penggunaan obat penunda haid ini sudah ada sejak zaman kuno. Dalam tradisi arab masa lalu, mereka menggunakan beberapa ramuan dan rempah khusus. Seperti minyak dari tumbuhan al-Arak (pohon siwak), Pohon Kamper (al-kafur) & beras yang dipercaya punya khasiat  menunda/memutus haid. 

Di zaman sekarang, Penggunaan obat penunda haid ini tentu sudah jauh berkembang. Ada banyak obat yang beredar di pasaran. Seperti pil KB atau Primolut yang biasa diresepkan dokter kepada para calon jama'ah haji dan umroh. Sistem kerja obat ini kurang lebih sama. Yaitu merekayasa genetik & hormon untuk mengurangi serta menunda darah menstruasi. 

Dari segi hukum, para Ulama di zaman dulu juga sudah menjelaskan. Imam Abdur Razzaq, Seorang pakar hadits terkemuka meriwayatkan dalam kitabnya "Al-Mushonnaf". Bahwa Sahabat Ibnu Umar RA dan seorang Tabi'in Ibnu Abi Najih pernah ditanya soal hukum mengkonsumsi ramuan penunda haid. Keduanya mengatakan hukumnya boleh (mubah).  

Dalam madzhab Syafi'i, Imam Muhammad bin Husein al-Qammath az-Zabidi (904 H) pernah ditanya soal hukum.mengkonsumi obat penunda haid ini. Beliau mengatakan : 

وأما إستعمال دواء يمنع الحيض فلم أقف على نقل ، والظاهر الجواز. لانتفاء العلة التي علل بها القائل بالمنع - أي منع الدواء للحامل لإلقاء ما في بطنها 

"Adapun mengkonsumsi obat pencegah haid, maka saya tidak menemukan riwayat. Secara dzahir hal itu boleh. Karena tidak ada illat seperti dalam kasus mengkonsumi obat penggugur janin". 

Pandangan dari luar madzhab Syafi'i juga kurang lebih sama. Misalnya dalam madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (620 H) mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab-nya "Al-Mughni" :

لا بأس أن تشرب المرأة دواء يقطع عنها الحيض إذا كان دواء معروفاً

"Tidak masalah seorang wanita minum obat untuk memutus haidnya, jika obat tsb diketahui". 

Hasil keputusan Muktamar NU ke 28 di tahun 1989 M di Krapyak-Yogyakarta juga memutuskan boleh selama tidak ada madharat (efek buruk). Demikian juga fatwa dari para Ulama kontemporer, Seperti Syekh Yusuf al-Qardhawi, Grand Mufti Mesir Sekh Ali Jum'ah, dan Sayid Muhammad As-Syatiri (Fatawi/20).

Akan tetapi kebolehan mengkonsumsi obat penunda haid tsb jika memang tidak menimbulkan efek buruk bagi kesehatan (mudharat). Jika menyebabkan dampak buruk maka hukumnya haram. Karena melanggar prinsip dasar agama untuk selalu menjaga kesehatan & keselamatan tubuh. 

Oleh sebab itu, menurut para Ulama kontemporer --seperti Yusuf al-Qardhawi misalnya-- sangat menganjurkan jika  menggunakan obat penunda haid agar disertai dengan resep dokter. Karena mereka-lah yang lebih tahu baik tidaknya obat tsb. Atau minimal pengkonsumsi sudah terbiasa menggunakannya, sehingga tahu betul obat tsb aman digunakan.

Alhasil, Seperti dkatakan oleh Dr. Zein al-Aidrus dalam Ithaful Anam (hal 54) bisa disimpulkan bahwa : Dalam persoalan menggunakan obat penunda haid ini, Baik Ulama masa lalu (mutaqaddimin) dan Ulama sekarang (Mu'ashirin) mereka berpandangan hukumnya adalah boleh selama tidak menimbulkan efek negatif. 

Namun tetap saja yang terbaik adalah membiarkan haid berjalan seperti biasanya. Karena haid adalah fitrah yang sudah ditetapkan Allah.  Penggunaan obat penunda haid sebaiknya hanya dilakukan jika diperlukan saja, Seperti saat haji/umroh dsb. Semoga bermanfaat.

MITOS TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL SAAT HAID (Kajian Fiqih Seri 34)

#materi34

MITOS TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL SAAT HAID

Oleh : Makhin ahmad

Dalam kitab-kitab fiqih sering ditemukan keterangan tentang dampak hubungan seksual saat haid yang kebenarannya masih perlu diteliti.  Diantaranya, hubungan tsb bisa menyebabkan anak akan terlahir dengan mata juling (أحول) & mengidap penyakit lepra  (جذام). 

Bagaimana kita memandang ini, karena secara medis modern hubungan seksual saat haid tidak mungkin membuat wanita hamil?

Untuk menyikapi kontradiksi ini, As-Syatiri dalam Syarh Yaqutun Nafis (hal 176) mengatakan : 

وكثير من الوقائع قد تأتي على خلاف العادة ويسمونها فلتة من فلتات الطبيعة. وآذا كتب الله شيئا يتم 

"Banyak sesuatu yang terjadi di dunia inj diluar kebiasaan. Orang-orang menyebutnya sebagai kecelakaan alam.  Dan tentu apa yang sudah ditakdirkan Allah pasti akan terjadi". 

Sebelumnya, As-Syatiri juga menjelaskan bahwa fakta secara medis memang wanita yang haid tidak mungkin mengandung/hamil. Akan tetapi, secara logika hal seperti itu bukan mustahil terjadi. Karena jika sesuatu sudah dikehendaki Allah pasti akan terjadi. 

Terlepas dari semua itu, Kalau-lah efek negatif di atas belum bisa dibuktikan secara medis, Akan tetapi hubungan seksual saat haid tetap saja punya banyak madharat dan efek negatif. Karenanya agama melarang bagi siapa-pun untuk melakukannya.

KAPAN BOLEH BERHUBUNGAN LAGI SETELAH HAID ? (Kajian Fiqih Seri 33)

#materi33

- KAPAN BOLEH BERHUBUNGAN LAGI SETELAH HAID ?

Oleh : Makhin Ahmad

Pada prinsipnya, Status wanita yang sedang haid adalah hadats besar. Status ini akan terus melekat hingga wanita tsb melakukan mandi besar setelah haid berhenti. Maka statusnya baru berubah suci dan boleh melakukan apa saja yang dilarang sebelumnya, seperti hubungan suami istri. 

Dalam hal ini Allah SWT dawuh dalam surat al-Baqarah : 

ولا تقربوهن حتى يطهرن ،فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله (الأية)

Dan jangan sekali-kali kamu dekati mereka (istrimu) hingga mereka suci. Maka jika mereka sudah suci, datangilah sesuai yang diperintahkan Allah. 

Berdasarkan ayat ini, Imam Syafi'i berpendapat bahwa istri yang rampung haidnya baru boleh disetubuhi jika sudah mandi besar.  Karena kata تطهرن dalam ayat di atas merujuk pada kesucian yang bersifat ikhtiyar, dan itu tiada lain harus dengan mandi besar.  Dengan kata lain, Jika ada wanita yang haidnya sudah rampung namun belum mandi besar maka tidak boleh disetubuhi. Karena statusnya belum  suci. 

Pendapat ini adalah Qaul Mayoritas Ulama, Kecuali madzhab Hanafi.  Menurut madzhab Hanafi, Wanita yang haidnya sudah rampung dan belum melakukan mandi boleh disetubuhi karena sudah dianggap suci, dengan catatan haid yang berlangsung lebih dari 10 hari. Alasannya, Karena durasi haid paling lama menurut mereka adalah 10 hari. 

Kembali pada poin sebelumnya. Imam Nawawi (676 H) mengatakan dalam kitab Minhajut Thalibin : 

فإذا انقطع دمها لم يحل قبل الغسل غير الصوم والطلاق

"jika darah haid sudah berhenti, maka tidak diperbolehkan bagi wanita sebelum mandi selain puasa & thalaq. 

Dengan demikian, Hal yang dilarang dalam situasi ini mencakup semua jenis larangan haid selain dua hal di atas, seperti membaca & memegang al-Quran, Shalat, Hubungan suami istri, dan berdiam di masjid. Semuanya baru boleh dilakukan jika wanita sudah melakukan mandi besar. Semoga bermanfaat.

TERLANJUR BERHUBUNGAN SAAT HAID (Kajian Fiqih Seri 32)

#materi32

- TERLANJUR BERHUBUNGAN SAAT HAID -

Ada sebuah pertanyaan, Bagaimana jika seseorang terlanjur berhubungan suami istri saat haid ? 

Pada dasarnya, menggauli istri saat haid ini tidak ada denda khusus (kafarat) yang diwajibkan oleh agama. Alias hanya dosa saja. Hanya saja agama menganjurkan untuk melakukan beberapa hal. Diantaranya adalah sedekah. 

Anjuran ini adalah tanggung jawab suami (al-wathi') dan statusnya adalah sunnah. Dengan catatan dia melakukan hubungan seksual tsb secara sadar dan mengetahui hukum haramnya. Imam Ramli (1004 H) dalam Nihayatul Muhtaj (hal.332) menulis : 

يستحب للواطئ مع العلم وهو عامد مختار في أول الدم تصدق 

Adapun bentuk sedekahnya ditafsil. Jika hubungan seksual dilalukan di awal-awal darah keluar (darah kuat) maka sedekah senilai 1 mitsqal emas murni atau setara 4,24 gram. Sementara jika dilakukan di fase akhir haid, maka sedekah dengan senilai ⅕ mitsqal (2,12 gr). 

Dalil kesunnahan sedekah ini diambil dari hadits Nabi SAW dalam Sunan Abu Dawud :

إذا واقع الرجل أهله وهي حائض آن كان دما أحمر فليتصدق بدينار ، وآن كان أصفر فليتصدق بنصف دينار

 "Jika seorang suami menggauli istriny saat haid, maka jika dilakukan saat darah merah (kuat) bersedekahlah 1 dinar. Jika saat darah kuning (lemah) mkaa sedekahlah dengan setengah dinar". 

Para Ulama menerangkan, bahwa kesunnahan ini dibebankan kepada pihak suami bukan si istri. Dan dalam pelaksanaannya, boleh diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja. Semoga bermanfaat.

HUBUNGAN SUAMI ISTRI SAAT HAID (Kajian Fiqih Seri 31)

#materi31

- HUBUNGAN SUAMI ISTRI SAAT HAID -

Jika kita browsing di internet tentang hubungan suami-istri saat haid, Ada beberapa situs yang menjelaskan seolah hubungan seksual saat haid itu punya berbagai macam manfaat.  Dan karenanya dianggap aman jika dilakukan dengan benar (seperti menggunakan kontrasepsi). 

Informasi seperti itu bertebaran di internet dan berpotensi menimbulkan mis-persepsi kepada para pembaca, bahwa seolah-olah berhubungan suami istri saat haid itu boleh-boleh saja dan aman dilakukan. Kekhawatiran ini bukan tidak mungkin, Sebab faktanya tidak sedikit orang yang masih melakukan hal itu di saat haid maskh berlangsung. 

Nah, Bagaimana hukum hubungan seksual di saat haid ini ? Mari kita kembali ke fiqih. Di dalam kitab-kitab fiqih dijelaskan bahwa hukum bersenggama saat haid adalah haram. Dan hal itu sudah menjadi Ijma' (konsensus) di dalam islam. Semua Ulama, baik dari madzhab 4 (Hanafi,Maliki,Hambali,Syafi'i) atau di luar mereka semua sepakat hukumnya haram. 

Dalil yang digunakan sangat-sangat jelas (Qath'i), yakni dalam surat al-Baqarah QS. 222. Allah SWT berfirman : 

ويسألونك عن المحيض ، قل هو أذى فاعتزلوا النسآء في المحيض. ولا تقربوهن حتى يطهرن (الأية)

"Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah (itu) adalah kotorsn. Maka jauhilah istri saat haid. Dan jangan dekati mereka hingga suci". 

Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW juga bersabda : 

إصنعوا كل شيئ إلا النكاح 

"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (Jima')"

Keharaman ini juga berlaku jika hubungan seksual dilakukan dengan alat kontrasepsi. Dalam Fathul 'Allam (hal 271), Al-Jurdani mengatakan : 

مما يحرم بالحيض والنفاس الوطء ، ولو بحائل ثخين 

"Diantara yang haram saat haid/nifas adalah hubungan seksual. Meskipun dengan penghalang tebal. 

Oleh sebab itu, pemakaian kontrasepsi saat haid tetap tidak dibenarkan, meskipun dianjurkan oleh medis karena dianggap aman. Toh, faktanya juga haram bukan?

Masih menurut para Ulama, Menggauli istri saat haid ini merupakan dosa besar, yakni Jika dilakukan sebelum haid mencapai 10 hari (periode awal) dan juga disengaja. Imam Syafi'i (204 H) sebagaimana dikutip Nawawi dalam al-Majmu' (389) mengatakan : 

من فعل ذلك فقد أتى كبيرة  

"Orang yang menggauli istri saat haid  akan berdosa besar". 

Oleh karena itu, Bagi orang yang menghalalkan jima' di saat haid ini sementara dia sudah tahu bahwa itu  haram maka dia akan dihukumi "kufur" (keluar dari islam).  Mengapa? Karena keharaman jima' di awal masa haid ini sudah menjadi ijma' (konsensus Ulama) dan juga berdasarkan ayat pasti (Qhot'iyat). Jadi tidak bisa dianggap remeh. 

Ini berbeda jika hubungan seksual dilakukan setelah hari 10 atau setelah hadi berhenti namun sang istri belum mandi, maka hukumnya hanya dosa kecil dan orang yang menghalalkan tidak dihukumi kufur. Mengapa? Menurut al-Jurdani dalam Fathul Alam (hal 272) karena bersenggama di periode ini masih diperdebatkan hukumnya oleh para Ulama. Alias bukan ijma' (konsensus). 

Terakhir, Apa yang dirumuskan fiqih tentang keharaman menggauli istri saat haid ini ternyata juga punya banyak hikmah & manfaat medis yang baru terbukti sekarang.  Salah satunya, Hubungan seksual saat haid ini akan meningkatkan risiko terkena infeksi menular seksual, infeksi saluran kemih (ISK) dan yang paling parah bisa menyebabkan infeksi serviks. Maka masuk akal jika hal itu juga diharamkan oleh agama. Semoga bermanfaat.

HAID SAAT HAJI (Kajian Fiqih Seri 30)

#materi30

- HAID SAAT HAJI -

Oleh : Makhin Ahmad

Diantara kasus haid yang paling ribet adalah saat sedang menjalankan ibadah haji/umrah. Nah bagaimana status haji/umrah di saat datang haid?  

Menurut para Ulama, Prinsipnya adalah Darah haid itu tidak menghalangi seseorang untuk melakukan ritual ibadah haji. Dengan kata lain, Hampir semua rukun & kewajiban haji boleh dilakukan dengan kondisi haid kecuali hanya thawaf. Hal ini karena rukun-rukun dalam haji itu tidak disyaratkan suci (thaharah) seperti halnya shalat. Oleh karena itu boleh dilakukan dalam kondisi menstruasi. 

Ada beberapa dalil mengenai keharaman ini. Salah satunya dawuh Nabi SAW kepada istrinya, Aisyah yang datang bulan di tengah masa haj : 

إفعلي ما يفعل الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري
"lakukanlah apa yang dilakukan orang haji kecuali thawaf di baitullah hingga kamu suci". 

Berdasarkan hadits ini, maka orang haid yang sedang melaksanakan haji tetap melaksanakan rukun-rukunnya seperti biasanya kecuali thawaf di Baitullah. 

Pertanyaannya, Thawaf apa yang dilarang saat haid ini? Mengingat dalam ibadah haji setidaknya ada tiga thawaf yang dilakukan.  

Menurut madzhab Syafi'i, Keharaman thawaf ini mencakup semua jenisnya. Baik yang bersifat wajib, sunnah, atau thawaf dalam haji dan non-haji, semua haram dilakukan dengan kondisi haid masih mengalir. 

Sudah barang tentu bahwa keharaman ini juga mencakup tiga thawaf yang biasa dilakukan saat haji  Yakni thawaf Qudum saat pertama datang, Thawaf Ifadhah yang merupakan rukun haji, dan terakhir thawaf wada' yang merupakan kewajiban haji. Ketiga thawaf ini haram dilakukan jika wanita masih di dalam keadaan haid dan juga tidak sah. 

Dalam prakteknya, Jika haid keluar sebelum melakukan thawaf qudum maka wanita yang bersangkutan tidak perlu melakukan. Jika haid keluar sebelum thawaf ifadhah yang jatuh setelah wukuf di Arafah, Maka tindakan yang perlu dilakukan adalah menunggu hingga suci baru kemudian melakukan thawaf. Thawaf ketiga ini adalah rukun sehingga tidak sah hajinya jika ditinggalkan. 

Adapun mengenai thawaf ketiga (thawaf wada'), Para Ulama telah sepakat bahwa Jika haid keluar sebelum thawaf wada', maka wanita boleh meninggalkan thawaf tsb dan langsung menutup ibadah hajinya. Jika setelah thawaf wada' dia masih berada di Mekah dan haidnya  berhenti (suci) maka dia wajib kembali ke Baitullah untuk thawaf. Jika tidak mau melakukan maka kena denda (dam). Semoga bermanfaat.

KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH (Kajian Fiqih seri 55)

_#seri55_ *KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH* Kasus kelima ini adalah kasus pertama dari tiga jenis mutahayirah yang sudah dise...