Minggu, 27 Desember 2020

ISTIHADHAH TIGA DARAH (Kajian Fiqih seri 53)

_#seri53_

*ISTIHADHAH TIGA DARAH*

Maksud dari kasus ini adalah  wanita yang mengalami istihadhah dengan 3 jenis darah yang berbeda & punya tingkatan masing-masing. Yaitu darah kuat atau biasa disebut _al-Qawi_ (hitam), Darah lemah atau _ad-Dhaid_ (merah), dan darah paling lemah atau disebut _al-Adh'af_ (kuning). Bagaimana cara menghukumi istihadhah yang terdapat tiga darah ini?

Menurut madzhab Syafi'i, Dalam kasus istihadhah seperti di atas, maka darah yang dihukumi haid adalah darah kuat _(al-Qawi)_ dan darah lemah _(ad-Dhaif)_ saja. Sementara darah paling rendah _(al-adh'af)_ dihukumi sebagai istihadhah. Imam Khatib as-Syirbini dalam _Mughni al-Muhtaj_ (1/178) mengatakan : 

وإن إجتمع قوي وضعيف وأضعف فالقوي مع ما يناسبهما وهو الضعيف حيض

_"Jika darah kuat berkumpul dengan darah lemah (dhaif) dan yang paling lemah (adh'af) maka darah kuat dan darah yang sesuai yakni darah lemah dihukumi sebagai haid"._

Akan tetapi, Hukum di atas ini berlaku jika mamenag kasus istihadhah  sudah memenuhi tiga syarat berikut : 

1. Darah kuat harus berada di depan. Artinya paling awal keluar & tidak didahului darah lemah

2. Darah kuat & lemah bisa dihukumi haid. Artinya durasi kedua darah tsb jika digabung tidak lebih dari 15 hari 

3. Darah lemah keluar kedua setelah darah kuat. Artinya tidak didahului oleh darah yang paling lemah _(al-adh'af)_

Contoh istihadhah yang memenuhi syarat di atas adalah jika ada wanita istihadhah selama 21 hari. Dimana tujuh hari pertama berupa darah hitam (kuat), kemudian disusul darah merah (lemah) selama 5 hari hingga tanggal 12, dan disusul lagi dengan darah kuning _(adh'af)_ sampai tanggal 21. Maka dalam kasus ini, Yang dihitung haid adalah tanggal 1 sampai 12, alias fase darah kuat (hitam) dan darah lemah _(merah)_ saja. 

Nah, Bagaimana jika kasus istihadhah tidak memenuhi syarat di atas? Jika tidak memenuhi syarat, maka yang dihitung haid hanyalah darah kuat saja. Sementara untuk darah lemah _(dhaif)_ dan darah paling lemah _(adh'af)_ dihukumi sebagai istihadhah.  Contoh: Darah yang keluar pertama berwarna merah,  kemudian disusul darah hitam dan kuning. Dalam kasus ini yang dihitung haid adalah darah kuat saja (hitam), karena tidak memenuhi syarat pertama. 

Adapun contoh kasus yang tidak memenuhi syarat kedua : Istihadhah 21 hari, dimana 8 hari pertama berupa darah kuat _(hitam),_ kemudian disusul darah merah 9 hari dan ditutup darah kuning _(adh'af)._ Dalam kasus ini yang dihitung haid hanya darah kuat saja _(hitam)_ karena kasusnya tidak memenuhi syarat kedu, yaitu darah kuat & lemah tidak boleh melebihi 15 hari sehingga memungkinkan dihukumi haid. 

Contoh lagi kasus yang tidak memenuhi syarat ketiga: Istihadhah 20 hari. Dimana 6 hari pertama berupa darah hitam (kuat), kemudian disusul darah kuning _(adh'af)_ selama 8 hari, dan ditutup dengan darah merah (dhaif/lemah) selama 6 hari. Dalam kasus ini, yang dihitung haid juga hanya darah kuat. Karena kasusnya tidak memenuhi syarat ketiga, yaitu darah yang kedua setelah darah kuat harus berupa darah dhaif _(lemah),_ bukan yang adh'af _(paling lemah)._

Jumat, 25 Desember 2020

STANDAR ADAT DALAM KASUS MU'TADAH (Kajian Fiqih seri 52)

#seri52

_- STANDAR ADAT DALAM KASUS MU'TADAH -_ 

Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa adat atau kebiasaan haid seorang wanita menjadi sangat penting dalam masalah istihadhah. khususnya dalam kasus istihadhah mu'tadah ghairu mumayizah (kasus 4).  Hal ini Karena adat / kebiasaan haid tsb akan menjadi acuan hukum untuk menentukan seberapa lama durasi haid dan istihadhah terjadi. Nah apa yang dimaksud dengan adat dalam masalah ini?  

Secara umum, Adat yang dimaksud di sini adalah kebiasaan haid yang dialami wanita setiap datang bulan. Semisal jika wanita biasa haid 5 hari setiap bulan, maka adat haidnya adalah 5 hari tsb.  Sehingga jika dia mengalami istihadhah dan kasusnya adalah ghairu munayizah, maka yang dihitung haid adalah 5 hari sebagaimana kebiasaan sebelumnya. Masalahnya adalah bagaimana jika kebiasaan haid  tsb berubah-ubah dari satu bulan ke bulan berikutnya?

Contohnya: Pada bulan pertama ada wanita haid selama 5 hari, kemudian pada bulan kedua dia haid selama 6 hari, lalu di bulan ketiga dia haid lagi selama 7 hari.   Nah begitu masuk bulan keempat, wanita tsb mendadak mengalami istihadhah ghairu mumayizah. Dalam kasus ini mana kebiasaan haid yang dianggap adat dan harus digunakan untuk menghukumi kasus istihadhah? 

Menurut madzhab Syafi'i, Adat yang digunakan dalam kasus di atas adalah kebiasaan di bulan terakhir sebelum terjadinya istihadhah. Yaitu haid yang terjadi pada bulan ketiga (7 hari). Alasannya, Sebab adat di bulan ketiga tsb adalah yang paling dekat waktunya dengan istihadhah. Imam Abu Ishaq as-Syairazi (476 H) mengatakan dalam Al-Muhaddzab (2/447) : 

ويجوز أن تنتقل العادة فتتقدم وتتأخر ، وتزيد وتنقص، وترد إلى أخر ما رأت من ذلك ، لإن ذلك أقرب إلى شهر الإستحاضة

"Adat (haid) bisa berpindah-pindah, maju atau munudur, kurang atau lebih. Dan harus dikembalikan pada saat terakhir haid. Sebab itu-lah yang paling mendekati periode haid". 

Mungkin ada yang bertanya: Bagaimana jika kebiasaan haid yang dialami wanita sudah berlangsung berbulan-bulan dan durasinya ajeg, kemudian pada satu waktu berubah sekali. Misal selama 6 bulan haidnya adalah 6 hari, lalu pada bulan ketujuh berubah menjadi 7 harim  Manakah dari keduanya yang digunakan sebagai adat untuk menghukumi istihadhah?

Jawabannya, Acuan adat yang digunakan tetap merujuk pada bulan terakhir sebelum istihadhah. Meskipun di bulan-bulan sebelumnya kebiasaan haidnya cenderung ajeg dan tidak berubah-ubah. Hal ini karena menurut Qaul Ashah, Adat itu bisa ditentukan hanya dengan sekali kejadian saja. Alias tidak harus berulang-ulang selama beberapa bulan. Imam Abu Ishaq as-Syairazi (476 H) mengatakan dalam Al-Muhadzab (2/442) : 

وتثبت العادة بمرة واحدة ، فإذا حاضت في شهر خمسة أيام ثم أستحيضت في شهر بعده ردت إلى الخمسة 

"Adat bisa ditetapkan hanya dengan satu kali kejadian. Maka jika ada wanita haid selama 5 hari, kemudian bulan berikutnya mengalami istihadhah maka haidnya mengikuti 5 hari sesuai bulan sebelumnya". 

Perlu dicatat, bahwa meski dalam kasus ini adat bisa ditetapkan hanya dengan sekali kejadian, Namun pada beberapa kasus dia harus berulang dua kali putaran. Tepatnya adalah dalam kasus adat yang berlangsung berurutan dan beda-beda durasinya.  Contoh  Pada bulan 1 haid 3 hari, Bulan 2 haid 5 hari, bulan 3 haid 7 hari, kemudian berulang seperti awal : bulan 4 haid 3 hari, Bulan 5 haid 5 hari, bulan 6 haid 7 hari.  Nah, Pada begitu masuk hukan ketujuh dia mengalami istihadhah ghairu mumayizah. 

Dalam kasus di atas, Durasi haid selama 6 bulan sebelum istihadhah bisa dijadikan adat karena berlangsung 2 putaran. Dengan demikian, Istihadhah bulan 7 haidnya adalah 7 hari. Pada bulan 8 haidnya adalah 5 hari. Dan jika masih istihadhah di bulan 9 maka haidnya adalah 7 hari. (Sesuai urutan) Dengan kata lain, Kebiasaan haid pada 6 bulan sebelumnya (3+5+7) bisa dijadikan adat karena sudah berlangsung 2 putaran. 

Sebaliknha Jika kebiasaan seperri di atas (3 bulan) tidak berlangsung dua putaran atau berlangsung 2 putaran namun dia lupa urutan darahnya, maka standar adat yang digunakan adalah adat bulan terakhir sebelum dia istihadhah. Contohnya semisal pada bulan keempat dia langsung istihadhah, maka dalam kasus ini adatnya mengikuti bulan ketiga saja (bulan terakhir). Imam as-Syirbini mengatakan dalam Mughni al-Muhtaj (179) : 

فلو لم تدر الدور الثاني على النظم السابق ، كأن أستحيضت في الشهر الرابع ردت إلى السبعة لا إلى العادات السابقة

"Jika siklus adat tidak terjadi dua putaran sesuai urutan (3-5-6), Semisal dia sudah istihadhah di bulan 4, maka adatnya dikembalikan bulan sebelumya (bulan 3=7 hari).

Rabu, 23 Desember 2020

KASUS KEEMPAT : MU'TADAH GHAIRU MUMAYYIZAH (Kajian Fiqih Seri 51)

#seri51

- KASUS KEEMPAT : MU'TADAH GHAIRU MUMAYYIZAH

Kasus keempat ini hampir mirip dengan kasus ketiga. Yaitu istihadhah yang terjadi pada wanita yang terbiasa haid dan punya riwayat datang bulan (mu'tadah). Bedanya dalam kasus keempat ini darah yang keluar hanya terdiri satu warna (sifat). Atau terdiri dari beberapa warna, namun tidak memenuhi syarat tamyiz.  Contoh: Wanita yang istihadhah selama 19 hari, dimana semua darahnya berwarna merah. Atau 16 hari berwarna hitam dan 3 hari berwarna merah. 

Hukum : Dalam kasus istihadhah mu'tadah ghairu mumayizah seperti ini, Hukumnya mengacu kepada adat atau kebiasaan haid sebelumnya. Artinya jika haid bulan sebelumnya berlangsung 8 hari, maka dalam istihadhah kali ini haidnya juga 8 hari. Sementara hari sisanya dihukumi suci (istihadhah). 

Sebagai contoh: Jika ada wanita di bulan 4 mengalami haid 8 hari. Kemudian saat bulan 5 dia mengeluarkan darah hingga 20 hari dan memenuhi syarat ghairu mumayizah, maka pada bulan 5 ini haidnya hanya dihitung 8 hari saja. Sementara sisanya dihukumi suci (istihadhah) dan wajib melakukan shalat seperti biasanya. Dengan kata lain dalam kasus keempat ini perbedaan warna darah tidak diperhitungkan dalam menentukan durasi haid & istihadhah. 

Mungkin anda bertanya: Mengapa dalam kasus ini mengacu pada hukum adat, Dan mengapa tidak mengacu pada perbedaan warna darah (tamyiz) sebagaimana kasus sebelumnya? Jawabannya, Sebab dalam kasus keempat ini kita tidak mungkin bisa menerapkan hukum tamyiz dikarenakan syaratnya tidak terpenuhi.  Oleh sebab itu, alternatifnya adalah dengan mengacu pada adat (kebiasaan haid sebelumnya). 

Prosedur : Kasus keempat ini proseduranya kurang lebih sama dengan kasus sebelumnya. Yaitu harus menunggu dan memastikan dulu apakah haidnya melebihi 15 hari atau tidak.  Jika tidak maka semua hukumnya haid. Namun jika melebihi maka hukumnya adalah istihadhah yang bercampur haid. Berhubung kasusnya ghairu mumayizah, maka haidnya mengikuti adat sebelumnya.  Sementara sisanya dihukumi suci (istihadhah). 

Prosedur di atas ini berlaku untuk bulan pertama kali saja. Pada bulan berikutnya, Jika haidnya sudah melebihi adat kebiasaan maka segera saja mandi karena sudah dihukumi istihadhah.  Artinya dia tidak perlu lagi menunggu hingga tanggal 15 seperti pada bulan sebelumnya, karena pada dasarnya istihadhah adalah penyakit dan akan terus menerus terjadi. Nah, apabila kemudian darahnya justru berhenti sebelum tanggal 15, maka status istihadhah-nya gugur dan semuanya menjadi haid.

Selasa, 22 Desember 2020

KASUS KETIGA : MU'TADAH MUMAYIZAH (Kajian Fiqih Seri 50)

#seri50

- KASUS KETIGA : MU'TADAH MUMAYIZAH

Kasus ketiga ini hanya terjadi pada wanita yang sudah terbiasa haid dan punya riwayat datang bulan (mu'tadah), Dan saat mengalami istihadhah darahnya bisa dibedakan kuat lemahnya (mumayizah). Kasus ini terjadi bila istihadhah terdiri minimal dua warna dan memenuhi syarat tamyiz seperti dalam kasus pertama. Contoh : Wanita istihadhah selama 20 hari, dimana 7 hari pertama berupa darah kuat (hitam), dan sisanya berupa darah lemah (merah). 

Hukum : Dalam kasus istihadhah ketiga ini (mu'tadah mumayyizah) maka hukumnya mengacu pada perbedaan kekuatan darah (tamyiz).  Artinya darah yang kuat dihukumi sebagai haid, Sementara darah yang lemah dihukumi istihadhah.  Hukum ini berlaku jika memanv kasus istihadhah sudah memenuhi syarat tamyiz. Jika tidak memenuhi syarat, maka hukumnya beralih ke kasus keempat (ghairu mumayizah).  

Ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam kasus ini --selain harus memenuhi syarat tamyiz, yaitu:  Dalam proses istihadhah yang berlangsung tidak boleh ada jeda minimal 15 hari (aqallu tuhri) antara adat kebiasaan haidnya dengan keluarnya darah kuat. Jika terjadi jeda 15 hari, maka harus mengamalkan dua hal sekaligus. Yaitu hukum adat dan tamyiz. 

Prakteknya sebagai berikut : Ada seorang wanita punya kebiasaan haid 5 hari pertama setiap bulan. Nah pada bulan tertentu dia mengeluarkan darah selama 25 hari.  Dimana 20 hari pertama darah berwarna merah, dan 5 hari terakhir berwarna hitam (darah kuat).  Dalam kasus ini, maka 5 hari pertama dihukumi haid berdasarkan kebiasaannya. Dan 5 hari terakhir saat darah hitam dihukumi haid baru berdasarkan tamyiz karena berupa darah kuat. Sementara jeda 15 hari antara keduanya dihukumi suci/istihadhah. 

Prosedur : Jika kasus mu'tadah mumayizah ini baru pertama kali terjadi, maka hendaknya wanita menunggu dulu untuk memastikan apakah haidnya akan melebihi 15 hari atau tidak?  Jika ternyata tidak lebih 15 hari maka semuanya dihukumi haid. Namun jika darah tsb melebihi 15 hari maka hukumnya adalah istihadhah. Segeralah mandi dan melakukan sholat seperti biasa. 

Nah berhubung status istihadhah-nya adalah mumayyizah (ada darah kuat dan lemah) maka yang dihukumi haid adalah saat darah kuat saja. Sementara saat darah lemah hukumnya adalah istihadhah. Oleh sebab itu dia wajib menqadha' sholat yang ditinggalkan saat fase darah lemah/fase istihadhah. Sementara sholat di fase darah kuat tidak wajib diqadha' karena statusnya saat itu adalah haid.  

Untuk bulan² berikutnya, Jika dia haid lagi dan mengalami perpindahan  warna dari darah kuat ke daeah lemah, maka segeralah mandi karena sudah bisa dihukumi istihadhah.  Artinya dia tidak perlu lagi menunggu dan memastikan darahnya melebihi 15 hari seperti pada bulan sebelumnya.  Nah, jika ternyata  bulan ini darahnya berhenti sebelum hari 15, maka status istihadhah-nya gugur dan semuanya dihukumi haid.

Senin, 21 Desember 2020

STANDAR KUAT LEMAHNYA DARAH DALAM ISTIHADHAH (Kajian Fiqih Seri 49)

#seri49

- STANDAR KUAT LEMAHNYA DARAH DALAM ISTIHADHAH

Sebelumnya dijelaskan bahwa kasus istihadhah pada bab sebelumnya hukumnya mengacu pada perbedaan kuat lemahnya darah (tamyiz). Sehingga mana darah yang kuat akan dihukumi haid, dan mana darah yang lemah akan dihukumi istihadhah. Nah, Bagaimana cara mengetahui darah kuat atau lemah serta apa standarnya? Berikut penjelasannya. 

Dalam madzhab Syafi'i, Jenis darah istihadhah ini dibagi menjadi lima (5) : 

1. Hitam (أسود)
2. Merah (أحمر)
3. Pirang (أشقر)
4. Kuning (أصفر)
5. Keruh (أكدر) 

Kelima warna darah ini punya kedudukan & kekuatan masing².  Darah yang dianggap paling kuat adalah yang pertama (hitam), disusul darah merah, pirang, kuning, dan keruh sesuai urutannya. Masing² darah di atas juga dinilai lebih kuat dibanding darah di bawahnya.  Contoh darah hitam, dia dinilai lebih kuat daripada merah, Demikian darah merah juga dinilai lebih kuat dari pada kuning, dan setersunya.  

Selain dari sisi warna, kuat lemahnya darah juga ditinjau dari sisi aroma dan tekstur.  Darah yang punya aroma menusuk (bau) lebih kuat dibanding darah yang tidak punya aroma sama sekali. Demikian juga darah yang bertekstur kental (padat), lebih kuat dibanding darah yang biasa.   Contoh: Darah hitam yang berbau atau kental lebih kuat dibanding darah hitam yang tdk beraroma dan tidak kental.  Hal yang sama berlaku pada warna lainnya. 

Alhasil, Ada 3 sifat yang menjadi acuan penilaian kuat tidaknya darah. Yakni warna, tekstur, dan bau. Darah yang punya tiga sifat ini maka lebih kuat dibanding darah yang hanya punya dua sifat saja. Demikian juga darah yang punya dua sifat (warna+aroma) lebih kuat dibanding darah yang hanya punya satu sifat saja.. Contoh: Darah hitam yang berbau & kental (tiga sifat) lebih kuat dibanding darah hitam yang kental namun tidak berbau, atau berbau namun tidak kental (dua sifat).

Kamis, 17 Desember 2020

KASUS KEDUA : MUBTADIAH GHAIRU MUMAYIZAH (Kajian Fiqih Seri 48)

#seri48

- KASUS KEDUA : MUBTADIAH GHAIRU MUMAYIZAH

Kasus kedua ini hampir mirip dengan kasus pertama. Yaitu hanya terjadi pada wanita yang baru pertama kali haid (mubtadiah). Bedanya kali ini darah yang keluar terdiri satu warna saja (misal merah/hitam). Atau terdiri dari 2 warna, namun tidak memenuhi syarat mumayizah pada kasus pertama. 

Hukum :  Dalam kasus kedua ini, Haidnya adalah 24 jam (sehari semalam). Sementara hari yang tersisa (29 hari) adalah istihadhah dan dihukumi suci. Jadi, Jika ada wanita mubtadiah mengalami haid selama 17 hari dan darahnya hanya satu warna (tidak berubah) maka yang dihukumi haid adalah hari pertama saja. Sementara hari berikutnya hingga genap satu bulan dihukumi suci/istihadhah. 

Hukum ini berlaku, baik darah yang keluar satu warna (sifatin wahidah), atau dua warna namun tidak memenuhi syarat mumayizah. Dengan kata lain, Kasus pertama yang tidak memenuhi syarat akan masuk pada kasus kedua ini. Seperti jika darah kuatnya tidak mencapai 24 jam, atau justru lebih dari 15 hari. Atau darah lemahnya terjeda oleh darah kuat (tidak muttashil), maka semua hukumnya menjadi ghairu mumayizah. 

Prosedur : Pada kasus kedua ini, Prosedur yang harus dilakukan wanita kurang lebih sama dengan kasus sebelumnya. Yakni menunggu dulu sampai tanggal 15. Bila darah tidak berhenti, maka statusnya adalah istihadhah. Nah, Jika warna darah tidak berubah maka segera-lah mandi dan sholat seperti biasa karena sudah bisa dipastikan status istihadhahnya ghairu mumayizah. Begitu pula jika warna darah berubah lemah (dari hitam ke merah). 

Namun, Jika setelah 15 hari darahnya berubah warna menjadi lebih kuat, semisal berubah dari merah ke hitam, maka hendaknya dia bersabar dulu untuk memastikan apakah ke depan darah hitam ini akan melebihi 15 hari atau tidak. Jika tidak lebih 15 hari, maka darah hitam ini adalah haid. Sementara darah merah sebelumnya adalah istihadhah. Dengan kata lain, Kasus Ini bukan-lah istihadhah ghairu mumayizah, namun tergolong mumayizah (kasus pertama). 

Perlu dicatat, Bahwa prosedur di atas (menunggu 15 hari) hanya berlaku pada bulan pertama saja.  Untuk bulan berikutnya, Begitu dia haid lagi dan sudah mencapai 1 hari (24 jam), maka segeralah mandi dan sholat seperti biasa. Hal ini karena hari kedua dihukumi istihadhah mengacu pada bulan sebelumnya. Nah, Apabila kemudian haidnya tidak melebihi 15 hari, maka bisa dipastikan tidak ada istihadhah. Sehingga semuanya dihukumi haid.

Rabu, 16 Desember 2020

KASUS PERTAMA : MUBTADIAH MUMAYYIZAH (Kajian Fiqih Seri 47)

#seri47

- KASUS PERTAMA : MUBTADIAH MUMAYYIZAH

Kasus istihadhah yang pertama ini terjadi pada wanita yang baru pertama kali haid (mubtadiah). Dan darah yang keluar terdiri dari minimal 2 warna sehingga bisa dibedakan kuat dan lemahnya (mumayizah).  Semisal jika ada wanita mengalami haid pertama kali selama 18 hari,  dengan rincian 10 hari berupa darah hitam dan 8 hari kemudian berupa darah merah, maka wanita ini disebut mubtadiah mumayizah. 

Hukum : Dalam kasus ini hukumnya adalah: Darah yang kuat (hitam) dihukumi sebagai haid. Sementara darah yang lemah (merah) dihukumi sebagai istihadhah. Jadi, Untuk 10 hari pertama (fase darah kuat) statusnya adalah hadats besar. Sementara 8 hari berikutnya (fase darah lemah) adalah suci.  Dengan kata lain, Standar hukum yang dipakai dalam kasus ini adalah at-Tamyiz atau perbedaan kekuatan darah. Darah yang kuat dihukumi haid, dan darah yang lemah dihukumi istihadhah. 

Prosedur : Barangkali ada yang bertanya: "Bagaimana cara mubtadiah menerapkan hukum di atas, Sementara saat haid berlangsung dia sendiri belum tahu apakah haidnya nanti melebihi 15 hari atau justru kurang? 

Begini : Untuk bulan pertama yakni saat haid baru keluar, maka dia harus menunggu dulu selama 15 hari ke depan. Dalam 15 hari ini statusnya adalah haid, sehingga harus meninggalkan shalat, puasa, dan larangan lainnya. Tujuan menunngu ini adalah untuk memastikan apakah darahnya akan melebihi 15 hari sehingga hukumnya berubah istihadhah. Atau justru berhenti pada tanggal sebelumnya sehingga hukum tetap haid. 

Nah, Jika ternyata darah lebih 15 hari, maka bisa dipastikan statusnya adalah istihadhah.  Berhubung yang  bersangkutan statusnya mubtadiah mumayizah, maka hukumnya adalah darah kuat (hitam) sebagai haid. Sementara darah lemah (merah) adalah istihadhah.  Maka dari itu, Nantinya dia wajib menqadha' shalat yang berada di fase darah lemah (istihadhah). Sementara untuk fase darah kuat tidak wajib diqadha' karena statusnya adalah haid. 

Prosedur di atas ini (menunggu 15 hari) berlaku pada bulan pertama saja alias saat haid/istihadhah pertama kali. Pada bulan berikutnya, Jika darah haidnya berubah warna, maka dia langsung saja mandi dan melakukan shalat. Karena sudah bisa diketahui bahwa perubahan warna darah yang dialami menunjukkan darah tsb adalah istihadhah. Maka statusnya dianggap suci tanpa menunggu 15 hari berikutnya sebagaimana di bulan sebelumnya.

Yang perlu diperhatikan dalam kasus mubtadiah mumayizah ini adalah: Pemberlakuan hukum tamyiz di atas (darah kuat haid + darah lemah istihadhah) harus memenuhi 4 syarat. Artinya jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka kasus tsb berubah menjadi ghairu mumayizah (kasus kedua).  Dan hukumnya juga berubah. Ke empat syarat tsb adalah sebagai berikut :

1. Darah kuat (hitam) mencapai 24 jam (durasi minimal haid)

2. Darah kuat tidak lebih dari 15 hari (durasi maksimal haid)

3. Darah lemah (merah) keluar secara berturut-turut (tidak terjeda oleh darah kuat)

4. Darah lemah (merah) tidak kurang dari 15 hari. (syarat ketiga ini hanya berlaku jika darah lemah berlangsung terus menerus/istimrar. Jika darah merah disusul suci, maka tidak wajib mencapai 15 hari). 

Pengecualian : Keempat syarat di atas harus diperhatikan sebelum memutuskan apakah mubtadiah bisa dihukumi mumayyizah atau tidak. Sebab jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka hukum mumayyizah gugur. Dan harus menggunakan hukum ghairu mumayizah (akan kami jelaskan pada seri berikutnya). 

Berikut contoh kasus yang tidak memenuhi syarat² di atas: (1) : Haid berlangsung 17 hari, namun darah kuat (hitam) hanya berlangsung 12 jam.  (2) Haid selama 19 hari, namun darah kuat berlangsung 16 hari. (3) Haid selama 20 hari, Namun saat darah lemah terpisah/terjeda darah kuat [lemah-kuat-lemah].  (4) haid 25 hari, 1 hari pertama darah kuat, disusul darah lemah 13 hari, lalu disusul darah kuat.

Minggu, 13 Desember 2020

PEMBAGIAN KASUS DALAM ISTIHADHAH (Kajian Fiqih Seri 46)

#seri46

- PEMBAGIAN KASUS DALAM ISTIHADHAH

Oleh : Makhin Ahmad

Para Ulama madzhab syafi'i membagi kasus istihadhah menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok punya hukum dan cara pengelolaan masing². Pembagian ini didasarkan pada dua hal. Yaitu status wanita yang mengalami istihadhah (pelaku) dan kondisi darah yang mengalir.  

Mengenai pelaku ini dibagi dua, yakni mubtadiah (wanita yang baru pertama kali haid) dan mu'tadah (wanita yang sudah terbiasa haid). Sementara dari sisi darah juga dibagi menjadi dua, yaitu mumayizah (darahnya bisa dibedakan warnanya) dan ghairu mumayizah (darahnya tidak bisa dibedakan). 

Nah dari dua hal di atas, Istihadhah kemudian dibagi lagi sehingga total jumlahnya menjadi 7 kasus sebagai berikut: 

1. Mubtadiah Mumayizah (مبتدأة مميزة)

Yaitu kasus istihadhah yang dialami perempuan yang baru pertama kali haid (disebut:mubtadiah) dan darah yang keluar bisa dibedakan berdasarkan kuat lemahnya (disebut:mumayizah). 

Kasus pertama ini bisa  terjadi bila wanita yang bersangkutan belum pernah haid dan suci sebelumnya. Lalu saat haid pertama, darah keluar lebih 15 hari dan darahnya terdiri minimal dari dua warna (hitam dan merah).

2. Mubtadiah Ghairu Mumayizah (مبتدأة غير مميزة)

Yaitu kasus istihadhah yang dialami perempuan yang baru pertama kali haid (disebut: mubtadiah) dan darahnya tidak bisa dibedakan berdasarkan kuat lemahnya (disebut: ghairu mumayizah).  

Kasus kedua ini mirip dengan kasus pertama. Hanya saja darah yang keluar terdiri dari satu warna, atau terdapat 2 warna namun kasusnya tidak memenuhi syarat.

3. Mu'tadah Mumayyizah (معتادة مميزة)

Yaitu darah yang keluar dari wanita yang pernah haid/suci (disebut: mu'tadah), Dan darahnya bisa dibedakan berdasarkan kuat dan lemah (disebut: Mumayizah). 

Kasus ketiga ini bisa terjadi jika wanita yang mengalami istihadhah sudah terbiasa haid. Dan ketika istihadhah, Darahnya terdiri minimal 2 warna sehingga bisa dibedakan kuat dan lemahnya.

4. Mu'tadah Ghairu Mumayazah (معتادة غبر مميزة)

Yaitu darah yang keluar dari wanita yang pernah haid/suci (disebut: mu'tadah), Namun darahnya tidak bisa dibedakan kuat lemahnya (disebut: ghairu mumayizah). 

Kasus ini mirip dengan kasus ketiga. Hanya saja perbedaanya, Darah yang keluar hanya terdiri dari satu warna. Atau terdiri dari beberapa warna namun tidak memenuhi syarat. 

5. Mutahayyirah (متحيرة)

Arti Mutahayyirah ini secara bahasa adalah orang bingung. Karena wanita tsb lupa riwayat haid bulan sebelumnya. Sehingga saat terjadi istihadhah, Dia kebingungan dalam menentukan hukumbya. . 

Kasus Mutahayyirah ini terbagi menjadi tiga (3) dan masing² punya hukum yang berbeda: 

1. Mu’tadah ghairu mumayyizah nasiyah li adatiha qadran wa waqtan

Maksudnya adalah Wanita yang pernah/terbiasa haid dan suci (disebut: mu'tadah), Namun ketika terjadi istihadhah, dia lupa tanggal mulai haid di bulan sebelumnya dan durasinya. 

2. Mu’tadah ghairu mumayyizah nasiyah li adatiha  waqtan la qadran

Maksudnya adalah Wanita yang pernah/terbiasa haid dan suci (disebut: mu'tadah), Ketika istihadhah terjadi, dia lupa tanggal mulai haid di bulan sebelumnya namun masih ingat berapa lama durasinya.

3. Mu’tadah ghairu mumayyizah nasiyah li adatiha  qadran la waqtan.

Maksudnya adalah Wanita yang pernah haid dan suci (disebut: mu'tadah), Ketika istihadhah terjadi, dia lupa berapa hari haid di bulan sebelumnya, namun masih ingat tanggal mulai haidnya.

Dari penjelasan di atas, bisa dipahami bahwa kasus mutahayyirah  (nomor 5 - 7) hanya terjadi pada orang yang sudah pernah haid saja alias bukan pemula (mubtadiah), Dan darahnya tidak bisa dibedakan berdasarkan warna (ghairu mumayizah). Adapun faktor terjadinya mutahayyiroh ini biasanya karena seorang wanita tidak disiplin dalam mencatat haidnya. 

Perlu digaris bawahi bahwa tujuh kasus yang sudah disebutkan di atas ini mempunyai hukum yang berbeda-beda. Sebagian ada yang mengikuti standar tamyiz (perbedaan warna), Dan sebagian lagi menggunakan standar adat (riwayat haid bulan sebelumnya). Kemudian dalam implementasinya juga mempunyai syarat dan kriteria tertentu yang akan kami bahas pada bab selanjutnya.

Kamis, 10 Desember 2020

DASAR HUKUM DALAM ISTIHADHAH (Kajian Fiqih Seri 45)

#Seri 45

- DASAR HUKUM DALAM ISTIHADHAH

Sebenarnya tujuan utama dan paling mendasar dalam mengkaji istihadhah adalah bagaimana agar kita bisa mengetahui durasi masing² haid dan istihadhah yang sedang berlangsung. Dari situ kita bisa mengetahui status kita apakah suci atau tidak, serta hal lain seperti sholat puasa dan yang berkaitan dengan istihadhah dan haid. 

Untuk memudahkan hal  ini, Para Fuqaha' merumuskan beberapa kaidah  dan standar hukum istihadhah berdasarkan jenisnya masing².  Kaidah dan standar ini bisa menjadi alternatif bagi kita agar lebih mudah di dalam menguraikan dan memahami persoalan istihadhah sebagaimana mestinya. 

Secara garis besar kasus² dalam istihadhah hukumnya mengacu dan mengikat pada salah satu dari 2 (dua) hal. Yakni at-Tamyiz dan al-'adat.  Kedua hal ini menjadi standar dan patokan dalam menghukumi status istihadhah yang bercampur haid. Berapa durasi haidnya, berapa durasi istihadhah-nya, dan langkah apa saja yang harus dilakukan. 

Dua standar ini (tamyiz & adat) merupakan metodologi dasar istihadhah yang khas dalam madzhab Syafi'i, dimana hal tsb tidak digunakan dalam madzhab lain seperti Hanafi dan Maliki. Dalam Majmu' Fatawi (21/629), Ibnu Taimiyah mengatakan : 

أبو حنيفة لم يعتبر التمييز كما أن مالكا لم يعتبر العادة ، لكن الشافعي وآحمد يعتبران هذا وهذا 

"Abu Hanifah tidak menggunakan tamyiz, Sebagaimana Malik juga tidak memakai adat, Namun Syafi'i dan Ahmad menggunakan keduanya (tamyiz & adat). 

Nah, Apa maksud dari at-tamyiz dan al-adat ini? Begini penjelasannya : 

Standar pertama : at-Tamyiz (perbedaan warna darah). Maksudnya adalah perbedaan warna darah yang berlangsung menjadi patokan dalam menentukan durasi haid dan istihadhah. Prakteknya darah yang kuat (misal berwarna hitam) akan dihukumi haid, Sementara darah yang lemah (berwarna merah) dihukumi istihadhah. 

Standar tamyiz ini berlaku bila darah yang mengalir selama istihadhah terdiri dari minimal dua warna dan harus memenuhi syarat²nya. Jika darah yang mengalir hanya satu warna, atau dua warna namun tidak memenuhi syarat maka standar tamyiz tidak berlaku dan harus menggunakan standar lain. 

Dasar dari standar ini adalah hadits Ummu Habibah bint Jahsy yang bertanya kepada Nabi soal istihadhah. Lalu Nabi SAW mengatakan : 

فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة ، وإذا أدبرت فاغتسلي وصلي 

"Jika haid datang tinggalkanlah sholat, Dan jika sudah berpaling mandi-lah dan shalat-lah. 

Imam Ar-Ruyani dalam Bahrul Madzhab (1/314) menjelaskan bahwa tidak mungkin Nabi SAW mengatakan demikian kecuali jika dia (penanya) mengetahui datang dan perginya haid berdasarkan alamat tertentu. Artinya, Dia mendapati ada darah kuat sebagai tanda datangnya haid,  dan darah lemah sebagai tandai berpalingnya haid. 

Standar kedua : adalah 'Adat (riwayat haid bulan sebelumnya). Maksud standar ini adalah riwayat haid pada bulan² sebelumnya digunakan untuk menghukumi haid dan istihadhah yang sedang terjadi.  Semisal bulan ini dia mengeluarkan darah selama 20 hari, maka untuk mengetahui jumlah haid dan istihadahnya cukup dengan mengikuti jumlah haid pada bulan² sebelumnya (adat). 

Standar adat ini bisa berlaku jika memang hukum tamyiz tidak bisa diterapkan. Yaitu ketika istihadhah yang berlangsung hanya terdiri satu warna, atau terdiri dari beberapa warna namun tidak memenuhi syarat tamyiz. Atau disebut juga dengan istilah mu'tadah ghairu mumayyizah. 

Dasar dari standar kedua ini, menurut Imam Ar-Ruyani adalah hadits dari Ummu Salamah yang bertanya kepada Nabi SAW tentang persoalan istihadhah wanita yang berlarut-larut. Kata Nabi : 

لتنظر عدد الليالي والأيام التي كانت تحيضهن من الشهر قبل أن يصيبها الذي أصابها 

"Lihatlah jumlah hari dan malam pada bulan sebelumnya saat dia haid sebelum haid yang sekarang. 

Nah, mengenai implementasi dua standar hukum tsb pada kasus² istihadhah, para Ulama sudah menentukan aturan mainnya. Salah satunya mengenai posisi dan urutan masing².  Mayoritas Ulama madzhab Syafi'i berpandangan bahwa standar pertama (tamyiz) harus didahulukan daripada yang kedua ('adat) selama hal itu memungkinkan. Artinya, Tidak boleh kita mengacu pada adat selama pendekatan tamyiz masih memungkinkan. 

Sebagai contoh, Jika kasus istihadhah yang kita alami bisa dibedakan warnanya, maka penentuan haid dan istihadhahnya harus menggunakan standar tamyiz (perbedaan warna). Artinya, Darah yang kuat dihukumi haid, Sementara yang lemah dihukumi istihadhah. Dalam hal ini para Ulama merumuskan sebuah kaidah yang berbunyi :

التمييز مقدم على العادة

"Perbedaan darah lebih diutamakan dari adat (riwayat)"

Adapun rinciannya, hukum tamyiz ini berlaku dalam kasus² istihadhah mumayyizah, baik yang mubtadi'ah atau mu'tadah. Keduanya menggunakan standar "tamyiz" dengan kriteria dan syaratnya. Sementara hukum  adat  berlaku pada kasus istihadhah yang darahnya tidak bisa dibedakan (ghairu mumayizah). Seperti dalam kasus istihadhah yang hanya satu warna saja. Semoga bermanfaat

Minggu, 06 Desember 2020

PERBEDAAN ISTIHADHAH DAN DAM FASAD (DARAH RUSAK) (Kajian Fiqih Seri 44)

#seri44

- PERBEDAAN ISTIHADHAH DAN DAM FASAD (DARAH RUSAK)

Dalam kitab-kitab fiqih madzhab Syafi'i, Ada istilah darah yang sering disandingkan dengan istihadhah, yaitu yang dikenal dengan dam fasad (darah rusak). Istilah ini sering membuat orang bingung dan bertanya-tanya, Apa perbedaan dan juga hubungannya dengan istihadhah?

Dam fasad atau darah rusak adalah istilah yang digunakan oleh sebagian Ulama untuk menyebut kasus² tertentu. Seperti kasus darah yang keluar sebelum wanita berusia 9 tahun, atau setelah usia 62 tahun. Istilah ini juga digunakan untuk menyebut darah yang keluar dari wanita dewasa namun tidak mencapai 24 jam (batas minimal haid). Diantara Ulama yang menggunakan istilah ini adalah Imam Mawardi (450 H) dalam Al-Hawi.

Dalam ketiga kasus di atas, Para Ulama tidak menggunakan istilah istihadhah dengan alasan darahnya tidak keluar setelah haid (ittishal). Menurut mereka istilah istihadhah ini hanya diperuntukkan untuk darah yang bersambung dengan haid saja. Adapun jika darah tidak bersambung haid maka tidak bisa disebut istihadhah. Dan sebagai gantinya dia disebut dam fasad (darah rusak). 

Di sisi lain, Menurut mayoritas Ulama, Tidak ada perbedaan² seperti di atas. Semua darah yang tidak memenuhi syarat haid/nifas maka disebut istihadhah. Baik darah tsb bersambung dengan haid atau tidak.  Imam Nawawi (676 H) dalam Tahdzibul Asma' wa allughat (3/78) berkomentar bahwa pendapat kedua inilah yang benar (shahih) dan disetujui oleh Imam Syairazi (476 H) dalam al-Muhadzab. 

Masih menurut imam Nawawi, Kelompok kedua ini membagi istihadhah menjadi dua kasus. Pertama: Istihadhah yang bersambung dengan haid, Seperti saat darah haid melampaui 15 hari. Dan yang kedua adalah istihadhah yang tidak bersambung haid. Seperti darah anak-anak atau orang lanjut usia. 

Terlepas dari perbedaan istilah di atas, Perlu digaris bawahi bahwa secara hukum sebenarnya tidak ada perbedaan antara dam fasad dan istihadhah. Keduanya sama-sama dihukumi sebagai hadats kecil. Dan pelakunya dianggap suci.  Perbedaan yang terjadi hanya dalam ranah istilah dan penyebutan saja. Al-Mawardi menyebut darah yang tidak bersambung haid sebagai dam fasad (darah rusak). Sementara Ulama mayoritas menyebutnya istihadhah.

Kamis, 03 Desember 2020

DEFINISI DAN CAKUPAN ISTIHADHAH (Kajian Fiqih Seri 43)

#materi43

- DEFINISI DAN CAKUPAN ISTIHADHAH

Istilah istihadhah muncul pertama kali dalam kitab-kitab hadits. Secara linguistik istilah ini punya akar kata yang sama dengan haid, yakni dari kalimat Hadha (حاض) yang berarti mengalir.  Hanya saja kata istihadhah terdiri 6 huruf dan punya struktur kalimat yang berbeda dengan kalimat haid. Apa pengaruhnya?

Dari sisi morfologis, Perbedaan struktur pada kata istihadhah ini punya makna khusus. Dalam Aun al-Bari (1/323)  dijelaskan makna yang dimaksud adalah تحول (perubahan). Dengan demikian, Istihadhah bisa diartikan sebagai perubahan dalam kasus haid sehingga menjadi di luar kebiasaan dan batasnya. 

Makna linguistik ini selaras dengan terminologi istihadhah secara fiqih. Dalam fiqih, Istihadhah digambarkan sebagai darah haid yang durasinya melebihi batas maksimal. Misalnya, Jika batas maksimal haid adalah 15 hari--sebagaimana dalam madzhab Syafi'i, Kemudian darah yang mengalir melebihi durasi tsb, maka darah ini akan disebut istihadhah.  

Akan tetapi perlu digaris bawahi,   Bahwa kasus Istihadhah tidak terbatas pada kasus haid yang melebihi maksimal saja. Dalam Matan Taqrib, Imam Abu Syuja' mengatakan:

الإستحاضة هو الخارج في غير أيام الحيض والنفاس 

"Istihadhah adalah darah yang keluar di luar waktu haid & nifas". 

Sebagian Ulama menyederhanakan lagi defenisi istihadhah, Bahwa istihadhah adalah darah yang tidak memenuhi syarat & standar haid serta nifas. Dengan kata lain, Jika ada darah keluar dari kemaluan wanita dan tidak bisa dihukumi haid atau nifas, maka otomatis disebut haid. Hal ini karena tidak ada pembagian lagi selain 3 darah ini (Haid, Nifas, Istihadhah). 

Dalam segi cakupannya, darah istihadhah ini mencakup beberapa kasus sebagai berikut :

1. Darah yang keluar sebelum wanita berusia 9 tahun Qomariyah. 

2. Darah yang keluar dari wanita lanjut usia (ayisah) yang berumur lebih dari 62 tahun. 

3. Darah haid yang keluar dari wanita dewasa namun durasinya kurang 24 jam atau justru lebih dari 15 hari. 

4. Darah yang keluar sebelum masa suci setelah haid mencapai 15 hari. 

5. Darah nifas yang melebihi durasi maksimal 60 hari. Maka hukumnya adalah istihadhah. 

6. Kelima kasus di atas ini hukumnya adalah istihadhah karena tidak memenuhi syarat haid dan nifas. Kelima kasus ini juga bisa dikelompokkan lagi menjadi 2 (dua). 

Pertama istihadhah yang tidak bercampur haid, Seperti darah wanita yang masih anak-anak, atau yang sudah lanjut usia. Dan yang kedua adalah Istihadhah yang bercampur haid dan nifas. Yaitu istihadhah yang terjadi setelah masa haid dan nifas. Kasus kedua ini-lah yang barang kali lebih banyak terjadi.

Rabu, 02 Desember 2020

PERBEDAAN HUKUM ANTARA HAID & ISTIHADHAH (Kajian Fiqih Seri 42)

#materi42

- PERBEDAAN HUKUM ANTARA HAID & ISTIHADHAH

Perbedaan kedua antara haid dan istihadhah adalah dari segi hukum dan dampak yang ditimbulkan. Perbedaan ini berangkat dari status masing-masing haid dan istihadhah. Seperti kita tahu, Status wanita yang haid adalah hadats besar, Sementara status orang istihadhah adalah hadats kecil. 

Perbedaan status ini membawa dampak hukum yang cukup signifikan. Sehingga banyak hal yang haram dan dilarang saat haid menjadi tidak dilarang saat istihadhah.  Sebagai contoh adalah dalam ibadah mahdhah seperti sholat.  Bagi orang haid ini diharamkan, baik itu sholat wajib atau sunnah. Sementara bagi orang istihadhah hal ini tidak dilarang.

Hal ini juga berlaku dalam puasa ramadhan dan lainnha. Bagi orang haid hukumnya haram berpuasa, Sementara bagi orang istihadhah hukumnya boleh, bahkan wajib sebagaimana hukum asalnya.  Konskwensinya, Jika saat ramadhan orang haid wajib untuk meninggalkan puasa, Maka bagi orang istihadhah dia tetap wajib melakukan puasa seperti kebanyakan orang lainnya.

Perbedaan hukum ini juga terjadi di luar ibadah mahdhah.  Misalnya dalam urusan rumah tangga. Kita tahu bahwa hukum menggauli wanita (istri) yang sedang haid adalah haram. Namun ini tidak berlaku pada istihadhah. Sehingga menggauli istri saat istihadhah ini boleh dan sah-sah saja. Sekali-pun darah masih mengalir. 

Imam Nawawi (676 H) dalam al-Majmu' Syarh Muhadzab  (2/372) mengatakan : 

يجوز عندنا وطء المستحاضة في الزمان المحكوم بأنه طهر وآن كان الدم جاريا

"Boleh hukumnya menurut kita (madzhab Syafi'i) menggauli istri yang istihadhah di waktu yang statusnya adalah suci. Meskipun darah masih mengalir".

Semua perbedaan di atas ini terjadi disebabkan karena adanya perbedaan  status antara haid dan istihadah. Dimana haid berdampak pada hadats besar bagi orang yang mengalami, Sementara istihadhah tidak.  Oleh sebab itu, Status orang istihadhah dalam hal² yang berkaitan dengan larangan haid dianggap suci.  

Dalam Syarh Shahih Muslim (1/631) Imam Nawawi (676 H) mengatakan : 

وأما الصلاة والصيام والإعتكاف وقرأة القرآن ومس المصحف وحمله وسجود التلاوة وسجود الشكر ووجوب العبادات عليها فهي في كل ذلك كالطاهرة، وهذا مجمع عليه

"Adapun sholat, puasa, i'tikaf, membaca dan memegang Quran, Sujud Tilawah, Sujud Syukur, dan kewajiban² ibadah lainnya, maka status orang istihadhah dalam hal ini seperti orang suci. Dan ini telah disepakati oleh para Ulama". 

Nah selain perbedaan hukum di atas, Terjadi juga perbedaan dalam pengelolaan masing² haid dan istihadhah ini. Seperti kita ketahui, Jika seseorang sudah rampung haidnya, maka dia wajib mandi besar untuk melepas hadatsnya.  Dalam istihadhah ini tidak berlaku. Sebab status orang istihadhah hanya hadats kecil. Sehingga jika mau sholat, dia cukup membersihkan kemaluannya lalu wudhu seperti biasa. 

Di samping itu, Perbedaan lain juga terjadi dalam persoalan batas baligh wanita. Di dalam fiqih, Permulaan baligh wanita ini ditandai dengan haid. Sehingga jika ada wanita berusia 9 tahun, lalu haid maka saat itu juga dia menjadi baligh. Namun jika darah tsb adalah istihadhah, maka wanita tsb tidak bisa dihukumi haid. Sebagai contoh, Wanita berusia 7 tahun mengeluarkan darah maka dia tidak dihukumi baligh karena darahnya adalah istihadhah alias bukan haid.

KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH (Kajian Fiqih seri 55)

_#seri55_ *KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH* Kasus kelima ini adalah kasus pertama dari tiga jenis mutahayirah yang sudah dise...