Jumat, 30 Oktober 2020

HUKUM DZIKIR SAAT HAID (Kajian Fiqih Seri 29)

#materi29

- HUKUM DZIKIR SAAT HAID -

Bagaimana pandangan fiqih mengenai hukum baca dzikir saat haid. Persoalan ini agaknya penting karena banyak para wanita itu punya aurad/dzikir yang sudah didawamkan siang malam. Baik yang tersusun seperti Ratib dan Hizb atau dzikir-dzikir yang umum dibaca setelah shalat. 

Imam Nawawi (676 H) dalam kitab al-Majmu' (189) menjelaskan : 

أجمع المسلمون على جواز التسبيح والتهليل والتكبير والتحميد والصلاة على رسول الله صلى الله علبه وسلم وغير ذلك من الأذكار وما سوى ذلك للجنب والحائض 

Para Ulama sudah ijma' & sepakat bahwa hukum membaca dzikir bagi orang haid dan junub adalah mubah. Baik dzikir tsb berupa tasbih, tahlil, takbir, tahmid, atau sholawat.  Dengan catatan bahwa dzikir tsb bukan merupakan ayat al-Quran. 

Nah, Bagaimana jika dzikir tsb terdiri dari ayat-ayat al-Quran seperti dalam kitab-kitab Ratib, Hizib dan kitab aurad lainnya? 

Jika dzikir berasal dari ayat al-Quran, maka hukumnya dikembalikan kepada niat pembaca (dalam hal ini adalah orang haid). Jika niatnya hanya membaca al-Quran, atau sekaligus dzikir (isytirak) maka hukumnya haram. Namun jika niatnya hanya dzikir saja maka hukumnya tidak haram sebagaimana dalam materi 27. 

Dengan demikian, Jika wanita haid punya amalan dzikir tertentu yang rutin maka tak masalah untuk tetap diamalkan seperti sedia kala.  Dengan catatan jika dzikirnya berasal dari al-Quran maka hendaklah berniat dzikir saja (tanpa niat membaca al-Quran) agar hukumnya tidak menjadi haram..

Kamis, 29 Oktober 2020

HUKUM CERAI SAAT HAID (Kajian Fiqih Seri 28)

#materi28

- HUKUM CERAI SAAT HAID -

Bagaimana pandangan fiqih tentang hukum menjatuhkan cerai (thalaq) di saat istri masih menjalani haid? 

Para Ulama sepakat bahwa menjatuhkan thalaq (cerai) saat haid masih berlangsung adalah haram. Cerai seperti ini dalam fiqih  disebut dengani thalaq bid'i, yakni thalaq di luar masa yang diperbolehkan (thalaq sunni).  

Ada beberapa dalil yang melandasi hukum keharaman ini. Diantaranya firman Allah SWT Surat at-Thalaq ayat 1 : 

يآ أيها النبي إذا طلقتم النسآء فطلقوهن لعدتهن وأحصوا العدة

"Wahai Nabi, Jika kalian menthalaq istri-istri(mu) maka hendaklah ceraikan saat mereka dapat (menghadapi) iddahnya & hitunglah waktu iddah itu (QS:Atthalaq) 

Para  Ulama menjelaskan ada beberapa alasan yang menyebabkan praktek thalaq ini haram. Diantaranya, Cerai di masa haid ini akan merugikan wanita karena masa haid tidak akan dihitung iddah. Dengan demikian, masa tunggu wanita akan semakin lama. 

Keharaman cerai ini berlaku dengan catatan praktek thalaq bukan merupakan khulu'.  Yaitu perceraian atas permintaan wanita dimana wanita memberikan sejumlah uang kepada suaminya.  Jika thalaq adalah khulu' maka hukumnya tidak haram. Karena wanita yang bersangkutan secara sadar sudah rela jika masa tunggunya semakin lama. 

Pertanyaannya adalah, Apakah thalaq di masa haid ini tetap sah, di samping hukumnya haram? 

Dalam hal ini, Mayoritas Ulama (Jumhur) mengatakan thalaq saat haid tetap sah dan dihitung. Alasannya karena dalam satu kesempatan, Sahabat Ibnu Umar pernah melakukan thalaq seperti itu. Dan Nabi SAW pun menyuruhnya agar merujuk kembali. Secara logika, Tidak mungkin ada praktek rujuk jika thalaq tidak dianggap sah. 

Dalam riwayat Ad-Daruquthni, Abdullah bin Umar bertanya kepada Nabi SAW : "Ya Rasulallah, Bagaimana jika saya menthalaqnya (istri) tiga kali? Nabi SAW menjawab : "Dia (istrimu) akan pisah darimu, dan itu adalah maksiat.  

Apa yang harus dilakukan seorang suami jika terlanjur menthalaq istrinya saat haid?

Menurut madzhab Syafi'i, Bagi suami yang terlanjur menjatuhkan thalaq saat haid maka disunnahkan untuk merujuk istrinya lagi selama hal itu masih dimungkinkan. Artinya, Thalaq yang dijatuhkan bukan thalaq tiga.  Kemudian menunggu masa suci tiba. Maka bila ingin menceraikan silahkan diceraikan. Jika berniat mengurungkan maka silahkan diurungkan.

Selasa, 27 Oktober 2020

HUKUM BACA QURAN SAAT HAID (Kajian Fiqih Seri 27)

#materi27

- HUKUM BACA QURAN SAAT HAID -

Salah satu yang paling sering dipersoalkan para wanita saat haid adalah membaca al-Quran. Bagaimana pandangan fiqih terkait masalah ini? 

Menurut madzhab Syafi'i dan Mayoritas Ulama', Hukum membaca al-Quran saat haid adalah haram.  Ada beberapa dalil yang menjadi dasar argumentasi pendapat ini. Pertama adalah hadits riwayat Ibnu Umar : 

لا يقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القرآن 
"Orang Junub dan haid janganlah membaca al-Quran" (HR Tirmidzi)

Imam Nawawi (676 H) dalam al-Majmu' (hal 388) menjelaskan bahwa meskipun hadits ini dhaif (lemah), Akan tetapi ada beberapa argumentasi lain yang digunakan para Ulama, salah satunya Qiyas. Dalam hal ini hukum haid disamakan dengan orang junub yang mana juga diharamkan membaca al-Quran. 

Keharaman di atas ini berlaku jika memenuhi dua unsur. Pertama : Dalam melakukannya diisertai niat membaca al-Quran (al-Qira'ah) atau bersama niat lainnya.  Syarat ini mengecualikan jika niat yang digunakan hanya sekedar dzikir saja, Seperti halnya saat mengucapkan ayat-ayat yang disunnahkan dalam kondisi tertentu.  

Sebagai contoh, Sebelum melalukan hal yang baik maka orang disunnahkan untuk membaca bismillah. Atau sebelum bepergian disunnahkan mengucapkan ayat 13 surat az-Zukhruf.  Nah jika hal ini dilakukan oleh orang haid maka tidak haram karena niatnya hanya sebatas dzikir.  

Syarat kedua : Bacaan harus disertai suara yang bisa didengarkan dirinya.  Dengan demikian, Jika hanya sebatas menggerak-gerakkan mulut tanpa mengeluarkan suara, atau jika hanya dibaca dalam hati maka tidak haram.  Selama membacanya tidak dengan memegang mushaf al-Quran. 

Pendapat di atas ini selain merupakan madzhab Syafi"i juga meripakan pendapat dalam Hanafi dan Hambali.  Sementara dalam madzhab Maliki, ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa baca al-Quran saat haid ini tidak haram. Ada beberapa dalil yang digunakan untuk mendukung pendapat ini.  Diantaranya adalah riwayat dari Sayidah Aisyah dimana beliau melakukan hal ini saat sedang haid. 

imam Nawawi (676 H) dalam al-Majmu' mengomentari pendapat ini sebagai berikut : "Seandainya tindakan Aisyah itu benar adanya, maka tidak bisa menjadi Hujjah. Apalagi di saat bersamaan para sahabat lainnya tidak sependapat. Oleh karena itu. Jika para sahabat berbeda pendapat maka kita hendaknya kembali kepada Qiyas. 

Para Ulama yang membolehkan ini juga beralasan bahwa Jika baca Quran dilarang untuk orang haid, maka dampaknya mereka tidak bisa ngelalar hapalannya dan akibatnya hapalan bisa hilang.  Menurut Imam Nawawi, Klaim ini tidak bisa dibenarkan. Karena faktanya durasi haid hanya sekitaf 1 minggu. Lagi pula untuk mengatasi kekhawatiran ini juga masih bisa membaca dalam hati atau tanpa suara. 

Walhasil, Terlepas dari perbedaan pandangan ini, Memang ada beberapa Ulama kontemporer yang merekomendasikan  madzhab Maliki sebagai solusi terutama bagi para penghapal al-Quran. Karena dipandang lebih memudahkan. Meskipun kita tahu bahwa pendapat mayoritas Ulama termasuk madzhab Syafi'i tetap mengharamkan.

Senin, 26 Oktober 2020

HUKUM BERSUCI SAAT HAID (Kajian Fiqih Seri 26)

#materi26

- HUKUM BERSUCI SAAT HAID -

Ada beberapa pertanyaan mengenai hukum bersuci saat haid. Bagaimana sih sebenarnya hukum orang haid bersuci baik itu mandi dan wudhu sementad haid masih berlangsung ?

Imam Nawawi (676 H) dalam kitab al-Majmu' (hal 382) menjelaskan : 

Hukum bersuci bagi orang haid baik mandi maupun wudhu adalah haram dan juga tidak sah.  Alasannya karena bersuci dalam kondisi haid adalah termasuk kategori mempermainkan ibadah (tala'ub bil ibadah) jika tahu itu tidak sah dilakukan. Lagi pula hadats yang menempel di tubuhi juga tidak bisa hilang karena status wanita masih haid. 

Keharaman di atas ini berlaku jika tujuan bersuci adalah untuk menghilangkan hadats dengan disertai niat ibadah. Seperti saat kita mandi besar setelah haid atau wudhu sebelum sholat. Adapun Jika bersuci yang sekedar tandzif (membersihkan tubuh) atau tanpa niat menghilangkan hadats maka hukumnya tidak haram. Seperti mandi sehari-hari atau untuk menghadiri acara/perkumpulan tertentu, dan mandi untuk shalat 'ied. 

Imam Nawawi (676 H) menqiyaskan bersuci tanpa niat ibadah seperti ini dengan orang haid yang meninggalkan makan minum seharian tanpa niat berpuasa. Dimana hal ini juga tidak diharamkan karena tidak ada motif dan niat ibadah (puasa). Demikian juga dalam bersuci yang notabene hanyalah praktek mengguyur tubuh dengan air saja. 

Dengan kata lain bisa dipahami, bahwa keharaman bersuci saat haid itu tidak mutlak. Ada batasannya yaitu jika bersuci dengan tujuan menghilangkan hadats serta diniatkan ibadah.  Jika sifatnya hanya membersihkan diri (tandzif) seperti mandi sebelum shalat 'ied, atau untuk menghadiri acara (majami'),  atau dalam rangka lempar jumrah/ihram saat haji maka tidak haram.

Sabtu, 24 Oktober 2020

STATUS PUASA ORANG HAID (Kajian Fiqih Seri 25)

#materi25

- STATUS PUASA ORANG HAID -

Sudah menjadi kesepatakan para Ulama (ijma') bahwa orang yang haid haram melakukan puasa, baik itu puasa sunnah maupun wajib. Oleh karena itu, jika siklus haid kebetulan bertepatan dengan bulan ramadhan maka kita tidak boleh ikut berpuasa alias wajib meninggalkannya sebagaimana juga meninggalkan shalat. 

Imam Ramli (957 H) dalam Nihayatul Muhtaj menjelaskan : Hikmah mengapa orang haid tidak wajib berpuasa adalah karena haid akan melemahkan kondisi tubuh. Jika ditambah puasa maka beban akan semakin berat dan kondisi fisik akan semakin menurun. 

Pertanyaannya apakah dengan meninggalkan puasa wajib, Orang haid akan mendapat pahala sebagaimana orang sakit yang meninggalkan ibadah rutinitasnya? 

Menurut Imam Nawawi (676 H) orang tsb tidak memperoleh pahala sama sekali. Alasannya karena status orang haid ini terdapat oleh mani' (penghalang) berupa hadats. Yang artinya tak ada peluang lagi melakukan puasa. Sementara orang sakit tidak demikian. Dia masih punya kemampuan (ahliyah) untuk ibadah. Hanya saja terhalang udzur. Oleh karena itu keduanya tidak bisa disamakan.  

Lalu bagaimana hukumnya jika wanita yang sedang puasa tiba-tiba mengeluarkan darah haid?

Jika seorang wanita yang sedang puasa mengeluarkan darah haid maka puasanya otomatis batal. Ini berlaku baik dalam puasa wajib seperti puasa ramadhan atau puasa sunnah. Dan juga berlaku baik darah haid itu keluar di tengah puasa (siang hari) atau di permulaan dan ujung puasa.  

Contohnga semisal darah haid keluar 2 menit setelah waktu subuh atau keluar 2 menit sebelum waktu maghrib.  Dalam dua kasus ini puasanya batal karena bagaimanapun waktu 2 menit di atas masih tergolong waktu puasa. . 

Lalu, Bagaimana jika haid berakhir di waktu sahur sedangkan wanita tsb belum mandi besar hingga masuk waktu subuh. Apalah puasanya tetap sah ?

Menurut para Ulama, Puasa wanita tetap sah. Karena suci dari hadats bukanlah salah satu syarat puasa sebagaimana dalam shalat.  Dengan demikian, Tidak masalah Jika ada orang memasuki puasa dengan status haid/junub.

Kamis, 22 Oktober 2020

CARA QADHA' SHALAT SETELAH HAID (Kajian Fiqih Seri 24)

#materi24

- CARA QADHA' SHALAT SETELAH HAID -

Kali ini kita akan membahas mengenai cara shalat setelah haid selesai.  Menurut pendapat yang kuat (Qaul Adzhar) dalam madzhab Syafi'i, Jika haid berakhir di  waktu shalat tertentu sementara masih tersisa waktu meskipun hanya sebatas takbiratul ihram, maka kita wajib melakukan shalat waktu tsb dan juga shalat sebelumnya. Dengan kata lain, kita wajib melakukan dua shalat. Pertama shalat ada' dan kedua shalat qadha. 

Sebagai contoh, Jika haid berhenti pada jam 5 sore maka kita wajib melakukan shalat ashar sebagai sholat ada' dan juga shalat sebelumnya, yakni dzuhur sebagai shalat qadha'.  Atau misal haid berakhir pukul 10 malam, maka kita wajib melakukan shalat isya' sebagai shalat ada' dan juga shalat magrib sebagai shalat qadha'.  

Nah, kewajiban dua sholat pasca haid ini tidak  mutlak. Namun hanya berlaku jika haid berakhir di waktu shalat yang bisa dijamak dengan shalat sebelumnya. Seperti waktu ashar yang bisa dijamak dengan dzuhur atau waktu isya' yang bisa dijamak dengan magrib. Sebaliknya Jika haid berakhir di waktu shalat yang tidak bisa dijamak dengan sebelumnya, maka yang wajib dilakukan hanya shalat ada' saja. Semisal ketika haid berhenti di waktu magrib.

Mungkin terbesit pertanyaan, Mengapa kita wajib melakukan dua shalat (ada' & qafha') dalam kasus ini? Menurut para Ulama, Alasannya adalah karena kedua shalat tsb (dzuhur-ashar/magrib-isya') dianggap punya waktu yang sama dalam situasi udzur (misalnyabepergian). Terbukti keduanya boleh digabungkan satu sama lain. Nah demikian juga dalam kondisi darurat seperti haid.  Keduanya pun juga dianggap sama waktunya. 

Alhasil, Saat haid kita berakhir di waktu shalat tertentu maka perhatikan dulu apakah shalat tsb bisa dijamak dengan shalat sebelumnya atau tidak. Jika bisa dijamak maka kita harus melakukan dua shalat. Pertama adalah shalat ada' yang jatuh pada waktu itu, dan kedua adalah shalat qadha' sebelumnya. Namun jika kedua shalat tidak bisa dijamak, maka yang wajib dilakukan hanya shalat ada' saja. Alias tidak wajib menqadha' shalat sebelumnya. 

#KajianHaidOnline

Selasa, 20 Oktober 2020

Material First Day Learn English "NUMBERS"

Hello people~ How are you today? Pada kesempatan kali ini Learn English Free akan membahas tentang numbers atau dalam bahasa indonesianya adalah angka. Numbers dibagi menjadi dua bagian yaitu cardinal numbers dan ordinal numbers. Tanpa basa basi lagi mari kita langsung saja simak penjelasannya berikut ini.

1.) Cardinal Numbers
   Cardinal numbers adalah angka yang menyatakan berapa banyak benda, orang, atau hewan misalnya one, two, three, four, five, six, seven, eight, nine, ten, dan seterusnya. Namun hati-hati dalam penulisan angka 14 dan 40 dengan huruf. 14 yaitu “fourteen”, 40 “forty”, karena biasanya banyak orang yang salah dalam membacanya, kadang 40 dibaca “fourty” padahal tanpa huruf “u”. Begitu juga dengan angka 5 “five”, 15 “fifteen”, 55 “fifty five” 105 “a hundred five” dan seterusnya. Kadang banyak orang yang salah melafalkan angka yang ada angka 5.

2.) Ordinal Numbers
     Ordinal numbers adalah angka yang menunjukkan peringkat atau posisi dari benda atau sesuatu, contohnya first, second, third, fourth fifth, dan seterusnya. Cukup tambahkan 'th' pada bilangan biasa. Kecuali yang berakhiran angka 1 akan berakhiran 'st', angka 2 akan berakhiran 'nd', angka 3 akan berakhiran 'rd', dan 0 (biasanya pada angka puluhan) akan berakhiran 'tieth/ieth'. Perhatikan juga bahwa hanya angka terakhir yang dituliskan sebuah akhiran sebagai ordinal numbers:
421st = four hundred and twenty-first
5,111th = five thousand, one hundred and eleventh

Senin, 19 Oktober 2020

STATUS SHOLAT ORANG HAID (Kajian Fiqih Seri 22)

#materi22

STATUS SHOLAT ORANG HAID

Sudah menjadi kesepakatan para Ulama, bahwa wanita yang sedang haid haram melakukan sholat. Hal ini didasari pada hadits riwayat muslim, bahwa Nabi SAW berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy : 

فإذا أقبلت الخيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم وصلي (رواه مسلم)

"Jika datang haid kepadamu maka tinggalkan-lah shalat. Dan jika haid telah pergi maka mandi dan shalat-lah". 

Dalam hadits di atas, Nabi SAW menggunakan redaksi perintah berupa fi'il amr. Dimana menurut ushul fiqih redaksi perintah (adatu-amr) itu menunjukkan bahwa hal yang diperintahkan bersifat wajib. Dari sini bisa dipahami bahwa perintah meninggalkan shalat saat haid adalah hal yang wajib. 

Persoalannya adalah mulai kapan wanita  harus meninggalkan sholat saat haid? 

Menurut fiqih Syafi'i, Perintah meninggalkan shalat ini berlaku sejak darah haid mengalir pertama. Artinya begitu darah keluar, maka saat itu juga harus meninggalkan shalat tanpa harus menunggu 24 jam (batas minimal haid). Dengan demikian, Jika ada wanita mengeluarkan darah pada pukul 11 WIB misalnya, maka haram baginya melakukan shalat dzuhur pada hari itu juga.. 
Nah, Bagaimana jika ada wanita haid nekat melakukan shalat? Menurut para Ulama, Alih-alih mendapatkan pahala, Orang haid yang shalat justru shalatnya tidak sah. Ini jelas lebih berat karena di samping dia berdosa, shalatnya juga tidak sah dan tidak diterima. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih : 

النهي عن الشيئ لذاته يقتضي الفساد
"Larangan terhadap sesuatu karena subtansinya berdampak kerusakan (batal)"

Mungkin terbesit dalam hati, Apakah orang haid yang meninggalkan shalat akan mendapat pahala mengingat hal itu adalah perintah ?

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari mengutip Imam Nawawi (676 H), mengatakan bahwa wanita yang meninggalkan sholat saat haid itu -- sekalipun sifatnya perintah -- justru tidak mendapat pahala sama sekali. 

Manurut Imam Nawawi (676 H) bahwa kasus ini tidak bisa disamakan dengan orang sakit yang meinggalkan shalat sunnah yang dia dawam-kan lalu terhalang udzur. Dimana dalam kasus kedua ini dia tetap memperoleh pahala. Alasannya, karena dalam kasus orang sakit ini, pada dasarnya dia punya tekad & kemauan untuk terus melaksanakan shalat. Hanya saja ada udzur yang menghalangi.  Hal ini tidak terdapat dalam kasus orang haid. 

Selain tidak wajib sholat, Orang haid juga tidak diwajibkan menqadha' sholatnya setelah suci. Hal ini didasari pada atsar dari Sayidah Aisyah, beliau berkata : 

كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة

"Kita diperintah menqadha sholat, Namun tidak diperintah menqadha' sholat". 

Dalam kesempatan lain, pernah seorang wanita mendatangi Sayidah Aisyah. Dia bertanya kepada istri Nabi SAW tsb : "Wahai Aisyah, Apakah wanita yang haid wajib qadha shalat setelah suci ?  Kata beliau : Apakah kamu ini orang Haruriyah? 

Pertanyaan balik Sayidah Aisyah ini secara sekilas terlihat tidak biasa. Namun jika melihat fakta yang ada memang ada sekelompok sekte yang mewajibkan Qadha sholat bagi orang haid. Mereka ini dikenal dengan kelompok "Haruriyah" yang merupakan bagian dari aliran khawarij yang memisahkan diri dari mayoritas. Kelompok ini tinggal di perkampungan "Harur" dan karenanya disebut Haruriyah. 

Barangkali masih menimbulkan pertanyaan, Mengapa orang haid tidak wajib menqadha' shalat, Sementara untuk puasa ramadhan dia wajib menqadhana,  Padahal keduanya ini sama-sama ibadah fardhu?

Menurut para Ulama, Perbedaan tsb terjadi -- disamping karena dasar hadits -- adalah karena sholat 5 waktu jumlahnya lebih banyak dan lebih sering dilakukan. Sehingga akan memberatkan wanita jika diwajibkan qadha setiap habis haid. Berbeda dengan puasa ramadhan yang hanya berlangsung setahun sekali. Yang mana tentu lebih ringan dilakukan dan diqadha'. 

Fakta inilah pada akhirnya diakomodasi para Fuqaha dalam bentuk kaidah fiqih yang sangat terkenal : 

المشقة تجلب التيسير  
"Kesulitan akan mendatangkan kemudahan". 

Berdasarkan kaidah ini, maka situasi yang dianggap berat saat melakukan ibadah tertentu, akan mendatangkan berbagai kemudahan yang tidak bisa didapatkan di luar situasi tsb. Seperti halnya praktek qashar & Jama' shalat, serta juga persoalan qadha' shalat bagi orang haid. Semoga bermanfaat. 

#KajianHaidOnline

Minggu, 18 Oktober 2020

LARANGAN SAAT HAID (Kajian Fiqih Seri 21)

#materi21

LARANGAN SAAT HAID

Seperti kita ketahui bersama, bahwa status wanita yang sedang mengalami haid adalah hadats besar. Oleh sebab itu dia diharamkan melakukan beberapa hal yang sebelumnya diperbolehkan, bahkan wajib. Hal-hal tsb sebagai berikut : 

1. Sholat, baik sholat wajib seperti sholat 5 waktu, mau-pun sholat sunnah & sholat jenazah.  Termasuk dalam hal ini adalah sujud syukur & sujud tilawah. 

2. Puasa, baik puasa wajib seperti puasa ramadhan maupun puasa sunnah, seperti puasa senin kamis.

3. Menyentuh & membawa mushaf (al-Quran). Baik secara langsung mau-pun tidak (menggunakan sarung tangan).  

4. Membaca al-Quran. Hal ini diharamkan jika disertai niat membaca. Jika hanya niat dzikir atau merenungi kisahnya maka tidak haram. 

5. Berdiam diri di masjid. Hal ini dilarang karena sabda Nabi : "Sungguh aku tidak menghalalkan masjid bagi orang haid & junub"..

6. Melewati dalam masjid jika khawatir darah haidnya menetes/mengotori. Jika tidak khawatir mengotori maka tidak haram. 

7. Menjatuhkan thalaq. Alasannya karena thalaq saat haid akan memperpanjang masa iddah wanita. Karena durasi haid tidak dihitung iddah. 

8. Bersentuhan kulit dengan suami (mubasyarah) di antara pusar & lutut wanita. Keharaman ini berlaku disertai syahwat atau tidak. 

9. Bersuci (wudhu/mandi) dengan niat ibadah. Seperti wudhu/mandi dengan niat menghilangkan hadats. Jika tujuannya hanya   membersihkan diri (tandzif) maka tidak haram. 

Demikian adalah hal-hal yang dilarang saat haid. Yang juga berlaku bagi wanita yang mengalami nifas. Beberapa poin di atas juga berlaku bagi orang istihadhah, seperti poin 3 dan 6.  Semoga bermanfaat. 

#KajianHaidOnline

Sabtu, 17 Oktober 2020

DARAH KELUAR SAAT SUCI BERLANGSUNG (Kajian Fiqih Seri 20)

#materi20

DARAH KELUAR SAAT SUCI BERLANGSUNG

Kasus seperti ini sering dialami oleh wanita dan tidak jarang menimbulkan kebingungan. Prakteknya, Ketika wanita sedang mengalami suci, tiba-tiba dia mengeluarkan darah lagi. Nah, Bagaimana status darah yang baru ini ?

Untuk mengetahui status darah yang keluar di masa suci ini, maka hal yang harus diperhatikan lebih dulu adalah apakah suci yang berlangsung sudah mencapai mencapai 15 hari atau belum (batas minimal suci) ? Jika belum, maka status darah yang baru keluar ini adalah istihadhah. Dengan catatan kasus tsb melampaui hari 15. 

Contoh, Seorang wanita mulai haid pada tanggal 1 dan berhenti pada tanggal 8. Kemudian saat tanggal 14 darah keluar lagi sampai tanggal 19.  Dalam kasus ini, maka status darah adalah istihadhah. Atau lebih tepatnya istihadhah yang bercampur haid. 

Namun, Jika darah yang keluar ini berlangsung setelah suci mencapai 15 hari maka status darah ini adalah haid.  Comtoh Seorang wanita mulai haid pada tanggal 1 dan berhenti pada tanggal 5. Kemudian Pada tanggal 22 dia mengeluarkan darah lagi. Nah dalam kasus ini. Maka darah di tanggal 22 adalah haid karena suci sebelumnya sudah mencapai 15 hari (batas minimal suci). 

Perlu dicatat, bahwa kedua kasus di atas  berlaku bila darah berada di luar 15 hari. Jika keduanya masih di dalam 15 hari, maka statusnya adalah haid. Contoh, Seorang wanita haid di tanggal 1. Pada tanggal 2 dia suci sampai tanggal 4. Lalu pada hari 5 dia mengeluarkan darah lagi sampai tanggal 10.  Dalam kasus ini darah di hari 5 - 10 adalah haid sebagaimana saat tanggal 1. Sementara jeda suci diantara 2 darah juga tergolong haid menurut Qaul Sahab.

Jumat, 16 Oktober 2020

Penggunaan Partikel Pun dan Kan

Partikel Pun
Cara penulisan: Gabungan dan Pisah
Fungsi:
Pun memili arti:

1. Juga
- Jika anda pergi, aku pun hendak pergi
- Tak lama sesudah kematiannya, langit pun turut menangis

2. Meski. Biar. kendati:
- Mahal pun dibelinya juga
- Pedih pun ia tetap maju

3. Saja :
- Berjalan pun tak biasa, apalagi berlari

4. Menyatakan aspek bahwa perbuatan mulai terjadi
Haripun malamlah

5. Untuk menyatakan pokok kalimay: Maka Baginda pun bertanya 
- Apa pun jenis bacaannya, itu bisa meningkatkan kemampuan menulis seseorang
Akan tetapi frasa yang lazim dianggap padu ditulis serangkai
- Adapun
- Andaipun
- Akanpun
- Ataupun
- Bagaimanapun
- Biarpun
- Nianpun
- Kalaupun
- Kendatipun
- Maupun
- Meskipun
- Namunpun
- Sekalipun
- Sungguhpun
- Walaupun

Misalnya
- Adapun sebab-sebabnya belum diketahui
- Sekalipun belum memuaskan, hasil pekerjaannya dapat dijadikan pegangan.
- Aku belum pernah /sekali pun/ naik pesawat terbang

Pengecualian:
Untuk Sekali + pun
ditulis PISAH jika diartikan SATU KALI PUN
Ditulis PADU jika diartikan MESKIPUN

Penggunaan kan

Akhiran -kan digunakan untuk menyatakan, melakukan perbuatan-perbuatan orang lain, membuat jadi, menyebabkan, menganggap, membawa. Penggunaan kan ditulis gabung dengan kata sebelumnya. Contoh: hidangkan (membawa) kecuali, iya dan kan. Menjadi, "Iya, kan."

JEDA SUCI ANTARA HAID & NIFAS (Kajian Fiqih Seri 19)

#materi19 

JEDA SUCI ANTARA HAID & NIFAS

Pada bab sebelumnya kita telah membahas jeda suci antara dua haid. Lantas, bagaimana dengan jeda suci antara haid & nifas? 

Kasus jeda suci antara haid & nifas ini bisa terjadi dengan dua kemungkinan. Pertama proses haid berlangsung sebelum wanita melahirkan dan langsung disusul oleh darah nifas.  Kedua, Proses haid berlangsung setelah nifas. Dengan kata lain, Keluar pasca melahirkan. 

Untuk kasus pertama, Maka tidak ada batasan suci minimal antara keduanya. Bahkan seandainya dua darah bersambung pun maka darah sebelum melahirkan tetap dihukumi haid, dan darah pasca melahirkan akan dihukumi nifas. Dengan kata lain tidak perlu mempertimbangkan batasan suci. Sebagai contoh : Seorang wanita hamil haid selama 5 hari, kemudian melahirkan dan langsung keluar nifas. Dalam kasus ini darah pra melahirkan disebut haid, dan pasca persalinan dihukumi nifas. 

Kedua : Proses Haid berlangsung pasca melahirkan & setelah nifas.  Dalam hal ini durasi nifas perlu ditinjau lebih dulu. Apakah sudah mencapai batas maksimal 60 hari atau belum? 

Jika nifas sudah mencapai maksimal, maka tidak ada batasan suci minimal yang pasti dengan haid. Artinya, darah berikutnya akan otomatis dihukumi haid meskipun hanya dijeda sebentar saja. Sebagai contoh, Seorang wanita mengalami nifas 60 hari. Lalu pada hari 61 dia mengeluarkan darah lagi. Maka status darah hari 61 adalah haid.  Sekalipun hanya terpisah 1 hari dengan nifas. 

Namun, Jika nifas belum mencapai batas maksimal, maka harus ada jeda suci 15 hari dulu antara keduanya.  Ini bertujuan agar darah yang kedua bisa dihukumi haid. Sebagai contoh, Wanita mengalami nifas 20 hari, lalu pada tanggal 36 darah keluar lagi.  Dalam kasus ini, Darah pada tanggal 36 akan dihukumi haid. Berbeda lagi, misalnya jika darah kedua keluar pada tanggal 30, maka tidak bisa dihukumi haid alias tetap nifas. 

Allhasil, dari keterangan di atas bisa disimpulkan. Bahwa : 1) Jika haid terjadi sebelum nifas, maka tidak ada batasan jeda/suci minimal antara keduanya 2) Jika haid terjadi setelah nifas, maka hukumnya dirinci : Jika nifasnya belum mencapai durasi maksimal, Maka batas minimal suci dengan haid adalah 15 hari. Namun jika nifas sudah mencapai batas maksimal, Maka tidak ada batasan suci minimal. Semoga bermanfaat.  

#KajianHaidOnline

Senin, 12 Oktober 2020

FASE SUCI PASCA HAID (Kajian Fiqih Seri 18)

#materi18 

FASE SUCI PASCA HAID

Fase suci adalah periode setelah darah haid berhenti total. Fase ini dimulai terhitung sejak berhentinya haid hingga kemudian darah keluar lagi. Pada fase ini status wanita akan mengalami peralihan dari hadats besar menjadi suci. Sehingga diperbolehkan melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang. Seperti sholat, puasa, dsb. Fungsi dari suci sendiri adalah pemisah antara haid pertama dengan haid sesudahnya.  

Berdasarkan waktu, Fase suci ini terbagi menjadi tiga. Yaitu durasi minimal, durasi rata-rata (umum), dan durasi maksimal. Sebagai berikut :

Durasi minimal. 
Durasi minimal suci ini adalah 15 hari. Sebagai contoh, Jika haid berhenti pada tanggal 8, maka suci harus berlangsung minimal sampai tanggal 23. Rentang waktu 15 hari ini adalah pemisah paling minimal antara haid pertama dengan sesudahnya. Artinya Jika ada darah keluar lagi sebelum suci mencapai 15 hari,  maka darah tsb tidak bisa dihukumi haid. 

Sebagai contoh, Seorang wanita berhenti haid pada tanggal 8, lalu darah keluar lagi pada tanggal 20. Maka darah pada tanggal 20 ini tidak bisa dihukumi haid. Karena masa suci belum mencapai 15 hari.  Artinya, Status wanita pada tanggal 20 & 21 ini akan tetap suci. Adapun darahnya dihukumi istihadhah (dam fasad) dan wajib melakukan sholat seperti biasa. 

Durasi Umum (ghalib)
Durasi umum suci ini adalah 23 - 24 hari. Hal ini karena berdasarkan durasi rata-rata haid wanita, yakni 6 - 7 hari. Dengan kata lain. Durasi umum suci ini adalah sisa hari di luar haid pada bulan tsb. Oleh sebab itu, Oleh sebab itu panjang durasinya tergantung pada seberapa lama haid berlangsung. 

Durasi umum di atas bisa berubah-ubah setiap bulan, Dan juga bisa berbeda-beda antara satu wanita dengan lainnya. Boleh jadi seorang wanita mengalami suci selama 25 hari, karena haidnya pada bulan tsb hanya 5 hari saja. Kemudian berubah lagi pada bulan berikutnya, demikian seterusnya. 

Durasi maksimal. 
Mengenai durasi maksimal suci ini sebenarnya tidak ada batasan waktu/durasi tertentu. Bisa jadi seorang wanita mengalami suci hingga berbulan-bulan atau bertahun lamanya baru kemudian haid lagi.  Bahkan tidak menutup kemungkinan, Ada wanita yang berstatus suci seumur hidup karena tidak pernah haid selamanya.

Syekh Khatib Syirbini (1570 M), Ulama kenamaan madzhab Syafi'i dan penulis Syarah Mughni al-Muhtaj  mengatakan :  Bahwa Saudara perempuannya hanya haid setiap 2 tahun sekali. Dan ibunya bahkan tidak pernah haid sama sekali dalam hidupnya. 

Walhasil, Rumusan periode suci di atas adalah berdasarkan kasus umum yang terjadi pada perempuan. Dalam realitas sehari-hari, Sangat mungkin masa suci yang dialami wanita punya durasi yang variatif & berbeda-beda. Yang terpenting adalah durasi suci tsb tidak kurang dari 15 hari (batas minimal).  Semoga bermanfaat. 

#kajianHaidOnline

Sabtu, 10 Oktober 2020

TANDA HAID BERHENTI (Kajian Fiqih Seri 17)

#materi17

_"TANDA_HAID_BERHENTI"_

Memahami tanda & ciri-ciri berhentinya haid  tidak kalah penting bagi wanita  Karena hal ini menjadi titik awal datangnya masa suci dan rampungnya fase haid.   

Secara umum, Cara mengetahui berhentinya haid ini sangat mudah. Yakni asal darah sudah berhenti mengalir, maka sudah bisa dipastikan haid juga berakhir. Yang artinya sudah tiba masa suci.

Para Ulama mensyaratkan bahwa  berhentinya darah ini sebagai akhir haid bisa dilihat dari (2) indikasi : 

Pertama :.Organ kewanitaan sudah benar-benar kering. Alias sama sekali tidak mengeluarkan darah atau cairan.  Kondisi ini tidak diragukan lagi haid sudah berakhir. 

Kedua : Organ kewanitaan masih mengeluarkan cairan, Namun hanya berwarna putih/bening, Dan tidak berwarna kuning atau keruh.  Cairan ini tidak lain hanyalah cairan miss-v biasa seperti saat di luar masa haid. 

Dalam literatur fiqh, Kondisi seperti di atas disebut dengan "al-Qhassatul Baidha'.  _(kapas putih)._ Istilah ini disadur dari perkataan Sayyidah Aisyah, Istri Nabi Muhammad SAW dan digunakan sebagai ndikasi rampungnya haid. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari : 

إن النسآء كن يبعثن لعائشة الدرجة فيها الكرسف، وفيه الصفرة من دم الحيض. فتقول لا تعجلن حتى ترين القصة البيضآء

"Para wanita dulu mengirim kapas kepada Sayidah Aisyah yang terdapat bekas cairan kuning dari sisa haid. Beliau bilang : "Janganlah kalian terburu-buru (suci) sampai kalian pastikan kapas itu putih bersih".(HR. Bukhari)

Berdasarkan atsar ini,  Para Ulama menjelaskan bahwa cara untuk mengecek rampungnya haid adalah dengan memasukkan kapas/sejenisnya ke dalam kemaluan. Bila kapas tsb tidak berubah warna alias masih putih bersih, maka bisa dipastikan haid berakhir (sudah suci).

Terakhir, Jika para wanita sudah merasa haidnya berhenti, maka alangkah baiknya segera mencatat waktunya. Hal ini akan berguna untuk perhitungan masa suci ke depan. Jangan lupa segera lakukan mandi besar agar secepatnya terbebas dari hadats haid. Tidak perlu harus menunggu 24 jam dulu karena faktanya sudah suci. Nah, Jika ternyata darah datang lagi, Sementara durasi haid kurang dari 15 hari, maka terdapat 2 pendapat. (Silahkan baca pada materi 9). Semoga bermanfaat. 

#kajianHaidOnline

Selasa, 06 Oktober 2020

SYARAT HAID YANG SERING TERLUPAKAN (Kajian Fiqih Seri 17)

#materi17

_"SYARAT HAID YANG SERING TERLUPAKAN"_

Selain faktor durasi, ada beberapa syarat lain yang perlu diperhatikan untuk menghukumi darah sebagai haid.  Syarat ini penting karena dalam realita sehari-hari banyak wanita yang tidak menyadarinya. Akibatnya dia mengira sudah berstatus haid, padahal kenyataannya belum. 

Syarat pertama : Darah harus benar-benar keluar sampai ke permukaan miss-v dan bisa  dilihat langsung. Artinya, Tidak cukup  hanya kita rasakan ada darah yang mengalir di dalam lalu langsung kita hukumi haid, tanpa memastikan darah tsb sampai keluar. Syarat ini perlu diperhatikan sebab dalam beberapa kasus, darah yang terasa mengalir itu ternyata tidak keluar sama sekali alias tersumbat di dalam. 

Ibnu Hajar dalam _Fatawi al-Kubra_ mengatakan : Syarat ini berlaku dalam proses haid yang keluar pada gelombang pertama. Untuk gelombang selanjutnya, darah tidak diwajibkan harus sampai ke permukaan. Artinya cukup kita pastikan saja ada darah di bagian yang wajib dibasuh ketika istinja', maka otomatis statusnya adalah haid. 

Syarat kedua : Darah harus keluar setelah batas minimal suci terpenuhi. Jika belum terpenuhi, maka statusnya adalah dam fasad / Istihadhah. 

Sebagai contoh. Seorang wanita haid selama 7 hari. Kemudian pada hari 8 darahnya berhenti/masuk masa suci sampai tanggal 20.  Lalu pada tanggal 21 keluar darah lagi sampai tanggal 25.  

Nah dalam kasus ini, Darah yang keluar pada tanggal 21 & 22 tidak bisa dihukumi haid. Sebab masa suci sebelumnya belum genap 15 hari alias hanya berlangsung 13 hari saja (mulai tanggal 8 - 20). Oleh sebab itu, Tanggal 21 dan 22 statusnya adalah darah fasad/istihadhah dan digunakan untuk menyempurnakan suci yang kurang 2 hari. Baru pada tanggal 23 ini dia mulai haid baru sampai seterusnya (Haidun Jadid). 

Maka dari itu, Jika siklus haid datang, Pastikan dulu apakah suci sebelumnya sudah mencapai 15 hari atau belum.  Jika belum, maka sempurnakan dulu menjadi 15 hari. Misal kurang 2 hari, maka gunakan 2 hari saat darah keluar itu untuk menggenapi. Baru setelahnya darah bisa dihukumi sebagai haid kedua. Demikian seterusnya. Semoga bermanfaat. 

#kajianHaidOnline

Minggu, 04 Oktober 2020

STATUS KEPUTIHAN PADA WANITA (Kajian Fiqih Seri 15)

#materi15

STATUS KEPUTIHAN PADA WANITA

Salah satu kasus yang banyak dialami wanita adalah keputihan. Kondisi tsb banyak terjadi pada perempuan yang masih mengalami menstruasi, dan tak jarang pada perempuan hamil. Keputihan yang normal terlihat dalam bentuk cairan/lendir berwarna putih/jernih dan tidak mengeluarkan bau menyengat seperti haid. Bagaimana status keputihan dalam pandangan fikih ? 

Menurut fikih, Keputihan normal yang banyak dialami wanita itu bukan tergolong  haid. Sebab dia tidak memenuhi kriteria & syarat haid.  Keputihan lebih tepatnya disebut sebagai Rutubat al-farji (cairan miss-v). Yakni cairan dengan dominasi warna putih yang menyerupai keringat atau madzi (cairan yang keluar akibat rangsangan seksual). Oleh sebab itu, kondisi keputihan tidak menggugurkan kewajiban shalat & ibadah lainnya sebagaimana haid.  

Rutubatul farji (cairan miss-v) sendiri dalam fikih dibagi menjadi dua :  1)  Jika keluar dari organ dalam, maka statusnya najis. Dan keluarnya membatalkan wudhu.  2) Jika keluar dari bagian luar farji, maka statusnya suci. Dan tidak membatalkan wudhu.  Batas luar & dalam yang dimaksud pada rincian di atas ditandai dengan bagian yang wajib dibasuh saat istinja' & mandi. Artinya, Bagian yang wajib dibasuh tergolong luar sementara yang tidak wajib dibersihkan tergolong bagian dalam.  

Nah, Berdasarkan rincian ini, Jika kita terapkan pada kasus keputihan yang banyak terjadi maka statusnya lebih dominan ke najis. Sebab sebagian besar keputihan itu berasal dari organ dalam (leher rahim). Meskipun ada pula keputihan yang berasal dari organ luar (vagina). Masalahnya, Perbedaan di sini hanya dilihat dari tempat asalnya cairan saja. Tidak dijelaskan secara detail mengenai perbedaan karakter masing-masing 2 cairan ini.  Sehingga tentu akan membuat kita bisa bingung. 

Untungnya para Ulama memberi solusi. Mereka bilang : "Jika kita ragu/bimbang mengenai asal muasal cairan yang keluar, Apakah dari organ luar atau dari organ dalam, maka statusnya adalah suci. Artinya cairan/keputihan akan digolongkan sebagai cairan organ luar. Sehingga hukumnya tidak najis & tidak membatalkan sholat. (selesai).  Ini tentu sangat membantu bagi para wanita. Semoga bermanfaat. 

#KajianHaidOnline

Kamis, 01 Oktober 2020

STATUS PENDARAHAN SAAT HAMIL (Kajian Fiqih Seri 14)

#materi14

STATUS PENDARAHAN SAAT HAMIL 

Dalam pandangan medis, Haid di masa hamil adalah sesuatu yang tidak mungkin. Alasannya karena haid hanya bisa terjadi jika tidak ada pembuahan sel telur. Yang artinya hanya bisa terjadi jika seorang wanita tidak hamil. Namun meski demikian, Pendarahan di masa hamil bisa saja terjadi. Beberapa kasusnya bersifat serius, namun sebagian tidak. Seperti pendarahan implantasi di fase awal hamil. 

Nah itu adalah versi medis. Bagaimana dengan versi fikih memandang pendarahan saat haid ini ?

Imam Nawawi (676 H) dalam kitab Majmu' mengatakan : "Jika ada darah keluar di masa hamil dan patut menjadi haid (misal  mencapai 24 jam), maka terdapat 2 pendapat di kalangan madzhab Syafi'i. 

Pertama : Darah tsb statusnya adalah haid. baik keluar di masa awal kehamilan, masa pertengahan, maupun di fase akhir. Pendapat ini dianggap lebih kuat (الأصح) dan merupakan Qaul Jadid Imam Syafi'i.  Dasar dari Qaul ini -- seperti dikutip Imam Rafi'i -- adalah sabda Nabi bahwa "Darah haid itu berwarna hitam". Dalam hadits ini, Nabi SAW tidak menyebut orang hamil & non hamil. Sehingga artinya hadits ini berlaku umum, baik di luar fase hamil maupun di dalamnya

Pendapat kedua : Status darah tsb bukan haid, melainkan darah istihadhah (darah rusak). Pendapat ini merupakan Qaul Qadim imam Syafi'i dan dianggap kurang kuat dibanding pendapat sebelumnya. Diantara dasar dari pendapat ini adalah anggapan bahwa saluran haid saat hamil akan tertutup. Sehingga tidak mungkin bisa terjadi haid. Sekilas logika ini mirip dengan pandangan medis bukan ?

Kedua pendapat di atas, sekali lagi adalah menyangkut darah yang sudah memenuhi kriteria haid secara fiqih. Artinya, Jika darah yang keluar di fase hamil tidak mencapai 24 jam maka jelas tidak masuk dalam pembahasan di atas. Sehingga otomatis statusnya bukan haid, melainkan istihadhah. Statusnya pun hadats kecil layak-nya kencing biasa sehingga cukup dibersihkan saja.  

Hal ini bisa terjadi misal dalam konteks pendarahan implantasi. Secara medis pendarahan ini terjadi di awal masa hamil dan bisa menjadi indikator kehamilan. Pendarahan Implantasi biasanya hanya berlangsung beberapa jam dengan volume lebih sedikit dan hanya dalam bentuk bercak darah. Oleh sebab itu, Statusnya tidak bisa dihukumi haid berdasarkan dua pendapat fikih di atas, melainkan istihadhah. (kecuali jika durasi implantasi lebih 24 jam). Karena pendapat di atas hanya berlaku pada darah yang memenuhi standar haid.  

Terakhir sebelum menutup seri ini, Jika kita mengacu pada rumusan ber-madzhab yang standar berkaitan darah di masa hamil, maka pendapat pertama tentunya lebih dianjurkan untuk diikuti. Karena merupakan Qaul Ashohh yang punya landasan lebih kokoh (minimal dalam pandangan Ulama masa lalu). Sehingga jika kita/wanita mengeluarkan darah saat hamil dan sudah memenuhi syarat haid, maka statusnya adalah haid. Semoga bermanfaat. 

#KajianHaidOnline

KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH (Kajian Fiqih seri 55)

_#seri55_ *KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH* Kasus kelima ini adalah kasus pertama dari tiga jenis mutahayirah yang sudah dise...