Minggu, 03 Januari 2021

KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH (Kajian Fiqih seri 55)

_#seri55_

*KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH*

Kasus kelima ini adalah kasus pertama dari tiga jenis mutahayirah yang sudah disebutkan sebelumnya. Kasus ini dikenal dengan istilah _mutahayyirah mutlaqah._ Di dalam kitab² fiqih Jika disebut istilah _mutahayyirah_ maka secara spesifik biasanya merujuk pada kasus kelima ini. Nah apa sih _mutahayyirah mutlaqah itu?_ 

Secara sederhana, Kasus _mutahayyirah mutlaqah_  adalah kasus *istihadhah ghairu mumayizah* dimana wanita yang mengalami tidak ingat adat haidnya sama sekali. Baik itu durasinya _(qadran)_ maupun tanggal mulai & terjadinya haid _(waqtan)._ Artinya, Jika dua hal ini tidak dia ingat saat terjadi istihadhah maka bisa dipastikan kasusnya adalah _mutahayyirah mutlaqah._

Contohnya sebagai berikut:  Pada bulan 5 ada wanita istihadhah selama 25 hari dan darahnya tidak memenuhi syarat tamyiz _(ghairu mumayizah)._ Mestinya, hukum yang dipakai di sini adalah adat. Namun ternyata wanita tsb tidak ingat adatnya sama sekali. Dia lupa tanggal berapa mulai haid, dan seberapa lama haid bulan sebelumnya terjadi. Nah, dalam situasi ini statusnya adalah _mutahayyirah mutlaqah._ 

*Hukum* : Dalam kasus mutahayyirah mutlaqah wanita yang mengalaminya diwajibkan & dituntut untuk bersikap hati-hati. Mengapa? Karena dia akan dihukumi haid dan juga suci secara bersamaan dan dalam beberapa hal sebagai berikut: 

Pertama dia dihukumi haid dalam 6 hal: Yakni dalam hal bersentuhan kulit dengan suami antara pusar & lutut, membaca al-Quran di luar shalat, Memegang dan membawa Mushaf, Serta berdiam diri & melewati masjid. Keenam hal ini tidak boleh dilakukan oleh orang _mutahayyirah mutlaqah_ karena dia dihukumi haid. 

Namun di sisi lain, Dia juga dihukumi suci dalam 5 hal: Yakni Sholat, Puasa, Thawaf, Thalaq, dan mandi. Kelima hal ini boleh dilakukan oleh orang mutahayyirah karena statusnya dianggap suci.  Oleh sebab itu, dalam kesehariannya wanita mutahayyirah wajib tetap melaksanakan sholat. Dan apabila bertepatan dengan ramadhan, maka dia juga wajib beruasa. 

Mungkin anda yang bertanya: _Mengapa hukum dalam kasus  mutahayyirah dibedakan. Di satu sisi dihukumi haid, namun disisi lain dihukumi suci?_ Jawabannya, Karena setiap hari yang dilalui orang mutahayyirah ini ada kemungkinan haid dan juga suci. Kedua hal tsb sama² mungkin karena tidak ada indikator hukum yang jelas untuk menilai istihadhah, yakni indikator _adat & tamyiz._

Minggu, 27 Desember 2020

ISTIHADHAH TIGA DARAH (Kajian Fiqih seri 53)

_#seri53_

*ISTIHADHAH TIGA DARAH*

Maksud dari kasus ini adalah  wanita yang mengalami istihadhah dengan 3 jenis darah yang berbeda & punya tingkatan masing-masing. Yaitu darah kuat atau biasa disebut _al-Qawi_ (hitam), Darah lemah atau _ad-Dhaid_ (merah), dan darah paling lemah atau disebut _al-Adh'af_ (kuning). Bagaimana cara menghukumi istihadhah yang terdapat tiga darah ini?

Menurut madzhab Syafi'i, Dalam kasus istihadhah seperti di atas, maka darah yang dihukumi haid adalah darah kuat _(al-Qawi)_ dan darah lemah _(ad-Dhaif)_ saja. Sementara darah paling rendah _(al-adh'af)_ dihukumi sebagai istihadhah. Imam Khatib as-Syirbini dalam _Mughni al-Muhtaj_ (1/178) mengatakan : 

وإن إجتمع قوي وضعيف وأضعف فالقوي مع ما يناسبهما وهو الضعيف حيض

_"Jika darah kuat berkumpul dengan darah lemah (dhaif) dan yang paling lemah (adh'af) maka darah kuat dan darah yang sesuai yakni darah lemah dihukumi sebagai haid"._

Akan tetapi, Hukum di atas ini berlaku jika mamenag kasus istihadhah  sudah memenuhi tiga syarat berikut : 

1. Darah kuat harus berada di depan. Artinya paling awal keluar & tidak didahului darah lemah

2. Darah kuat & lemah bisa dihukumi haid. Artinya durasi kedua darah tsb jika digabung tidak lebih dari 15 hari 

3. Darah lemah keluar kedua setelah darah kuat. Artinya tidak didahului oleh darah yang paling lemah _(al-adh'af)_

Contoh istihadhah yang memenuhi syarat di atas adalah jika ada wanita istihadhah selama 21 hari. Dimana tujuh hari pertama berupa darah hitam (kuat), kemudian disusul darah merah (lemah) selama 5 hari hingga tanggal 12, dan disusul lagi dengan darah kuning _(adh'af)_ sampai tanggal 21. Maka dalam kasus ini, Yang dihitung haid adalah tanggal 1 sampai 12, alias fase darah kuat (hitam) dan darah lemah _(merah)_ saja. 

Nah, Bagaimana jika kasus istihadhah tidak memenuhi syarat di atas? Jika tidak memenuhi syarat, maka yang dihitung haid hanyalah darah kuat saja. Sementara untuk darah lemah _(dhaif)_ dan darah paling lemah _(adh'af)_ dihukumi sebagai istihadhah.  Contoh: Darah yang keluar pertama berwarna merah,  kemudian disusul darah hitam dan kuning. Dalam kasus ini yang dihitung haid adalah darah kuat saja (hitam), karena tidak memenuhi syarat pertama. 

Adapun contoh kasus yang tidak memenuhi syarat kedua : Istihadhah 21 hari, dimana 8 hari pertama berupa darah kuat _(hitam),_ kemudian disusul darah merah 9 hari dan ditutup darah kuning _(adh'af)._ Dalam kasus ini yang dihitung haid hanya darah kuat saja _(hitam)_ karena kasusnya tidak memenuhi syarat kedu, yaitu darah kuat & lemah tidak boleh melebihi 15 hari sehingga memungkinkan dihukumi haid. 

Contoh lagi kasus yang tidak memenuhi syarat ketiga: Istihadhah 20 hari. Dimana 6 hari pertama berupa darah hitam (kuat), kemudian disusul darah kuning _(adh'af)_ selama 8 hari, dan ditutup dengan darah merah (dhaif/lemah) selama 6 hari. Dalam kasus ini, yang dihitung haid juga hanya darah kuat. Karena kasusnya tidak memenuhi syarat ketiga, yaitu darah yang kedua setelah darah kuat harus berupa darah dhaif _(lemah),_ bukan yang adh'af _(paling lemah)._

Jumat, 25 Desember 2020

STANDAR ADAT DALAM KASUS MU'TADAH (Kajian Fiqih seri 52)

#seri52

_- STANDAR ADAT DALAM KASUS MU'TADAH -_ 

Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa adat atau kebiasaan haid seorang wanita menjadi sangat penting dalam masalah istihadhah. khususnya dalam kasus istihadhah mu'tadah ghairu mumayizah (kasus 4).  Hal ini Karena adat / kebiasaan haid tsb akan menjadi acuan hukum untuk menentukan seberapa lama durasi haid dan istihadhah terjadi. Nah apa yang dimaksud dengan adat dalam masalah ini?  

Secara umum, Adat yang dimaksud di sini adalah kebiasaan haid yang dialami wanita setiap datang bulan. Semisal jika wanita biasa haid 5 hari setiap bulan, maka adat haidnya adalah 5 hari tsb.  Sehingga jika dia mengalami istihadhah dan kasusnya adalah ghairu munayizah, maka yang dihitung haid adalah 5 hari sebagaimana kebiasaan sebelumnya. Masalahnya adalah bagaimana jika kebiasaan haid  tsb berubah-ubah dari satu bulan ke bulan berikutnya?

Contohnya: Pada bulan pertama ada wanita haid selama 5 hari, kemudian pada bulan kedua dia haid selama 6 hari, lalu di bulan ketiga dia haid lagi selama 7 hari.   Nah begitu masuk bulan keempat, wanita tsb mendadak mengalami istihadhah ghairu mumayizah. Dalam kasus ini mana kebiasaan haid yang dianggap adat dan harus digunakan untuk menghukumi kasus istihadhah? 

Menurut madzhab Syafi'i, Adat yang digunakan dalam kasus di atas adalah kebiasaan di bulan terakhir sebelum terjadinya istihadhah. Yaitu haid yang terjadi pada bulan ketiga (7 hari). Alasannya, Sebab adat di bulan ketiga tsb adalah yang paling dekat waktunya dengan istihadhah. Imam Abu Ishaq as-Syairazi (476 H) mengatakan dalam Al-Muhaddzab (2/447) : 

ويجوز أن تنتقل العادة فتتقدم وتتأخر ، وتزيد وتنقص، وترد إلى أخر ما رأت من ذلك ، لإن ذلك أقرب إلى شهر الإستحاضة

"Adat (haid) bisa berpindah-pindah, maju atau munudur, kurang atau lebih. Dan harus dikembalikan pada saat terakhir haid. Sebab itu-lah yang paling mendekati periode haid". 

Mungkin ada yang bertanya: Bagaimana jika kebiasaan haid yang dialami wanita sudah berlangsung berbulan-bulan dan durasinya ajeg, kemudian pada satu waktu berubah sekali. Misal selama 6 bulan haidnya adalah 6 hari, lalu pada bulan ketujuh berubah menjadi 7 harim  Manakah dari keduanya yang digunakan sebagai adat untuk menghukumi istihadhah?

Jawabannya, Acuan adat yang digunakan tetap merujuk pada bulan terakhir sebelum istihadhah. Meskipun di bulan-bulan sebelumnya kebiasaan haidnya cenderung ajeg dan tidak berubah-ubah. Hal ini karena menurut Qaul Ashah, Adat itu bisa ditentukan hanya dengan sekali kejadian saja. Alias tidak harus berulang-ulang selama beberapa bulan. Imam Abu Ishaq as-Syairazi (476 H) mengatakan dalam Al-Muhadzab (2/442) : 

وتثبت العادة بمرة واحدة ، فإذا حاضت في شهر خمسة أيام ثم أستحيضت في شهر بعده ردت إلى الخمسة 

"Adat bisa ditetapkan hanya dengan satu kali kejadian. Maka jika ada wanita haid selama 5 hari, kemudian bulan berikutnya mengalami istihadhah maka haidnya mengikuti 5 hari sesuai bulan sebelumnya". 

Perlu dicatat, bahwa meski dalam kasus ini adat bisa ditetapkan hanya dengan sekali kejadian, Namun pada beberapa kasus dia harus berulang dua kali putaran. Tepatnya adalah dalam kasus adat yang berlangsung berurutan dan beda-beda durasinya.  Contoh  Pada bulan 1 haid 3 hari, Bulan 2 haid 5 hari, bulan 3 haid 7 hari, kemudian berulang seperti awal : bulan 4 haid 3 hari, Bulan 5 haid 5 hari, bulan 6 haid 7 hari.  Nah, Pada begitu masuk hukan ketujuh dia mengalami istihadhah ghairu mumayizah. 

Dalam kasus di atas, Durasi haid selama 6 bulan sebelum istihadhah bisa dijadikan adat karena berlangsung 2 putaran. Dengan demikian, Istihadhah bulan 7 haidnya adalah 7 hari. Pada bulan 8 haidnya adalah 5 hari. Dan jika masih istihadhah di bulan 9 maka haidnya adalah 7 hari. (Sesuai urutan) Dengan kata lain, Kebiasaan haid pada 6 bulan sebelumnya (3+5+7) bisa dijadikan adat karena sudah berlangsung 2 putaran. 

Sebaliknha Jika kebiasaan seperri di atas (3 bulan) tidak berlangsung dua putaran atau berlangsung 2 putaran namun dia lupa urutan darahnya, maka standar adat yang digunakan adalah adat bulan terakhir sebelum dia istihadhah. Contohnya semisal pada bulan keempat dia langsung istihadhah, maka dalam kasus ini adatnya mengikuti bulan ketiga saja (bulan terakhir). Imam as-Syirbini mengatakan dalam Mughni al-Muhtaj (179) : 

فلو لم تدر الدور الثاني على النظم السابق ، كأن أستحيضت في الشهر الرابع ردت إلى السبعة لا إلى العادات السابقة

"Jika siklus adat tidak terjadi dua putaran sesuai urutan (3-5-6), Semisal dia sudah istihadhah di bulan 4, maka adatnya dikembalikan bulan sebelumya (bulan 3=7 hari).

Rabu, 23 Desember 2020

KASUS KEEMPAT : MU'TADAH GHAIRU MUMAYYIZAH (Kajian Fiqih Seri 51)

#seri51

- KASUS KEEMPAT : MU'TADAH GHAIRU MUMAYYIZAH

Kasus keempat ini hampir mirip dengan kasus ketiga. Yaitu istihadhah yang terjadi pada wanita yang terbiasa haid dan punya riwayat datang bulan (mu'tadah). Bedanya dalam kasus keempat ini darah yang keluar hanya terdiri satu warna (sifat). Atau terdiri dari beberapa warna, namun tidak memenuhi syarat tamyiz.  Contoh: Wanita yang istihadhah selama 19 hari, dimana semua darahnya berwarna merah. Atau 16 hari berwarna hitam dan 3 hari berwarna merah. 

Hukum : Dalam kasus istihadhah mu'tadah ghairu mumayizah seperti ini, Hukumnya mengacu kepada adat atau kebiasaan haid sebelumnya. Artinya jika haid bulan sebelumnya berlangsung 8 hari, maka dalam istihadhah kali ini haidnya juga 8 hari. Sementara hari sisanya dihukumi suci (istihadhah). 

Sebagai contoh: Jika ada wanita di bulan 4 mengalami haid 8 hari. Kemudian saat bulan 5 dia mengeluarkan darah hingga 20 hari dan memenuhi syarat ghairu mumayizah, maka pada bulan 5 ini haidnya hanya dihitung 8 hari saja. Sementara sisanya dihukumi suci (istihadhah) dan wajib melakukan shalat seperti biasanya. Dengan kata lain dalam kasus keempat ini perbedaan warna darah tidak diperhitungkan dalam menentukan durasi haid & istihadhah. 

Mungkin anda bertanya: Mengapa dalam kasus ini mengacu pada hukum adat, Dan mengapa tidak mengacu pada perbedaan warna darah (tamyiz) sebagaimana kasus sebelumnya? Jawabannya, Sebab dalam kasus keempat ini kita tidak mungkin bisa menerapkan hukum tamyiz dikarenakan syaratnya tidak terpenuhi.  Oleh sebab itu, alternatifnya adalah dengan mengacu pada adat (kebiasaan haid sebelumnya). 

Prosedur : Kasus keempat ini proseduranya kurang lebih sama dengan kasus sebelumnya. Yaitu harus menunggu dan memastikan dulu apakah haidnya melebihi 15 hari atau tidak.  Jika tidak maka semua hukumnya haid. Namun jika melebihi maka hukumnya adalah istihadhah yang bercampur haid. Berhubung kasusnya ghairu mumayizah, maka haidnya mengikuti adat sebelumnya.  Sementara sisanya dihukumi suci (istihadhah). 

Prosedur di atas ini berlaku untuk bulan pertama kali saja. Pada bulan berikutnya, Jika haidnya sudah melebihi adat kebiasaan maka segera saja mandi karena sudah dihukumi istihadhah.  Artinya dia tidak perlu lagi menunggu hingga tanggal 15 seperti pada bulan sebelumnya, karena pada dasarnya istihadhah adalah penyakit dan akan terus menerus terjadi. Nah, apabila kemudian darahnya justru berhenti sebelum tanggal 15, maka status istihadhah-nya gugur dan semuanya menjadi haid.

Selasa, 22 Desember 2020

KASUS KETIGA : MU'TADAH MUMAYIZAH (Kajian Fiqih Seri 50)

#seri50

- KASUS KETIGA : MU'TADAH MUMAYIZAH

Kasus ketiga ini hanya terjadi pada wanita yang sudah terbiasa haid dan punya riwayat datang bulan (mu'tadah), Dan saat mengalami istihadhah darahnya bisa dibedakan kuat lemahnya (mumayizah). Kasus ini terjadi bila istihadhah terdiri minimal dua warna dan memenuhi syarat tamyiz seperti dalam kasus pertama. Contoh : Wanita istihadhah selama 20 hari, dimana 7 hari pertama berupa darah kuat (hitam), dan sisanya berupa darah lemah (merah). 

Hukum : Dalam kasus istihadhah ketiga ini (mu'tadah mumayyizah) maka hukumnya mengacu pada perbedaan kekuatan darah (tamyiz).  Artinya darah yang kuat dihukumi sebagai haid, Sementara darah yang lemah dihukumi istihadhah.  Hukum ini berlaku jika memanv kasus istihadhah sudah memenuhi syarat tamyiz. Jika tidak memenuhi syarat, maka hukumnya beralih ke kasus keempat (ghairu mumayizah).  

Ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam kasus ini --selain harus memenuhi syarat tamyiz, yaitu:  Dalam proses istihadhah yang berlangsung tidak boleh ada jeda minimal 15 hari (aqallu tuhri) antara adat kebiasaan haidnya dengan keluarnya darah kuat. Jika terjadi jeda 15 hari, maka harus mengamalkan dua hal sekaligus. Yaitu hukum adat dan tamyiz. 

Prakteknya sebagai berikut : Ada seorang wanita punya kebiasaan haid 5 hari pertama setiap bulan. Nah pada bulan tertentu dia mengeluarkan darah selama 25 hari.  Dimana 20 hari pertama darah berwarna merah, dan 5 hari terakhir berwarna hitam (darah kuat).  Dalam kasus ini, maka 5 hari pertama dihukumi haid berdasarkan kebiasaannya. Dan 5 hari terakhir saat darah hitam dihukumi haid baru berdasarkan tamyiz karena berupa darah kuat. Sementara jeda 15 hari antara keduanya dihukumi suci/istihadhah. 

Prosedur : Jika kasus mu'tadah mumayizah ini baru pertama kali terjadi, maka hendaknya wanita menunggu dulu untuk memastikan apakah haidnya akan melebihi 15 hari atau tidak?  Jika ternyata tidak lebih 15 hari maka semuanya dihukumi haid. Namun jika darah tsb melebihi 15 hari maka hukumnya adalah istihadhah. Segeralah mandi dan melakukan sholat seperti biasa. 

Nah berhubung status istihadhah-nya adalah mumayyizah (ada darah kuat dan lemah) maka yang dihukumi haid adalah saat darah kuat saja. Sementara saat darah lemah hukumnya adalah istihadhah. Oleh sebab itu dia wajib menqadha' sholat yang ditinggalkan saat fase darah lemah/fase istihadhah. Sementara sholat di fase darah kuat tidak wajib diqadha' karena statusnya saat itu adalah haid.  

Untuk bulan² berikutnya, Jika dia haid lagi dan mengalami perpindahan  warna dari darah kuat ke daeah lemah, maka segeralah mandi karena sudah bisa dihukumi istihadhah.  Artinya dia tidak perlu lagi menunggu dan memastikan darahnya melebihi 15 hari seperti pada bulan sebelumnya.  Nah, jika ternyata  bulan ini darahnya berhenti sebelum hari 15, maka status istihadhah-nya gugur dan semuanya dihukumi haid.

Senin, 21 Desember 2020

STANDAR KUAT LEMAHNYA DARAH DALAM ISTIHADHAH (Kajian Fiqih Seri 49)

#seri49

- STANDAR KUAT LEMAHNYA DARAH DALAM ISTIHADHAH

Sebelumnya dijelaskan bahwa kasus istihadhah pada bab sebelumnya hukumnya mengacu pada perbedaan kuat lemahnya darah (tamyiz). Sehingga mana darah yang kuat akan dihukumi haid, dan mana darah yang lemah akan dihukumi istihadhah. Nah, Bagaimana cara mengetahui darah kuat atau lemah serta apa standarnya? Berikut penjelasannya. 

Dalam madzhab Syafi'i, Jenis darah istihadhah ini dibagi menjadi lima (5) : 

1. Hitam (أسود)
2. Merah (أحمر)
3. Pirang (أشقر)
4. Kuning (أصفر)
5. Keruh (أكدر) 

Kelima warna darah ini punya kedudukan & kekuatan masing².  Darah yang dianggap paling kuat adalah yang pertama (hitam), disusul darah merah, pirang, kuning, dan keruh sesuai urutannya. Masing² darah di atas juga dinilai lebih kuat dibanding darah di bawahnya.  Contoh darah hitam, dia dinilai lebih kuat daripada merah, Demikian darah merah juga dinilai lebih kuat dari pada kuning, dan setersunya.  

Selain dari sisi warna, kuat lemahnya darah juga ditinjau dari sisi aroma dan tekstur.  Darah yang punya aroma menusuk (bau) lebih kuat dibanding darah yang tidak punya aroma sama sekali. Demikian juga darah yang bertekstur kental (padat), lebih kuat dibanding darah yang biasa.   Contoh: Darah hitam yang berbau atau kental lebih kuat dibanding darah hitam yang tdk beraroma dan tidak kental.  Hal yang sama berlaku pada warna lainnya. 

Alhasil, Ada 3 sifat yang menjadi acuan penilaian kuat tidaknya darah. Yakni warna, tekstur, dan bau. Darah yang punya tiga sifat ini maka lebih kuat dibanding darah yang hanya punya dua sifat saja. Demikian juga darah yang punya dua sifat (warna+aroma) lebih kuat dibanding darah yang hanya punya satu sifat saja.. Contoh: Darah hitam yang berbau & kental (tiga sifat) lebih kuat dibanding darah hitam yang kental namun tidak berbau, atau berbau namun tidak kental (dua sifat).

Kamis, 17 Desember 2020

KASUS KEDUA : MUBTADIAH GHAIRU MUMAYIZAH (Kajian Fiqih Seri 48)

#seri48

- KASUS KEDUA : MUBTADIAH GHAIRU MUMAYIZAH

Kasus kedua ini hampir mirip dengan kasus pertama. Yaitu hanya terjadi pada wanita yang baru pertama kali haid (mubtadiah). Bedanya kali ini darah yang keluar terdiri satu warna saja (misal merah/hitam). Atau terdiri dari 2 warna, namun tidak memenuhi syarat mumayizah pada kasus pertama. 

Hukum :  Dalam kasus kedua ini, Haidnya adalah 24 jam (sehari semalam). Sementara hari yang tersisa (29 hari) adalah istihadhah dan dihukumi suci. Jadi, Jika ada wanita mubtadiah mengalami haid selama 17 hari dan darahnya hanya satu warna (tidak berubah) maka yang dihukumi haid adalah hari pertama saja. Sementara hari berikutnya hingga genap satu bulan dihukumi suci/istihadhah. 

Hukum ini berlaku, baik darah yang keluar satu warna (sifatin wahidah), atau dua warna namun tidak memenuhi syarat mumayizah. Dengan kata lain, Kasus pertama yang tidak memenuhi syarat akan masuk pada kasus kedua ini. Seperti jika darah kuatnya tidak mencapai 24 jam, atau justru lebih dari 15 hari. Atau darah lemahnya terjeda oleh darah kuat (tidak muttashil), maka semua hukumnya menjadi ghairu mumayizah. 

Prosedur : Pada kasus kedua ini, Prosedur yang harus dilakukan wanita kurang lebih sama dengan kasus sebelumnya. Yakni menunggu dulu sampai tanggal 15. Bila darah tidak berhenti, maka statusnya adalah istihadhah. Nah, Jika warna darah tidak berubah maka segera-lah mandi dan sholat seperti biasa karena sudah bisa dipastikan status istihadhahnya ghairu mumayizah. Begitu pula jika warna darah berubah lemah (dari hitam ke merah). 

Namun, Jika setelah 15 hari darahnya berubah warna menjadi lebih kuat, semisal berubah dari merah ke hitam, maka hendaknya dia bersabar dulu untuk memastikan apakah ke depan darah hitam ini akan melebihi 15 hari atau tidak. Jika tidak lebih 15 hari, maka darah hitam ini adalah haid. Sementara darah merah sebelumnya adalah istihadhah. Dengan kata lain, Kasus Ini bukan-lah istihadhah ghairu mumayizah, namun tergolong mumayizah (kasus pertama). 

Perlu dicatat, Bahwa prosedur di atas (menunggu 15 hari) hanya berlaku pada bulan pertama saja.  Untuk bulan berikutnya, Begitu dia haid lagi dan sudah mencapai 1 hari (24 jam), maka segeralah mandi dan sholat seperti biasa. Hal ini karena hari kedua dihukumi istihadhah mengacu pada bulan sebelumnya. Nah, Apabila kemudian haidnya tidak melebihi 15 hari, maka bisa dipastikan tidak ada istihadhah. Sehingga semuanya dihukumi haid.

KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH (Kajian Fiqih seri 55)

_#seri55_ *KASUS KELIMA : ISTIHADHAH MUTAHAYIROH MUTLAQAH* Kasus kelima ini adalah kasus pertama dari tiga jenis mutahayirah yang sudah dise...